Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Meluruskan Yang Tidak Lurus (2): Isu Ikhtilath hingga Hukum Masuk Gereja

Tuesday, September 24, 2019 | 06:36 WIB Last Updated 2019-09-23T23:41:28Z

Oleh Imam Shamsi Ali

SURABAYA (DutaJatim.com) - Isu dalam tulisan pertama di atas (The Santri) sesungguhnya bukan sesuatu yang perlu dibesarkan. Sejatinya sebuah film memang dikenal akan menampilkan sesuatu yang tidak biasa, tapi dapat memancing perhatian. 

Kita kenal bahwa pesantren pada umumnya memisahkan santri dan santriyahnya. Tapi ada juga pesantren yang justru santri dan santriyah masih belajar pada ruang yang sama. Walaupun pastinya terpisah tempat tinggal atau asrama.

Bahkan yang terpisah kelas pun tidak jarang pada acara-acara tertentu mereka berada pada aula atau gedung yang sama. Minimal ini yang saya alami ketika nyantri di pondok pesantren. 
Pada saat-saat seperti itulah, seperti yang digambarkan di film The Santri terjadi saling melirik dan tersenyum menggoda. Sesungguhnya sisi natural kehidupan santrilah yang ingin ditampilkan pada film itu. Bahwa santri/santriyah itu adalah remaja biasa dan manusia biasa yang secara alami mengalami ketertarikan kepada lawan jenisnya. 

Menjadi santri bukan berarti menjadi suci nan malaikat. Seolah dunia ini setan. Dan tangan kanannya setan itu adalah wanita. Karenanya wanita harus menjauh dari kehidupan orang-orang suci itu.

Hukum Masuk Gereja

Isu kedua adalah isu masuk gereja atau rumah ibadah orang lain. Benarkah hal itu dilarang? 

Perlu juga dicatat bahwa terkadang penilaian kita, bahkan dalam hal yang menyangkut hukum agama sekalipun, dimotivasi oleh bentuk emosi sesaat yang terjadi. Kalau emosi sedang membenci maka apapun masalahnya cenderung disalahkan. 

Dalam ajaran Islam belum pernah kita temukan pelarangan memasuki rumah ibadah agama lain, selama itu tidak dimaksudkan sebagai bagian dari ibadah ritual. 

Dengan kata lain, memasuki rumah ibadah orang lain selama itu bukan untuk melakukan ibadah ritual tidak dilarang oleh agama ini. 

Contoh paling popular dalam sejarah barangkali adalah ketika Umar datang ke Jerusalem untuk menerima kunci Kota Itu dari gubernurnya. Salah satu kegiatan yang Beliau lakukan adalah memasuki sebuah gereja. Nama gereja itu dalam bahasa Inggrisnya adalah “Church of the Holy Sepulchre”. 

Di saat berada di dalam gereja itu Beliau ditawari untuk sholat. Konon kabarnya waktu sholat Ashar tiba. Umar sang Khalifah menolak. Penolakan itu pun bukan karena pertimbangan hukum agama. Justru karena pertimbangan sosial dan hubungan antar pemeluk agama. Khawatir jika Beliau sholat dalam gereja itu lalu umat Islam menganggap gereja itu telah diambil alih oleh sang Khalifah.

Umat Islam di dunia Barat, termasuk Amerika bahkan di beberapa tempat mengadakan jumatan di gedung-gedung gereja yang disewakan atau bahkan dipinjamkan oleh gereja tersebut.

Karenanya menyalahkan The Santri karena adegan santri masuk gereja bukan untuk tujuan ibadah (misa), tapi untuk membangun hubungan yang baik dengan jamaah geraja itu saya rasa tidak pada tempatnya. 

Saya sendiri khususnya pasca 9/11 di tahun 2001 sering ke gereja-gereja untuk memberikan penjelasan tentang Islam yang sesungguhnya ke banyak kalangan. 

Haramkah itu saya lakukan? Bayangkan jika momentum saat itu tidak saya pergunakan untuk meluruskan persepsi yang terbangun tentang Islam. Barangkali kebencian dan kemarahan orang Amerika tidak reda hingga kini. 

Kesimpulannya film The Santri memang tidak ideal dan tidak sempurna. Tapi bisa menjadi jalan bagi banyak kemanfaatan di masa depan. Khususnya bagi santri dan pesantren secara umum. 

Meluruskan Yang Bengkok

Saya sengaja membahas dua isu di atas; isu radikalisme dan isu film the Santri, sebenarnya penekanannya bukan pada substansi kedua isunya. Tapi lebih kepada mengingatkan kita semua untuk selalu proporsional dalam melakukan penilaian (judgement). 

Benar salahnya atau bagus buruknya sesuatu bukan dinilai pada siapa di balik dari sesuatu itu. Tapi nilailah baik karena memang baik. Atau sebaliknya nilailah buruk kalau memang itu buruk. Walaupun hal itu barangkali bertentangan dengan pandangan dan kepentingan diri sendiri. 

Maka dengan semangat keadilan itulah saya akan selalu berada pada posisi ”meluruskan yang perlu diluruskan”. Semoga Allah ridho! 

New York, 21 September 2019

* Presiden Nusantara Foundation & Pendiri pondok pesantren Nur Inka Nusantara MADANI Amerika Serikat.

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update