Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Waspada Itu Positif dan Harus!

Thursday, October 1, 2020 | 07:03 WIB Last Updated 2020-10-01T00:03:14Z



Oleh 
Shamsi Ali Al-Kajangi*


Tulisan ini pendapat pribadi. Tidak mewakili siapa-siapa dan apapun. Boleh setuju dan boleh juga tidak setuju. Maaf agak panjang!


SETIAP tanggal  30 September, dikenang sebagai salah satu hari kelam dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Di hari itulah banyak Jenderal, tokoh bangsa dan agama yang dibunuh oleh kelompok orang berideologi Komunisme. Mereka tergabung dalam sebuah partai yang disebut PKI atau Partai Komunis Indonesia. 

Saya tidak perlu lagi membahas siapa PKI, ideologi dan agendanya. Karena saya yakin semua anak bangsa yang memiliki kepedulian tahu, paham dan sadar akan apa yang pernah terjadi dengan PKI di negeri ini. 

Yang ingin saya sampaikan hanya sebuah kewaspadaan (al-hadzar). Sikap yang harusnya terbangun oleh setiap putra-putrì bangsa. Bahwa ada masa di mana peristiwa kelam itu bisa saja terulang kembali. Sebab sejarah kerap terulang, walau dalam warna dan bentuk yang berbeda.

Masihkah dan perlukah diwaspadai? 

Ada sebagian yang mengatakan bahwa isu PKI atau komunisme harusnya tidak lagi perlu dibahas atau diributkan. Beberapa alasan yang disampaikan, antara lain, bahwa ideologi Komunisme telah selesai (berakhir). 

Dengan ambruknya Uni Soviet seolah paham komunisme juga telah runtuh. Bahkan dengan perubahan konstelasi dunia, di mana Rusia dan Amerika dengan aliansi Uni Eropa mengakhiri perang dingin, juga berarti ideologi Komunis telah berakhir. 

China yang dikenal sebagai negara Komunis juga ternyata mengalami “shifting” atau pergeseran dari komunisme kepada paham yang nampaknya lebih dominan secara kapitalisme dan liberalisme. China semakin terbuka secara ekonomi. 

Perkiraan di atas nampaknya terlalu menyederhanakan permasalahan. Karena sesungguhnya isu Komunis dalam konteks Indonesia tidak harusnya selalu dikaitkan dengan Rusia atau China. Tapi memiliki tendensi pemikiran dan karakternya sendiri. 

Selain itu, ideologi itu adalah faham atau pemikiran yang mempengaruhi karakter. Dan Karenanya ideologi tidak selalu bubar dengan bubarnya sebuah institusi, termasuk organisasi atau negara. 

Ideologi atau faham biasanya akan nampak melalui gejala-gejala (symptoms) yang kemudian berkembang dalam bentuk karakter dan aksi. Gejala ini terkadang sangat halus, sering menipu, bahkan tidak jarang dibungkus oleh teori-teori atau konsep-konsep yang menawan. 

Saya jadi teringat kenapa Menteri Agama begitu “obsessed” dengan isu radikal? Tentu karena ada gejala-gejala, yang boleh jadi dicurigai sebagai gejala-gejala radikalisme. Sehingga berdasarkan gejala itu sang Menteri kemudian menghembuskan isu “radikal” agar terbangun kewaspadaan.

Masalahnya kemudian, kenapa ketika isu PKI dihembuskan berdasarkan gejala-gejala untuk membangun kewaspadaan justeru dituduh “mengganggu” bahkan membahayakan pemerintahan? Sehingga usaha-usaha mereka yang mengingatkan bangsa ini untuk waspada dihalangi di mana-mana. 

Saya menilai ini perilaku paradoks dari kekuasaan. Saya justeru khawtir jika perilaku “unfair” ini justeru menjadi bagian dari symptom yang ada. Semoga saja saya salah. 

Perlakuan “ketidakadilan” (unfair treatment) kekuasaan itu juga terlihat dalam menyikapi kelompok-kelompok yang dianggap mengancam negara atau ideologi negara. Salah satunya sebagai misal HTI. 

Saya melihat ada sikap yang berbeda dari kekuasaan dalam menyikapi kelompok-kelompok yang dianggap sebagai ancaman itu. Ada yang ditindak dan dibumi hanguskan. Tapi ada yang seolah dirangkul dan dilindungi. 

Tentu ini semakin membangun kecurigaan itu, dan pastinya menjadikan Umat ini semakin waspada. Kenapa ancaman yang dikaitkan dengan agama begitu dibenci? Sementara ancaman ideologi yang anti agama seolah biasa, bahkan serasa mendapat perlindungan. Saya khawatir sekali lagi, jangan-jangan ini jadi bagian dari symptom itu sendiri.





Gejala-gejala itu...

Sebuah gejala tentunya bukankah kesimpulan, sampai masanya bisa dibuktikan. Gejala hanya jembatan menuju kepada realita. Dan Karenanya sikap yang dibangun bukanlah “konklusi” (kesimpulan). Tapi sekali lagi, lebih kepada membangun kewaspadaan. 

Sebagai ilustrasi saja. Jika saat ini saya terbang kembali ke Indonesia, pastinya setiba di bandara Soekarno Hatta suhu badan saya akan dicek. Kalau ternyata temperatur badan saya lebih dari normal, maka berarti saya ada “gejala” Covid. 

Tapi tingginya suhu badan itu belum tentu sebuah “kesimpulan” jika saya positif Covid. Namun demikian karena suhu badan tadi, maka wajar saja kalau saya dikarantina hingga ada pembuktian jika saya negatif atau memang postif Covid. 

Di sinilah urgensi kewaspadaan terhadap gejala-gejala PKI itu. Karena dari gejala itulah nantinya akan nampak (terbukti) apa benar atau tidak benar jika memang PKI menggeliat di negeri ini.


Delapan Gejala

Di bawah ini saya ingin menyebutkan beberapa gejala yang bisa menjadi perhatian, sekaligus kewaspadaan bangsa ini. 

Pertama, kebanggaan anak keturunan dan keluarga mantan pelaku di tahun 1965. Kesalahan memang tidak diwariskan. Karenanya keturunan PKI tidak harus ikut bertanggung jawab dengan dosa orang-orang tua mereka. 

Yang menjadi masalah kemudian adalah keterbukaan mereka dengan kebanggaan itu. Jika PKI adalah dosa besar dalam tatanan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, lalu apa yang menjadikan mereka bangga dengan dosa besar itu?

Kebanggaan terbuka atas dosa besar itu justeru menjadi salah satu gejala atau indikasi tumbuhnya kembali ideologi yang mengantar kepada perilaku dan aksi PKI saat itu. Dan ini perlu diwaspadai. 

Kedua, upaya penghapusan sejarah PKI. Sejak 2018 lalu pelajaran sejarah PKI ditiadakan dari sekolah-sekolah di Indonesia.

Selain penghapusan pelajaran sejarah PKI, juga pelarangan atau minimal peniadaan urgensi menonton film PKI yang menggambarkan kekejaman mereka. 

Semua bangsa besar itu ada karena kebesaran sejarah yang mereka ketahui. Jepang maju karena sejarah Perang Dunia kedua yang meluluhlantahkan Nagasaki dan Hiroshima. Demikian pula Jerman maju karena sejarah kekalahan mereka di perang dunia kedua. 

Maka upaya penghapusan sejarah PKI dicurigai sebagai upaya peninabobokan anak-anak bangsa agar tidak lagi paham dan peduli dengan peristiwa itu. 

Saya diingatkan bagaimana kehebatan Amerika dalam membangun imej sejarah itu. Salah satunya adalah peristiwa 9/11 yang kemudian dislogankan: we forgive, but never forget.

Dalam kasus PKI, bahkan saat ini ada upaya-upaya membalik kenyataan seolah Komunislah yang korban. Tujuannya melemparkan kesalahan kepada TNI dan Umat Islam sebagai bagian dari upaya marjinalisasi dua backbones (tulang punggung) bangsa itu. 

Ketiga, meningginya serangan-serangan terbuka kepada Ulama dan institusi agama (baca Islam). Dalam sejarahnya hanya ideologi yang anti agama akan menyerang agama secara terbuka. 

Telah banyak ulama dan Ustadz-Ustadz yang diserang. Mungkin yang paling heboh baru-baru ini adalah serangan kepada Syeikh Ali Jaber. 

Baru saja kemarin tanggal 19 September sebuah masjid di Tengerang dirusak dan  dicoret-coret oleh sekelompok orang dengan kata-kata “anti Islam”. 

Jika serangan itu hanya kepada para Ulama, boleh jadi karena memang ada Ulama yang keras. Tapi ini justeru institusi agama, bahkan agamanya itu sendiri begitu dibenci. Benci Ulama boleh jadi karena perbedaan politik. Tapi benci agama dan institusi agama? Siapa lagi kalau bukan mereka yang memang anti agama? 

Keempat, terjadi pelemahan institusi pertahanan negara. Bila gejala  ini benar, tentu dalam hal ini TNI menjadi target utama. Saya tidak membahas secara vulgar dan detail masalah ini. Saya hanya mengharap agar kita semua mencoba menganalisa kejadian-kejadian dalam tubuh TNI tahun-tahun terakhir. 

Kelima, proses pembangunan ekonomi yang massif, tapi sangat “centralized” pada segmen masyarakat tertentu. Pembangunan infrastruktur-infrastruktur tidak mengarah kepada keberpihakan kepada rakyat. Pembangunan itu seolah menjadi hiburan sesaat bagi  rakyat luas. 

Hal itu akan nampak ketika melihat kepada pembangunan sektor pertanian. Kepemilikan lahan di negara Indonesia diakui terkonsentrasi pada segmen masyarakat tertentu. Sementara rakyat luas semakin termarjinalkan dengan masa depan yang semakin suram.

Keenam, gerilya politik yang tidak lagi malu-malu. Jika diperhatikan secara seksama perpolitikan di Indonesia akan nampak dengan sendirinya bahwa ada permainan cantik, tapi terkadang kasar, dalam memarjinalkan kekuatan umat dan penduduk mayoritas Indonesia. 

Partai-partai yang berwawasan keislaman dan kerakyatan akan dipaksa atau terpaksa untuk melebur dengan kekuatan besar. Pemaksaan itu sering dengan cara yang cantik. Tapi sering juga dengan kekerasan politik dan intimidasi. 

Gerilya politik ini kemudian tanpa malu-malu mencoba untuk melakukan ronrongan kepada ideologi negara, Pancasila. Upaya mengganti Pancasila melalui RUU HIP jelas merupakan demonstrasi yang terbuka dari pihak-pihak yang anti negara. Dan itu melalui gerilya politik tanpa sunkan lagi.

Ketujuh, “hidden player” atau pemain terselubung ada di semua negara. Bahkan biasanya mereka bukan sekedar pemain. Justeru mereka adalah “hidden power” (kekuatan atau kekuasaan di balik tirai). 

Sebagai contoh saja. Di Amerika ada yang kita kenal dengan “kekuatan lobby”. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di negara ini lobby terkuat adalah lobby Yahudi Israel. Inilah yang menjadikan kenapa semua pemimpin negara ini nampaknya harus atau diharuskan mendukung Israel? 

Dalam sejarah Indonesia juga tidak terlepas dari hidden player atau hidden power ini. Ada masa-masa di zaman Orde Baru umat Kristiani berkuasa. Anggaplah di masa keemasan Moerdani. 

Di akhir masa Soeharto ada penghijauan institusi negara dengan pemain-pemain yang tergabung dalam organisasi ICMI. Di saat itulah seorang Habibie naik ke puncak kepemimpinan bangsa sebagai Wapres, lalu kemudian menjadi Presiden RI. 

Saya khawatir bahwa pada saat ini di Indonesia ada “hidden player” atau “hidden power” yang mewarnai, bahkan mengendalikan arah kebijakan negara. Siapa mereka itu dan bagaimana eksistensinya? Di sinilah urgensinya kita membangun kewaspadaan itu. 

Kedelapan, kekuatan luar (foreign power) atau minimal pemain luar (foreign player).  Kenyataan ini kerap kali tidak disadari oleh banyak orang. Apalagi kalau pihak luar ini berhasil menggoda pemain dalam yang punya kepentingan-kepentingan sempit.

Untuk Indonesia, hal ini bukan baru dan sesungguhnya tidak juga mengejutkan. Upaya melemahkan bahkan memecah belah NKRI telah lama dimainkan oleh pihak-pihak luar yang punya kepentingan. 

Dalam kasus Indonesia, seperti yang disebutkan tadi, ada dua segmen bangsa yang menjadi target utama mereka.  Yaitu TNI dan Umat Islam. 

TNI akan ditampilkan dengan wajah buruk, zholim, anti HAM, dan seterusnya. Yang kemudian dilanjutkan dengan lobi-lobi internasional untuk menekan, baik ke dalam negeri dengan mengurangi anggaran, maupun keluar negeri dengan boikot. Di masa lalu TNI pernah diboikot untuk membeli senjata atau pesawat tempur F-16 dari Amerika misalnya. 

Di antara sekian foreign player (pemain luar) itu adalah ETAN (East Timor Action Network). Salah satu aktifisnya yang kita kenal di Indonesia dulu adalah Sidney John. 

ETAN telah lama bekerja untuk merusak NKRI dengan melemahkan TNI dan Umat Islam. Dari zaman Timor Timur, Aceh, dan juga Papua. Mereka berhasil di Timor Timur. Di Aceh dikalahkan oleh kelihaian Pak JK menyelesaikan kasus Aceh dengan baik. 

Kini ETAN bergerilya untuk meronrong NKRI melalui Papua Merdeka. Sangat aktif dan mendapat dukungan dari beberapa negara yang punya kepentingan melihat Indonesia pecah. 

ETAN kini juga memasuki isu PKI di Indonesia. Salah satu propaganda mereka adalah membuat film tentang kasus 30 September dengan membalik realita. Film yang mereka buat ditampilkan kekejaman TNI dan umat Islam. Sementara PKI adalah korban kekerasan kedua segmen bangsa (TNI-Islam) itu. 

Hal itu kemudian mereka hiasi dengan memplintir seolah kebangkitan umat menentang Komunisme sebagai bentuk intoleransi. Maka ibarat bertepuk tangan, kedua telapak tangan itu, dalam negeri dan luar negeri, melahirkan irama tepukan “radikalisme”. 




Penutup

Sebelum menutup goresan ini, saya juga ingin mengatakan bahwa kewaspadaan itu bukan menambah beban atau menyiram bensin ke dalam kobaran api. Saya justeru ingin menjadikan kewaspadan ini sebagai jalan menyatukan langkah dan membangun rekonsiliasi kebangsaan. 

Maka tentunya harus juga diakui adanya kemungkinan “mistreatments” yang terjadi ketika itu. Boleh jadi memang karena dorongan politik, dan kepentingan lainnya termasuk kepentingan global saat itu, ada perlakuan-perlakukan yang salah kepada pihak-pihak tertentu. 

Tapi ini harusnya tidak menjadi pembenaran untuk mengubah narasi peristiwa, apalagi membalik realita yang sesungguhnya. Komunisme dan PKI bagaimanapun adalah musuh bangsa dan negara Indonesia.

Sekali lagi saya ingin menegaskan bahwa bangkitnya sebagian anak bangsa untuk membangun kewaspadaan terhadap ancaman ideologi PKI ini tidak lain karena kecintaan, nasionalisme, dan patriotisme mereka terhadap negara. 

Dan karenanya jangan dianggap gangguan, apalagi ancaman terhadap negara dan pemerintah. Sebaliknya justeru harus diapresiasi dan didukung. Karena keselamatan negara dan bangsa adalah tanggung jawab semua elemen bangsa.

Secara khusus bagi umat Islam, semangat menentang kemungkinan bangkitnya PKI adalah karena didorong oleh kesadaran bahwa Islam dan negara Indonesia adalah dua hal yang senyawa. Kedua entitas itu tidak akan bisa dipisahkan. Mengobok-obok negara ini adalah juga mengobok-obok iman/Islam itu sendiri. 

Karenanya saya ingin berpesan kepada putra-putrì bangsa, khususnya umat Islam agar bersatu menjaga NKRI. Jangan mudah dipecah belah oleh “hidden player” tadi. Jangan ada yang mudah dirangkul, lalu yang lain ditendang. 

Kekuatan negara Republik Indonesia ada pada kebersamaan TNI dan Umat. Hal yang telah dibuktikan sepanjang sejarah perjalanan negeri ini. Merdeka! (*)

Paman Sam, 30 September 2020 

* Diaspora Indonesia di US.



No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update