Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Isu Radikalisme dan Ribetnya Aturan untuk Umat Islam

Saturday, November 30, 2019 | 09:25 WIB Last Updated 2019-11-30T02:25:42Z


JAKARTA (DutaJatim.com) - Isu radikalisme memuat masyarakat seperti terasuki Islamofobia. Para petinggi negara malah terkesan kerepotan menyikapinya. Bila seperti itu yang terjadi, justru para radikalis merasa berhasil menebar tujuan aksi radikalnya itu sendiri.

Betapa tidak, umat Islam seperti disibukkan oleh hal-hal seperti ini: sertifikasi ustad, masjid diawasi, khutbah diawasi, ormas Islam diawasi, celana cingkrang dan cadar dibikin heboh, hingga rencana Menteri Agama menerbitkan peraturan menteri agama soal majelis taklim. 

Semua membuat stigma bahwa ada yang gawat pada Islam dan umat Islam. Gawat itu bisa berujung saling curiga antar-umat Islam. Jamaahnya terbelah. Ada kelompok ini dan kelompok itu. Saling curiga. Bahkan bisa jadi lebih dari itu bila kondisi ini terus dibiarkan. 

Lalu pertanyaannya, apa memang ada yang sengaja membuat umat Islam terbelah? Bahkan tercerai berai? Apa ada yang sengaja membuat umat Islam sibuk dengan urusan yang sudah menahun itu, sehingga tidak bisa mengurusi hal-hal lain yang lebih substantif, seperti ketertinggalan dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya? Apa ada yang sengaja membuat belenggu? Dan mengapa umat Islam sendiri mau saja dibelenggu? 

Karena itu, banyak yang protes bila negara masih mengurusi urusan yang membuat gaduh umat Islam. Wakil Ketua Komisi VIII DPR Fraksi Golkar, Ace Hasan Syadzily, misalnya, protes atas terbitnya Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 29 tentang Majelis Taklim.

"Saya kira terlalu berlebihan mengatur hal yang sebetulnya bukan ranah negara," kata Ace, Jumat 29 November 2019.

Ace mengatakan Majelis Taklim bukan institusi pendidikan formal, tapi informal dan non-formal yang tidak memerlukan pengaturan negara. Majelis Taklim secara kelembagaan merupakan pranata sosial keagamaan yang lahir dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. 

"Tidak perlu ada pengaturan teknis dari pemerintah. Ini merupakan ranah civil society Islam yang seharusnya diatur oleh masyarakat sendiri," kata Ace seperti dikutip dari vivanews.com.

Dia menyoal mengapa menteri agama membuat aturan Majelis Taklim harus mendaftarkan diri ke Kementerian Agama. Ia juga mempertanyakan konsekuensinya kalau tidak mendaftar. Apakah harus  dibubarkan oleh Pemerintah? Apa harus berbadan hukum?

"Secara kelembagaan, majelis taklim itu bukan seperti lembaga pendidikan formal yang sifatnya tetap tapi lebih dimaknai sebagai forum pengajian dan silaturahmi warga muslim untuk mendalami keislaman, yang kerapkali temporer," kata Ace.

Menurutnya, tidak ada konsekuensinya jika Majelis Taklim tidak mendaftarkan ke Kementerian Agama. Majelis Taklim tidak memerlukan pengakuan (rekognisi) negara seperti halnya, pesantren yang memang memiliki peran pendidikan yang mengeluarkan ijazah dan kontribusi negara untuk peningkatan kualitasnya. 

"Saya kira Kementerian Agama harus belajar kembali soal relasi antara negara dan civil society atau masyarakat dalam konteks membangun negara. Hal-hal yang tidak perlu diatur negara ya tidak perlu lah diatur seperti itu," kata Ace.

PMA Majelis Taklim

Kementerian Agama Republik Indonesia  menerbitkan Peraturan Menteri Agama No 29 tahun 2019 tentang Majelis Taklim pada 13 November 2019.  Menag Fachrul Razi menegaskan aturan tersebut dibuat untuk memudahkan pemberian bantuan pemerintah kepada majelis taklim. 

PMA Majelis Taklim terdiri dari enam Bab dengan 22 pasal. Regulasi ini antara lain mengatur: tugas dan tujuan majelis taklim, pendaftaran, penyelenggaraan yang mencakup pengurus, ustaz, jamaah, tempat, dan materi ajar.

Majelis taklim yang dimaksud dalam PMA, mesti terdaftar dan melaporkan susunan kepengurusan dan jamaahnya kepada Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, dengan melampirkan identitas pengurus dan jamaah, seperti foto copi KTP. PMA ini  juga mengatur masalah pembinaan dan pendanaan. 

Pasal 20 mengatur, pendanaan penyelenggaraan majelis taklim dapat bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah, serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

PMA ini bukan satu-satunya produk Menag Fachrul Razi yang bikin heboh. Sebelumnya dia juga menyoal cadar dan celana cingkrang yang dikenakan sebagian umat Islam yang menjadi PNS. 

Sertifikasi Ulama

Selain itu, sudah lama pula ada isu sertifikasi ustad atau ulama. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mencoba 'menyediakan' ulama-ulama berkualitas dan nonradikal yang dianggap pantas berdakwah di muka khalayak melalui program standarisasi dai alias sertifikasi ulama.  Melalui program itu, MUI mencoba menyamakan persepsi para dai dan "menyatukan langkah-langkah dakwah" mereka.

Lembaga tersebut berkaca pada Malaysia dan Brunei yang disebut telah menerapkan sistem serupa, dengan memberikan "sertifikat negara" kepada para pendakwah sebelum mereka terjun ke tengah masyarakat.

"Di kita (bisa berdakwah) sebebas-bebasnya. Tapi kan celakanya, bacaan Quran aja belum bisa, menulis Quran juga belum bisa, agama belum bisa, tapi jadi penceramah," kata Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI, M. Cholil Nafis, kepada BBC News Indonesia, Rabu (20/11/2019).

Cholil menuturkan bahwa pihaknya kerap menerima laporan masyarakat yang meragukan kualitas sejumlah penceramah yang mereka saksikan di ruang publik.  "Laporan dari masyarakat, bahwa mereka nggak pantas jadi dai. Tapi, karena mereka ngartis, mereka lucu. Tapi kan menjadi salah-salah ngejelasin agama," katanya.

Di samping itu, pihaknya juga bertujuan menyortir gagasan radikal dan liberal yang dirasakan masyarakat, termasuk di kalangan para pendakwah.  Ustadz Abdul Somad adalah salah seorang ulama populer di Indonesia yang sempat terjerat sejumlah kontroversi, salah satunya terkait pernyataannya tentang 'salib' dan 'jin kafir'.

"Yang kita tidak mau adalah radikalisme ke terorisme, mengarah kepada destruksi, lalu membenci pada beda agama, membenci kepada berbeda pendapat," kata Cholil.

Ia berharap para ulama yang mengikuti sertifikasi akan memiliki "keseimbangan, tidak ekstrem kanan, tidak ekstrem kiri, tidak radikalisme, juga tidak liberalisme".

Bagaimana cara kerja sertifikasi ulama? Sebanyak 75 ulama telah mengikuti proses sertifikasi pada gelombang pertama Senin (18/11/2019) lalu. Kali itu, mereka yang hadir merupakan ulama-ulama senior yang diundang oleh MUI, seperti Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Fahmi Salim, Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ) Muchlis Hanafi, hingga pengasuh Pondok Pesantren Baitul Hikmah Depok Hamdan Rasyid.

Ke depannya, dai-dai yang tertarik dapat mendaftarkan diri untuk mengikuti sertifikasi.

"Minimal bacaan Qurannya dia fasih. Yang kedua, bicara di depan umum bisa. Yang ketiga, dia memang aktif keagamaan di masyarakat," tutur Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI, M. Cholil Nafis.

Isu ini sudah lama. Ide pertama dari Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT). Saat itu 

Tempo.co mencatat Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu Mahfud MD menyatakan dia tidak setuju dengan adanya usulan sertifikasi ustad yang digagas oleh BNPT.

"Saya sangat tidak setuju. Itu sangat berbahaya. Yang boleh mensertifikasi ustad hanyalah ustad itu sendiri. Tidak boleh aparat keamanan," kata Mahfud usai menyampaikan orasi ilmiah pada Dies Natalis ke-56 Universitas Hasanuddin di Makassar, Senin, 10 September 2012.

Menurut Mahfud, di dalam agama (Islam) ada perintah bahwa setiap orang yang mengerti (agama) walau satu ayat harus menjadi ustad, harus berdakwah. "Lalu kalau disertifikasi, semua umat Islam yang mengerti ayat harus disertifikasi. Ini sangat berbahaya sebab suatu saat bisa dipolitisasi oleh tangan orang yang salah. Ini justru lebih Orde Baru daripada Orde Baru," katanya.

Mahfud mengatakan, di zaman Orde Baru, ustad disertifikasi saat ingin melakukan khutbah salat Jumat dan hari raya. Jika saat ini ustad juga disertifikasi, maka sangat berlebihan. "Ini hanya untuk menekan masyarakat, bukan untuk membina masyarakat. Akan kita lawan," ujarnya. Semoga sertifikasi ustad dan ulama oleh MUI tidak masuk dalam kerangka "berbahaya" yang dimaksud oleh Mahfud MD tersebut. (gas)

Foto: Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak, meresmikan Majelis Taklim Imadul Bilad di Kabupaten Pasuruan, Minggu (29/9/2019). (surya.co.id) 


No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update