Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Empat Inisiatif Merdeka Belajar Ala Mendikbud Nadiem Makarim, Apa Saja?

Thursday, December 12, 2019 | 00:04 WIB Last Updated 2019-12-11T17:04:58Z


JAKARTA (DutaJatim.com) - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, membuat gebrakan untuk mengubah wajah dunia pendidikan di negeri ini. Ada empat poin kebijakan yang diumumkan oleh Nadiem dalam Rapat Koordinasi bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu 11 Desember 2019.

Mendikbud menyebutnya sebagai empat inisiatif Merdeka Belajar. "Empat jenis kebijakan perubahan yang sangat penting," kata Nadiem di hadapan  peserta rapat koordinasi tersebut.

Empat Inisiatif Merdeka Belajar Ala Mendikbud Nadiem Makarim, Apa Saja?

Inisiatif Pertama, Nadiem secara resmi menghapus Ujian Nasional (UN) yang berlaku mulai tahun 2021. Untuk itu dia juga mengumumkan program penggantinya yang diberi nama Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. 

Kedua, mengganti Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) yang selama ini menentukan kelulusan siswa sekolah. Nadiem akan mengganti USBN dan membebaskan tiap-tiap sekolah untuk membikin ujian secara otonom. Namun ini belum bersifat wajib bagi sekolah.

"Jadinya ini kita memberikan kemerdekaan bagi guru-guru penggerak di seluruh Indonesia untuk menciptakan konsep-konsep penilaian yang lebih holistik. Yang benar-benar menguji kompetensi dasar kurikulum kita. Bukan hanya pengetahuan atau hafalan saja," kata Nadiem.

Ketiga, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) memuat 11 komponen meliputi identitas mata pelajaran, standar kompetensi, kompetensi dasar, materi dasar, hingga alokasi waktu. Tentu dokumennya tebal. Setiap guru wajib menyusun RPP secara lengkap. Kini, Nadiem menyederhanakan RPP ini. "Kita akan mengubahnya menjadi format yang jauh lebih sederhana, cukup satu halaman saja untuk RPP," kata Nadiem.
Nadiem berpendapat, esensi pembelajaran yang terkandung dalam RPP lebih penting ketimbang dokumen RPP itu sendiri. Dengan penyederhanaan penyusunan RPP, dia berharap beban guru berkurang.

Keempat, melonggarkan Zonasi. Nadiem melonggarkan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Dia menaikkan kuota penerimaan siswa berprestasi dua kali lipat ketimbang kuota sebelumnya, dari yang tadinya 15% menjadi 30%.

Persentase kuota untuk siswa dalam zona sekolah diturunkan dari yang tadinya 80% menjadi 50%. Nadiem beranggapan tak semua daerah sudah mampu menerapkan sistem zonasi secara kaku. Juga, siswa berprestasi juga perlu untuk diakomodasi supaya bisa bersekolah di tempat favorit. "Zonasi masih bisa mengakomodir anak-anak berprestasi. Kita memberi langkah pertama kemerdekaan belajar di Indonesia," kata Nadiem.

Itulah Empat Inisiatif Merdeka Belajar Ala Mendikbud Nadiem Makarim.

UN Bikin Stres

Paling menjadi sorotan adalah soal penghapusan UN. Pasalnya, UN telah menguras energi masyarakat dalam perdebatan panjang. Namun demikian UN tidak secara langsung dihapus dan tetap berlaku sampai 2020. 

"UN akan dilaksanakan seperti tahun sebelumnya. Jadi 2020. Bagi orang tua yang sudah investasi buat anaknya, belajar mendapat angka terbaik di UN, itu silakan lanjut untuk 2020. Tapi itu hari terakhir UN seperti format sekarang diselenggarakan," kata Nadiem di dalam peserta rapat. 

Selanjutnya dia menjelaskan program yang akan  menggantikan UN. "Pada tahun 2021, UN itu akan diganti menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter," katanya.
Nadiem mengatakan ada beberapa masalah pada format ujian nasional yang sedang dipakai saat ini. Ujian nasional juga menjadi beban bagi siswa, guru, dan orang tua.

"Ini sudah jadi beban stres bagi banyak sekali siswa guru dan orang tua. Karena sebenarnya ini berubah menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu. Padahal maksudnya ujian berstandar nasional adalah untuk mengakses sistem pendidikan, yaitu sekolahnya, maupun geografinya, maupun sistem penduduknya secara nasional," ungkap Nadiem.

Lalu seperti apa formatnya nanti?  Nadiem memastikan tolok ukur bagi para siswa harus tetap ada tapi hal yang diukur akan diubah.

"Asesmen kompetensi minimum adalah kompetensi yang benar-benar minimum di mana kita bisa memetakan sekolah-sekolah dan daerah-daerah berdasarkan kompetensi minimum. Apa itu materinya. Materinya yang bagian kognitifnya hanya dua. Satu adalah literasi dan yang kedua adalah numerasi," katanya.

Nadiem menjelaskan "literasi" bukan sekadar kemampuan membaca, tapi juga kemampuan menganalisis suatu bacaan serta kemampuan untuk mengerti atau memahami konsep di balik tulisan tersebut. Sedangkan "numerasi" adalah kemampuan menganalisis menggunakan angka. 

Dia menekankan "literasi" dan "numerasi" bukan mata pelajaran bahasa atau matematika, melainkan kemampuan murid-murid menggunakan konsep itu untuk menganalisis sebuah materi.

"Ini adalah 2 hal yang akan menyederhanakan asesmen kompetensi yang dilakukan mulai dari tahun 2021. Bukan berdasarkan mata pelajaran lagi. Bukan berdasarkan penguasaan konten materi. Ini berdasarkan kompetensi minimum kompetensi dasar yang dibutuhkan murid-murid untuk bisa belajar apa pun materinya. Ini adalah kompetensi minimum yang dibutuhkan murid untuk bisa belajar apa pun mata pelajarannya," katanya.

Selain itu ada pula survei karakter. Nadiem mengatakan, bahwa selama ini pemerintah hanya memiliki data kognitif dari para siswa tapi tidak mengetahui kondisi ekosistem di sekolah para siswa.

"Kita tidak mengetahui apakah asas-asas Pancasila itu benar-benar dirasakan oleh siswa se-Indonesia. Kita akan menanyakan survei-survei untuk mengetahui ekosistem sekolahnya. Bagaimana implementasi gotong royong. Apakah level toleransinya sehat dan baik di sekolah itu? Apakah well being atau kebahagiaan anak itu sudah mapan? Apakah ada bullying yang terjadi kepada siswa-siswi di sekolah itu?" ujar Nadiem.

Nadiem menuturkan survei ini akan menjadi panduan untuk sekolah dan pemerintah. Survei karakter itu diharapkan jadi tolok ukur untuk bisa memberikan umpan balik bagi sekolah dalam melakukan perubahan.

"Memberikan feedback pada sekolah-sekolah untuk melakukan perubahan-perubahan yang akan menciptakan siswa-siswi yang lebih bahagia dan juga lebih kuat asas-asas Pancasilanya di dalam lingkungan sekolahnya," ungkapnya.

Ujian itu sendiri akan digelar bukan di ujung jenjang sekolah seperti pelaksanaan UN selama ini, melainkan di tengah jenjang.  "Yang tadinya di akhir jenjang, kita akan ubah itu di tengah jenjang," katanya.

Ujian itu akan dilakukan di tengah jenjang, misalnya saat kelas 4 SD dan bukan kelas 6 SD. Kelas 8 SMP dan bukan kelas 9 SMP. Juga kelas 11 SMA bukan kelas 12 SMA.
Alasannya, pertama, ujian di tengah jenjang memungkinkan pihak pendidik mempunyai waktu untuk memperbaiki kualitas siswa sebelum lulus dalam suatu jenjang, entah itu lulus SD, lulus SMP, atau lulus SMA. Perbaikan berdasarkan hasil asesmen dan survei tak akan bisa dilakukan bila hasilnya baru diketahui di akhir jenjang pendidikan.

"Kalau dilakukan di tengah jenjang memberikan waktu untuk sekolah dan guru-guru melakukan perbaikan sebelum anak itu lulus jenjang itu," tutur Nadiem.
Hasil dari ujian itu bakal menunjukkan kepada guru-guru, siswa mana saja yang membutuhkan bantuan ekstra supaya kualitasnya bisa sesuai target. Alasan kedua, asesmen di tengah jenjang diterapkan agar tak ada lagi ujian akhir yang menjadi beban siswa dan orang tua.

"Karena dilakukan di tengah jenjang, ini tidak bisa digunakan sebagai alat seleksi untuk siswa-siswi kita, dan tidak lagi menimbulkan stres di orang tua dan anak-anak. Karena, ini adalah formatif, artinya, berguna bagi sekolah, berguna bagi guru untuk kemudian memperbaiki dirinya," kata Nadiem.

Asesmen kompetensi minimum dan survei karakter akan dilakukan dengan bantuan organisasi dalam negeri dan luar negeri, termasuk Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan Bank Dunia (World Bank). Tujuan kerjasama dengan lembaga transnasional itu agar kualitas siswa-siswi Indonesia bisa setara dengan kualitas internasional.

"Setara kualitas internasional tapi juga penuh dengan kearifan lokal. Jadi ini kita gotong-royong untuk menciptakan asesmen kompetensi yang lebih baik," kata dia.
Nadiem juga menjelaskan, kebijakan ini mengacu pada Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA), salah satu program OECD. Selain itu juga Tren dalam Studi Matematika dan Sains Internasional (TIMSS).  "Arah kebijakan ini juga mengacu pada praktik baik pada level internasional seperti PISA dan TIMSS," kata Nadiem.

Dikembalikan ke Sekolah

Bukan hanya Ujian Nasional (UN), Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) juga akan diganti.  Nadiem memastikan arah kebijakan baru penyelenggaraan USBN pada tahun 2020 akan diterapkan dengan ujian yang diselenggarakan hanya oleh sekolah.

"Untuk 2020 USBN itu akan diganti, dikembalikan kepada esensi UU Sisdiknas, kepada setiap sekolah untuk menyelenggarakan ujian kelulusannya sendiri. Dengan tentunya mengikuti kompetensi-kompetensi dasar yang sudah ada di kurikulum kita," papar Nadiem.
Kendati demikian, Nadiem mengatakan, bahwa kebijakan ini tidak memaksa sekolah untuk langsung mengubah sistem kelulusannya. Sekolah dipersilakan untuk tetap memakai format USBN tahun lalu.

"Ini harus ditekankan. Ini tidak memaksakan sekolah harus berubah tes kelulusannya. Kalau sekolah masih belum siap untuk melakukan perubahan, kalau ingin menggunakan format seperti USBN tahun lalu, itu dipersilakan," ujar Nadiem.

Dia menjelaskan, setiap sekolah yang ingin mengubah sistem USBN juga diperbolehkan. Ujian untuk menilai kompetensi siswa dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian lain yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan (tugas kelompok, karya tulis, dan sebagainya).

"Kita memberikan kemerdekaan bagi guru-guru penggerak di seluruh Indonesia, untuk menciptakan konsep-konsep penilaian, yang lebih holistik, yang benar-benar menguji kompetensi dasar kurikulum kita. Bukan hanya pengetahuan atau hafalan saja," katanya.

Selain itu, dia menyarankan apabila sudah ada penganggaran untuk USBN, anggaran itu bisa dimanfaatkan untuk hal lain. Misalnya, untuk peningkatan kapasitas guru dan kualitas pembelajaran.

"Bagi bapak-bapak di sini yang telah menganggarkan budget untuk USBN ini bisa digunakan untuk meningkatkan kapasitas guru dan kualitas pembelajaran, yang memang beberapa daerah sudah ada yang menganggarkan ini. Tapi, 2020 bagi sekolah-sekolah yang ingin menciptakan asesmen yang lebih holistik ini adalah kesempatan," kata pria lulusan Harvard University ini. 

Jalur Prestasi Ditambah

Sedang soal melonggarkan sistem zonasi untuk penerimaan siswa baru, Mendikbud mengatakan, komposisi kuota diubah sehingga siswa berprestasi bisa memilih sekolah favorit.

"Kami sadar, nggak semua daerah itu siap untuk suatu policy zonasi yang sangat rigid (kaku)," kata Nadiem.

Sistem zonasi sebelumnya membagi jatah-jatah kuota penerimaan siswa baru, yakni 80% kuota suatu sekolah diberikan untuk anak-anak yang bermukim di kawasan zonasi sekolah, 15% kuota untuk siswa yang berprestasi, dan 5% kuota untuk siswa perpindahan. Komposisi kuota ini akan diubah oleh Nadiem supaya lebih longgar, khususnya untuk anak berprestasi yang ingin sekolah di sekolah favorit tertentu.

"Yang tadinya prestasi 15% sekarang jalur prestasi kami perbolehkan sampai 30%. Jadi bagi orang tua yang sangat semangat mem-push anaknya untuk mendapatkan angka-angka yang baik untuk mendapatkan prestasi yang baik, inilah menjadi kesempatan untuk mereka untuk mencapai sekolah yang mereka inginkan," tutur Nadiem.

Kuota untuk siswa yang berada dalam zonasi sekolah bakal dikecilkan. Bila sebelumnya kebijakan zonasi mengalokasikan 80% untuk siswa sekitar zona sekolah, kini Nadiem menurunkan jatah itu menjadi 50%. Kuota untuk jalur afirmasi untuk pemegang Kartu Indonesia Pintar tidak diubah Nadiem alias tetap 15%. Kuota untuk jalur perpindahan domisili orang tua juga tetap 5%.

Begini kuota sistem zonasi sekolah ala Nadiem:

50% untuk jalur zonasi
30% untuk jalur prestasi
15% untuk jalur afirmasi
5% untuk jalur perpindahan domisili orang tua.

Kebijakan zonasi dilandasi oleh semangat pemerataan pendidikan. Namun, menurut Nadiem, pemerataan tidak cukup dengan cara zonasi, tapi juga harus diimbangi pemerataan kualitas guru-guru. Kebijakan zonasi juga dilandasi semangat menghapus favoritisme sekolah. Namun kini Nadiem ingin anak-anak berprestasi bebas menentukan sekolah idamannya.

"Zonasi masih bisa mengakomodir anak-anak berprestasi. Kita memberi langkah pertama kemerdekaan belajar di Indonesia," kata Nadiem. (det/hud/ara)

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update