Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kolom Khofifah: Penguatan Desa

Friday, January 25, 2013 | 00:34 WIB Last Updated 2013-03-12T17:47:49Z

Munculnya gagasan terbentuknya rukun tetangga (RT), di zaman pendudukan Jepang disebut tonarigumi, merupakan kesadaran yang cukup rapi dalam pengelolaan potensi rakyat di tingkat terbawah. Rukun tetangga merupakan pengelolaan strategis pada tingkat desa, bagian terbawah dalam sistem pemerintahan kita, hingga kini.

Bicara soal desa, bagi saya, hal itu merupakan masalah yang lebih strategis untuk sekarang. Bila kita berpikir demikian, pertahanan rakyat semesta dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) perlu dilakukan penguatan kelembagaan dan perangkat desa. Uni Soviet mulai rapuh setelah mereka melakukan pelemahan fungsi perangkat desa. Ingat, glasnost, perestroika, demokratzia, sebuah kebijakan pucuk pimpinan Mikhael Gorbachev yang disambut gemuruh hingga sosialisme tumbang pada awal 1990-an dan Uni Soviet tercerai-berai.

Sebaliknya, China mengalami penguatan ekonomi setelah merevitalisasi kelembagaan dan penguatan perangkat desa, diawali dengan revolusi pertanian, dan akhirnya mengalami modernisasi melalui industri yang tetap menggunakan pondasi kekuatan produk pertanian (desa). Saat kunjungan saya ke China, tampak sekali proses industrialisasi di sana ditopang oleh penguatan perangkat desa. Bahwa sekolah-sekolah di China berupa sekolah pengentasan kemiskinan yang berbasis desa.

Demikian pula, berdasarkan pengalaman empat tahun lalu, demokrasi ternyata sangat ditentukan oleh proses penguatan perangkat desa. Contoh, demokrasi di sejumlah negara yang melibatkan perangkat desa sehingga membuat calon-calon tersebut menang. Penguatan proses ini terus dijaga berbarengan proses demokrasi dengan penyejahteraan masyarakat.

Menurut saya, kemajuan pembangunan di negeri China patut diterapkan di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Di depan ratusan anggota Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) di Kabupaten Jember, pekan lalu, sebuah kesempatan berbincang dengan Bupati Jember MZA Djalal dan Ketua DPRD Jember Saptono Yusuf, hal ini saya sampaikan. Di negeri China, industri berbasis kekuatan dan potensi desa, menjadikan penguatan demokrasi dan pembangunan desa juga harus dikuatkan dan dikawal demi kesejahteraan rakyat.

Pada saat ini, potensi ekonomi kita diarahkan untuk pengembangan ke arah ekonomi kreatif, bahkan ada kementerian tersendiri khusus mengangani soal ini. Dalam bukunya, The Rise of The Class Creative, Richard Florida, ahli ekonomi kewilayahan dan kebijakan publik dari Amerika Serikat menyebut ada tiga tahap yang mesti ditempuh untuk mengembangkan ekonomi kreatif. Florida yang menyodorkan konsep Triple T (3T) yakni Technology, Talent, Tolerance.
Pertama, merangsang masyarakat untuk memperlihatkan bakat kreatifnya dengan memberikan pelbagai insentif serta menggelar aktivitas berbasis ekspresi kreatif. Kedua, membiayai potensi-potensi kreatif yang telah muncul dan dinilai memiliki nilai ekonomi tinggi untuk dikembangkan menjadi produk kreatif dalam kerangka industri kreatif. Ketiga, memfasilitasi secara proaktif proses pendaftaran hak cipta paten dan merek yang dihasilkan dari proses-proses kreatif masyarakat.
Untuk menerapkan tahapan di atas, desa-desa harus mulai melakukan pemetaan potensi kreatif. Pemetaan bukan hanya mendeteksi produk apa yang ada di suatu wilayah, tetapi juga bakat-bakat kreatif yang ada di wilayah tersebut. Lewat peta potensi kreatif, desa bisa mengembangkan program pengembangan kapasitas, baik berupa pelatihan dan pendampingan yang memungkinkan bakat-bakat kreatif bisa ditingkatkan kualitasnya maupun dioperasionalkan.
Bentuk nyata dari kreativitas tak harus menciptakan produk baru, dalam pengertian produk itu belum ada sebelumnya. Kreativitas bisa mewujud dalam kemampuan memodifikasi produk yang sudah ada sehingga lebih menarik konsumen. Sebuah contoh, warga di Patimuan dan Kedungreja (Cilacap) memodifikasi kue sale pisang dalam aneka rasa, seperti sale pisang rasa keju, rasa coklat, dan lain-lain. Mereka juga mengemas kue sale dalam kemasan yang ciamik sehingga menjadi oleh-oleh khas daerah tersebut.

Bila diperhatikan kenyataan selama ini, banyak hal yang menjadi perhatian dan renungan kita bersama. Pembangunan tentu menjanjikan perbaikan kemajuan, pertumbuhan, kemakmuran, dan juga kesejahteraan. Di atas kertas, industrialisasi selalu menjanjikan peningkatan devisa negara, pendapatan asli daerah, penyediaan lapangan pekerjaan, maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Tetapi sejarah telah mencatat bahwa industrialisasi yang tumbuh dengan pesat telah menciptakan marginalisasi masyarakat lokal, pemiskinan dan kerusakan lingkungan. Banyak industrialisasi yang berjalan mulus, tetapi tidak sedikit proyek industrialisasi yang menghadapi perlawanan dari masyarakat setempat, sehingga industrialisasi sering menimbulkan trauma sosial-ekonomi bagi masyarakat.

Secara umum pembangunan dan industrialisasi desa memang telah menciptakan mobilitas sosial (kemajuan dan kemakmuran) warga desa. Mobilitas sosial bisa kita ukur dari indikator perubahan wajah fisik desa, perbaikan perumahan penduduk, peningkatan derajat pendidikan, perubahan struktur okupasi, perbaikan sarana dan prasarana transformasi penduduk desa, peningkatan kepemilikan perlengkapan modern (televisi, motor, mobil, telepon selular, parabola, mesin cuci, lemari es, dan masih banyak lagi), dan sebagainya. Jika melihat indikator ini, desa jauh lebih maju dan makmur, karena pembangunan dan industrialisasi desa. Berdasarkan oral history dari para orang tua yang telah melewati 2-3 zaman, kondisi sosial-ekonomi desa yang lebih baik (maju) itu baru mulai dirasakan sejak dekade 1970an.

Tetapi ledakan pertumbuhan dan mobilitas sosial itu belum menjadi fondasi yang kokoh bagi human well being, kesejahteraan dan keadilan di desa. Ketimpangan jauh lebih besar dan serius ketimbang kemajuan dan kemakmuran yang dihasilkan oleh pembangunan. Setiap hari kita prihatin dengan balada yang menimpa para petani, mayoritas penghuni desa. Para petani di sektor lain (tembakau, jeruk, apel, kakao, cengkeh, lada, mangga, dan lain-lain) selalu tidak berdaya bila bernegosiasi harga dengan para cukong pemilik modal. Jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan di Indonesia telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Bagaimana pendapat Anda?


* Khofifah Indar ParawansaKetua Umum PP Muslimat NU.

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update