Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Meluruskan Yang Tidak Lurus (1): Termasuk soal Film The Santri

Monday, September 23, 2019 | 11:53 WIB Last Updated 2019-09-23T04:53:54Z

Oleh
Imam Shamsi Ali*

SURABAYA (DutaJatim.com) - Beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis, bahkan menceramahkan dalam berbagai forum, jika keadilan itu sifatnya universal, bersifat umum dan terbuka untuk semua. 

Maknanya, Keadilan itu tidak mengenal warna atau versi. Tidak ada keadilan versi Muslim, versi Kristen, versi Yahudi, Hindu, Buddha dan seterusnya. Tidak ada juga keadilan ala Amerika, Inggris, Saudi atau ala Indonesia. 

Keadilan ya keadilan. Selain keadilan hanya ada ketidakadilan alias kezholiman. 

Keadilan juga tidak ditentukan, diwarnai atau dibentuk oleh bilangan manusia yang mengusungnya. Tidak juga berapa jumlah manusia yang memiliki sentimen dukungan kepadanya. 

Dengan kata lain, keadilan tidak ditentukan oleh kata mayoritas atau minoritas. Keadilan akan tetap keadilan jika memang adil walau ditentang mayoritas. Dan kedholiman tetap kedholiman walau didukung oleh mayoritas.

Kali ini saya akan coba nimbrung di dalam dua hal yang cenderung ditanggapi secara ”tidak proporsional”, bahkan tidak adil pada tingkatan tertentu. Biasanya karena banyak yang hanyut oleh lingkungan emosi sesaat. Ada juga karena terbawa arus persepsi yang dibangun secara sistematis.

Isu Radikalisme 

Sejak lama kata ini menjadi sesuatu yang tidak saja ”undesirable”. Lebih dari itu kata radikalisme menjadi kata yang menakutkan. Bagaimana tidak. Radikalisme memang dipahami sebagai batu pijakan ke tangga ”terrorisme”. 

Terjadinya peristiwa 9/11 di Amerika tahun 2001 lalu, kata itu menjadi momok yang semakin menakutkan. Perang melawan terorisme (war on terror) tidak jarang juga dipahami sebagai perang melawan radikalisme. Karena radikalisme dianggap sebagai tunas terorisme.

Semua itu normal, wajar bahkan harusnya demikian. Semua harus membangun kesadaran (awareness) tentang radikalisme dan bahayanya. Segala upaya harusnya memang dilakukan agar radikalisme dapat diredam dan diatasi. 

Radicalism dalam banyak hal tidak saja mengganggu dan membahayakan tetangga-tetangga non Muslim. Bahkan seringkali menjadi sumber masalah dan perpecahan di kalangan umat ini sendiri. 

Karenanya sekali lagi radikalisme harus diredam, dilawan, bahkan jika memungkinkan dieliminir. 

Masalahnya kemudian adalah terjadi ”manipulasi” isu radikalisme. Dengan kata lain terjadi ”abuse” (penyalah gunaan) kata itu berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu.

Sebagai misal, begitu mudah melabeli orang lain sebagai radikal hanya karena secara pilihan politik berbeda dengan kita. Hal ini tampak lebih kental di musim-musim politik. Bahkan ada daerah-daerah tertentu yang dilabeli radikal, atau dalam ekspresi lain daerah garis keras, hanya karena perbedaan pilihan politik.

Terkadang juga kata radikal memang dibangun untuk melabeli mereka yang punya kesungguhan dan komitmen dalam beragama. Padahal mereka tidak membahayakan siapa-siapa. Bahkan sangat sejuk dan damai dalam kehidupan sosialnya. 

Kesalahan mereka adalah hanya karena mereka sungguh-sungguh dan berkomitmen tinggi dalam menjalankan ajaran agama mereka. Iman mereka pertahankan, ibadah mereka jaga, bahkan penuh kesungguhan dalam menjalankan ajaran agama pada tataran sosialnya. Karena itulah mereka pun dilabeli radikal. 

Sejujurnya tanpa disadari oleh sebagian umat, tuduhan radikalisme kepada mereka yang sungguh-sungguh dalam beragama ini memang dibangun secara sistematis oleh orang lain sebagai bagian dari membangun persepsi yang salah mengenai agama dan umat. Sayangnya ada saja sebagian dari umat ini yang terbawa arus, dan menjadi korban. Bahkan terkadang lebih getol menuduh sesama Muslim sebagai radikal. 

Inilah satu dari dua hal yang ingin saya luruskan. Bahwa radikalisme bukan kesungguhan dan komitmen dalam menjalankan agama. Sebab jika radikalisme adalah kesungguhan dan komitmen penuh dalam beragama, ketahuilah sesungguhnya saya termasuk dari mereka yang dituduh radikal.

Film The Santri

Di sisi lain saya juga ingin nimbrung  mengomentari film ”The Santri” karya Livi Zheng dan disutradarai bersama PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). 

Sejak diluncurkannya teaser film ini menjadi kontroversial dan menuai banyak kritikan. Entah itu karena dikomandoi oleh seorang non Muslim, keturunan China, walau lahirnya di bumi Jawa? 

Atau mungkin juga karena film ini diinisiasi oleh Ketua Umum NU, sosok yang selama ini dianggap kerap memilih posisi yang berseberangan dengan ”rata-rata” anggota umat ini. 

Apapun itu saya harus jujur bahwa saya belum menonton sepenuhnya film tersebut. Saya hanya mendengar dan membaca beberapa komentar tentang film itu. Baik yang mengeritik maupun yang mendukung (dan membenarkan). 

Saya ingin memulai dengan mengatakan bahwa dengan kekurangan (dan mungkin kesalahannya) saya tentunya senang dan bangga dengan film itu. Minimal karena dua alasan.

Pertama, karena saya kenal Livi Zheng sebagai salah seorang anggota diaspora Indonesia yang cukup mengharumkan nama negeri ini. Prestasi yang diraihnya di kampung Hollywood di Amerika membawa semerbak harum nama Indonesia. Dan kini Livi Zheng kembali ke tanah air untuk mendedikasikan potensinya untuk negeri tercinta.

Selain The Santri, Livi juga sudah menyutradarai sebuah film yang mengenalkan keindahan Bali. 

Kedua, dengan segala kekurangannya kehadiran film The Santri ini akan mengubah wajah santri dari wajah lama yang kumuh, terbelakang, kotor, penampungan anak-anak nakal dan (maaf) pembuangan sekolah-sekolah bermutu menjadi wajah sebaliknya. Minimal kata santri akan semakin dikenal (popular), khususnya jika film ini bisa go global. 

Sekalian tentunya pesantren akan menjadi alternatif dari kata ”madrasah” sebagai pusat keilmuan Islam tradisional. Maklum kata madrasah telah terbangun di mata Barat sebagai kata yang relevan dengan keras, kaku, bahkan fundamentalis dan radikal. 

Lalu di mana letak relevansi kritikan sebagian orang kepada The Santri? 

Saya dengar kebanyakan kritikan itu ada pada dua poin. 

Pertama, adegan di mana ada semacam ikhtilath atau percampuran antara pelajar pria (santri) dan pelajar wanita (santriyah). 

Kedua, adanya adegan santri masuk gereja untuk memberikan hadiah tumpeng ke pendeta gerejanya. (Bersambung)


* Imam Shamsi Ali adalah imam di masjid New York, penulis buku, Presiden Nusantara Foundation, dan pendiri pesantren pertama di AS.

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update