Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

SDM Unggul Menuju Masyarakat Madani dalam Perspektif Al-Quran dan Kebangsaan (Bagian 4)

Friday, January 24, 2020 | 11:02 WIB Last Updated 2020-01-24T06:13:23Z

Oleh Imam Shamsi Ali*

PADA bagian lalu disampaikan bahwa ummatan wasathan atau masyarakat madani itu berkarakter “islah”.  Yaitu sebuah masyarakat yang selalu hadir dengan komitmen perubahan ke arah yang lebih baik. 

Ummatan wasathan juga merupakan masyarakat yang menghadirkan ketauladanan (role model) kepada masyarakat lain. Bahkan masyarakat ini dengan karakter “al-Qudwah” atau ketauladanannya itu berada di baris terdepan memimpin manusia dalam kehidupan yang baik dan bermartabat. 


Kali ini saya akan sampaikan karakteristik  terakhir dari ummatan wasathan (masyarakat madani atau Islami). Sengaja saya tuliskan karakter terakhir ini secara terpisah. Selain karena boleh jadi ciri ini khusus atau ekslusif berlaku dalam konteks Indonesia, juga karena boleh jadi sangat tepat waktu untuk diekspose secara luas. 

Ketujuh, bahwa  ummatan wasathan atau masyarakat madani itu juga berwawasan kebangsaan. Dalam bahasa Arab biasanya lebih dikenal dengan konsep “al-muwathonah”. 

Al-muwathonah berasal dari kata “wathon” atau negara. Orang-orang yang tinggal dalam sebuah negara dikenal dengan “al-muwaathin” atau penduduk (resident). Maka “al-muwathonah” merupakan gambaran relasi antara negara dan penduduk.

Dengan kata lain al-muwathonah adalah sikap loyalitas atau kecintaan para penduduk negara itu kepada negaranya. 


Hal ini mengingatkan kita sebuah ungkapan Arab yang mengatakan: “hubbul wathon minal imaan” (cinta negeri itu adalah bagian dari iman). 

Hal ini kemudian menjadi sangat penting bagi umat di berbagai belahan dunia. Bahwa di negara mana saja seorang Muslim bermukim mereka akan menjadi bagian dari bangsanya. Loyal dan punya komitmen tinggi untuk ikut dalam membangun dan menjaga negerinya. 

Hal ini menjadi sangat penting agar agama tidak harus dicurigai sebagai penyebab disintegrasi bangsa dan kesatuan negara. Juga agar Umat Islam tidak perlu dicurigai sebagai kelompok masyarakat yang tidak loyal dan cinta negerinya. 

Konsep kebangsaan ini kemudian menjadi lebih urgen dalam konteks keislaman dan Keindonesiaan umat di Indonesia. Hal itu karena umat Islam dan negara Indonesia sejak sebelum kemerdekaan sudah bagaikan ruh dan jasad. Dua entitas yang saling menghidupi dan bersifat integral. 

Sejarah mengakui bahwa loyalitas Umat ini kepada negara tidak lagi bisa diragukan. Peranan Umat dalam  perjuangan kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, mengisi kemerdekaan dengan membangun negeri ini tak terbantahkan oleh argumentasi apa pun. 

Mungkin satu hal yang paling dikenal dalam sejarah dan memiliki dampak langsung dalam kehidupan bernegara hingga saat ini dan akan datang adalah tarik menarik yang terjadi di antara anggota tim perumus falsafah negara, Pancasila. 

Bahwa walaupun kenyataannya mayoritas anggota tim perumus itu adalah para Ulama, mereka sepakat untuk menanggalkan 7 kata pada sila pertama Pancasila. Kata-kata itu adalah penegasan bahwa syariat atau hukum Islam wajib dilaksanakan oleh pemeluk agama Islam. 

Kerelaan para Ulama itu tentunya karena sebuah pertimbangan matang akan kebangsaan dalam konteks Indonesia yang ragam. Sehingga kata-kata yang menunjukkan ekslusifitas (hanya untuk orang Islam) dihapuskan. Sebaliknya sila pertama Pancasila dengan “ketuhanan yang mana esa” memang mewakili semua keyakinan agama-agama. Tentu dengan penafsiran unik masing-masing agama.


Dalam konteks inilah saya berani mengatakan bahwa konsep ummatan wasathan atau masyarakat madani dengan wawasan kebangsaannya menjadi karakter unik bagi Umat Islam Indonesia. Karena memang kenyataannya di negara inilah nilai-nilai Keislaman dan kebangsaan itu tidak harus ditabrakkan. Bahkan keduanya menjadi senyawa dan bergandengan tangan dalam mewujudkan masyarakat yang makmur dan berkeadilan. 

Oleh karenanya sangat disesalkan jika kedua hal itu, keislaman dan kebangsaan, harus dilihat sebagai dua entitas yang saling berseberangan. Apalagi jika ada kecenderungan untuk membangun kecurigaan bahkan tuduhan seolah Umat semakin beragama juga semakin kurang loyalitasnya kepada negara. 

Atau sebaliknya seolah semakin merasa  cinta atau loyal kepada negara seseorang harus dilihat sebagai orang yang kurang atau tidak punya komitmen keagamaan. 

Akibatnya terjadi sikap ekstrem kepada salah satu dari keduanya. Ada yang merasa paling berislam tapi merasa negara ini hanya tempat menumpang sementara. Rasa kepemilikan (sense of belonging) menjadi minim. 

Sebaliknya ada juga yang merasa paling cinta dan loyal kepada bangsa. Tapi pada sisi lain agama kerap kali tidak lagi penting. Bahkan agama seringkali dicurigai dan dituduh sebagai motivasi/dorongan untuk tidak loyal kepada negara. 

Dalam konteks Umat Islam Indonesia hal ini sangat berbahaya. Karena mayoritas penduduk negeri ini adalah Umat Islam. Jika Umat Islam dianggap tidak loyal kepada nagaranya, maka mayoritas penduduk negeri ini menjadi ancaman negara. Lalu bagaimana negara akan membangun dan terjaga? 

Saya pribadi mendorong Umat Islam Amerika untuk membangun wawasan kebangsaan Amerika. Ungkapan yang selalu saya sampaikan di mana-mana adalah “we can be the best Muslims and Americans at the same time”. 

Semoga Umat Islam Indonesia dalam upaya membangun ummatan wasathan atau masyarakat madani (Islami) sekaligus juga terus membangun wawasan kebangsaan yang solid. 

Sebab sekali lagi komitmen Islam dan wawasan kebangsaan adalah dua entitas yang saling merangkul. Dan itu pula keunikan sekaligus kekutan umat dan bangsa Indonesia. Semoga!  (*)

Udara Jakarta - Batam, 22 Januari 2020 

* Imam Shamsi Ali adalah Presiden Nusantara Foundation/Pesantren Nur Inka Nusantara Madani USA.


No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update