Dr Pinky Saptandari |
SIDOARJO (DutaJatim.com) - Posisi ibu selama ini hanya dikonstruksikan harus memberikan manfaat bagi semuanya. Ya seperti dalam syair lagu “kasih ibu kepada Beta, bagaikan surya yang menyinari dunia.” Tapi lupa bahwa ibu juga berhak untuk memerjuangkan dirinya sendiri.
Hal ini karena konsep “ibuisme” yang didefinisikan sebagai ideologi yang mengamini tindakan apapun diambil seorang perempuan, yang dilakukannya untuk keluarga, kelompok, kelas, perusahaan atau negara, tanpa mengharapkan kekuasaan atau prestise sebagai imbalan.
Dr. Pinky Saptandari menyampaikan hal ini dalam seminar daring (webinar) dengan tema “Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Budaya Nusantara” yang diselenggarakan oleh Komunitas Seni Budaya BrangWetan, Jumat siang hingga sore (18/12/2020).
Ditambahkan oleh mantan Staf Ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak ini, bahwa Hari Ibu yang selama ini diperingati setiap tanggal 22 Desember itu masih sering disamakan dengan Mother’s Day di negara-negara Barat. Padahal penetapan Hari Ibu adalah dimaksudkan untuk menandai era kebangkitan keberdayaan perempuan dalam berorganisasi.
Kepemimpinan perempuan selalu dipertanyakan, tegasnya, karena kepemimpinan selalu berwajah maskulin. Identik dengan laki-laki. Dunia publik dan politik dianggap dunia laki-laki. Ada dominasi ideologi patriarki dalam masyarakat dalam bungkus budaya dan praktik beragama. Juga rendahnya penghargaan terhadap perempuan dalam balutan konsep ibuisme dan domestikasi perempuan. Dunia ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sejarah selalu berada dalam dominasi patriarki.
Karena itu, tambah antropolog dan pengajar di Fisip Unair ini, penting melawan lupa sejarah gerakan perempuan, baik sebelum dan setelah 1965. Harus ada redefinisi, rekonstruksi dan dekonstruksi kepemimpinan perempuan.
Dalam seminar ini juga hadir sebagai pembicara adalah Dr. Antarini Arna, Doktor filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta; Dr. Adriana Venny Aryani, Komisioner di Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan periode 2015-2019 untuk Divisi Pemantauan dan Advokasi Internasional untuk Divisi Pemantauan dan Advokasi Internasional (2015 – 2019).
Dan satu-satunya narasumber pria adalah M. Dwi Cahyono, M.Hum, arkeolog dari Universitas Negeri Malang. Sedangkan moderator dalam acara ini adalah Henri Nurcahyo, ketua Komunitas Seni Budaya BrangWetan.
Paparan Pinky ini sejalan dengan Dr. Antarini Arna, bahwa perlu digali bagaimana tokoh perempuan dari perut seni dan budaya tradisional. Menurut mantan pembela korban Jugun Ianfu dan korban 1965 itu, dalam narasi seni dan budaya tradisional, keberdayaan dan kekuasaan perempuan cenderung disalahpahami.
Ada kecenderungan untuk meminggirkan tokoh-tokoh perempuan yang berdaya. Bahwasanya kalau perempuan menjadi pemimpin itu harus galak, harus keras, sementara perempuan pemimpin yang lemah lembut malah dianggap tidak berdaya. Karena itu diperlukan pendekatan baru dalam narasi kepemimpinan perempuan.
Sementara Dr. Adriana Venny menyoroti posisi “Perempuan dalam Mitos-mitos Nusantara” sebagaimana yang menjadi topik disertasinya dalam Ilmu Filsafat dari Filsafat Universitas Indonesia. Menurut peraih penghargaan Kartini Award kategori Social Activist pada tanggal dari El John Foundation ini, banyak mitos atau dongeng yang terkesan mengerikan.
Dalam dongeng “Calon Arang” misalnya digambarkan sebagai perempuan buruk rupa yang jahat, menakutkan dan menyebarkan wabah mematikan. Padahal Calon Arang adalah sosok pemberontak yang sulit diatasi oleh Raja Airlangga. Masih banyak contoh lainnya.
“Karena itu perlu ada teks baru yang berkeadilan gender,” tegas mantan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan hingga tahun 2008 ini.
M. Dwi Cahyono yang tampil terakhir menyodorkan topik “Citra Perempuan dalam Konteks Budaya Panji.” Menurut arkeolog dari Universitas Negeri Malang (UM) ini, filosofi Cerita Panji adalah soal mencari dan menemukan yang direpresentasikan tokoh Raden Panji Inukertapati dan Dewi Sekartaji alias Candrakirana.
“Tidak sepenuhnya perempuan dalam Cerita Panji berada dalam peran dominasi laki-laki,” tegas lelaki kelahiran Tulungagung ini.
Ternyata, paparan keempat pembicara ini menyambung satu sama lain meski tanpa janjian lebih dulu. Mereka senada untuk memerkuat peran perempuan dan memberikan tafsir kritis terhadap teks dalam seni budaya nusantara.
Pada ujung seminar, Prof. Dr. Toeti Heraty Rooseno, Doktor Filsafat Universitas Indonesia, yang hadir sebagai peserta menyumbangkan pemikirannya mengenai perlunya dilakukan reformasi pendidikan agama.
“Sebab apa yang selama ini diceramahkan oleh para Ustadz itu berpengaruh kuat dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap posisi perempuan yang masih direndahkan,” tegas tokoh perempuan ternama itu. (gas)
No comments:
Post a Comment