Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Giliran Krisis Pangan Mengancam, Ini Sejumlah Saran Para Pakar

Thursday, April 30, 2020 | 09:30 WIB Last Updated 2020-04-30T02:30:06Z


JAKARTA (DutaJatim.com) - Wabah Virus Corona atau pandemi COVID-19 belum mereda. Bahkan baru menuju puncaknya. Namun masyarakat harus menghadapi ancaman baru berupa krisis pangan. Maka, semua warga bangsa Indonesia harus secara dini mengantisipasinya. Menghadapinya dengan meningkatkan produksi pangan. Sekaligus meninggalkan "tradisi' impor pangan.


Untuk melihat kondisi pangan di lapangan, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto melakukan inspeksi mendadak (Sidak) di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu 29 April 2020. Menteri Agus melihat harga sembako yang ada di Pasar kramat Jati bervariatif.

Salah satu pedagang mengatakan, harga bahan pokok masih stabil kecuali untuk harga gula pasir yang masih tinggi di pasaran. Karena itu gula pasir dari pemerintah sangat membantu masyarakat dengan harga Rp12.500 per kilogram. 

"Kalau harga beras yang naik itu beras premium, beras medium stabil. Telur malah turun dari Rp25 ribu sekarang Rp23 ribu. Minyak goreng stabil," kata Tanto, salah satu pedagang di Pasar Kramat Jati.

Para pedagang berharap stok gula pasir yang diproduksi di Food Station, Pasar Induk Beras Cipinang, cukup untuk ke depannya. Hal ini karena gula pasir yang diproduksi pemerintah selalu dicari oleh masyarakat lantaran harganya murah.

"Sebagai pedagang saya sangat berharap stok gula dari pemerintah selalu ada. Jangan sampai hanya ada ketika ada menteri aja (saat melakukan sidak, Red.) setelah itu nggak ada barangnya. Masalahnya masyarakat selalu tanya harga sembako murah," katanya.

Stok gula yang diproduksi oleh pemerintah di Pasar Kramat Jati sendiri mulai menipis. Dikhawatirkan, stok gula pasir yang tersedia semakin menipis akan kembali membuat harga gula pasir tinggi. 

Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto mengatakan bawang putih impor akan kembali mengguyur Tanah Air paling lambat Mei 2020. Adapun jumlah bawang putih impor yang didatangkan pemerintah mencapai 58 ribu ton.

"Bawang putih memang sudah masuk sebagian. Nanti di bulan Mei ini mencapai 58 ribu ton kurang lebih," kata Mendag Agus melalui konferensi pers virtual, Rabu (29/4/2020).

Menurutnya, apabila sesuai rencana awal, bawang putih impor akan tiba di Indonesia pada akhir bulan ini. Akan tetapi, jika terjadi hambatan karena ketidakpastian situasi global maka bahan pangan yang sempat menyumbang inflasi nasional ini tiba awal Mei 2020.

Kendati demikian, dia berharap bawang putih impor tiba sesuai rencana semula. Sebab, pemerintah telah memberikan akses kemudahan impor bagi komoditas pangan, termasuk bawang putih dan bawang bombai. "Jadi relaksasi impor yang kita berikan pembebasan persetujuan impor. Sehingga memudahkan bagi pelaku usaha untuk mengimpor khususnya bawang putih dan bawang bombai," terangnya. 

Semua impor itu dalam upaya menghadapi ancaman krisis pangan. Soal ancaman krisis pangan di tengah pandemi COVID -19 sendiri disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi. Bahkan juga badan PBB yang menangani pangan FAO.

Untuk itu Presiden Jokowi telah memerintahkan Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara 'keroyokan' membuka lahan baru bagi persawahan sebagai bentuk antisipasi apabila terjadi kekeringan yang melanda dan ancaman kelangkaan pangan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengemukakan bahwa instruksi tersebut datang langsung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Salah satu lahan yang perlu dibuka yakni lahan basah atau lahan gambut.

"Presiden meminta BUMN dan daerah, serta Kementerian Pertanian untuk membuka lahan baru untuk persawahan yaitu lahan basah dan lahan gambut," kata Airlangga dalam konferensi pers, kemarin.

Di Kalimantan Tengah diperkirakan ada lebih dari 900.000 hektare, di mana yang sudah siap 300.000 hektare. Lahan itu juga yang dikuasai BUMN. "Ada sekitar 200.000 hektare agar dibuat perencanaan," jelasnya.

Jokowi khawatir terjadi cuaca ekstrem di beberapa wilayah Indonesia. Maka dari itu, perlu adanya langkah antisipasi mencegah kekeringan apalagi di tengah wabah pandemi Covid-19.

"Walaupun BMKG sampaikan tidak akan ada cuaca kering ekstrem tapi kami monitor apakah di semester II tantangan alam baik kekeringan atau hama 5 tahunan," katanya.
Presiden Jokowi mengingatkan soal risiko krisis pangan yang terjadi sebagai dampak dari pandemi corona. Hal ini merespons Organisasi Pangan Dunia (FAO) yang sudah mengingatkan potensi krisis pangan di tengah wabah corona.

"FAO telah mengeluarkan peringatan adanya potensi kelangkaan pangan dunia sebagai dampak panjang dari pandemi Covid-19. Di dalam negeri, sejumlah langkah sudah kita ambil dan persiapkan sejak dini untuk memastikan ketahanan pangan di daerah-daerah selama pandemi," kata Jokowi dalam akun media sosialnya seperti dilihat Rabu 29 April 2020.


Jokowi juga mengatakan selain memastikan ketersediaan bahan-bahan pokok, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menjaga daya beli masyarakat dan memberikan bantuan bahan pokok yang amat dibutuhkan di tengah kebijakan tanggap darurat Covid-19 ini.

Sebelumnya Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memang memperingatkan dunia akan potensi kelangkaan dan darurat pangan di tengah pandemi virus corona (Covid-19). Sebab, kebijakan penguncian (lockdown) di sejumlah negara membuat distribusi pangan internasional terganggu.

Sinyal dari FAO tersebut direspons oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, kepala negara mengungkapkan fakta bahwa sejumlah daerah di Indonesia telah mengalami defisit pasokan bahan pangan.  

Defisit disebutnya terjadi pada pasokan beras, jagung, cabai, bawang merah, telur ayam, gula pasir dan bawang putih. Untuk itu, dia memerintahkan jajarannya untuk memastikan rantai distribusi bahan pokok ke daerah yang mengalami defisit tak terhambat.

"Pastikan distribusi dengan baik sehingga daerah yang defisit bahan pokoknya bisa di-supply dari daerah yang surplus. Distribusi pangan jangan sampai terganggu," kata Jokowi.

Tak bisa dipungkiri, kecukupan bahan pangan menjadi amunisi utama sebuah negara bertahan di tengah pandemi covid-19. Sayangnya, Indonesia masih menggantungkan ketersediaan sejumlah bahan pangan dari impor karena minimnya produksi di dalam negeri. Yang jadi masalah negara pengekspor pangan saat ini juga membutuhkan produk pangan untuk rakyatnya sendiri yang juga terdampak virus Corona. Salah satunya Vietnam yang mengekspor beras ke Indonesia, sekarang juga menghadapi masalah pangan di dalam negerinya.

Anggaran Kementan Dipangkas 


Yang menarik, di tengah kondisi itu, anggaran Kementerian Pertanian (Kementan) justru dipangkas. Kementan mengusulkan penghematan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2020 sebesar Rp 7 triliun. Pemotongan tersebut membuat anggaran Kementan yang semula mencapai Rp 21,05 triliun, berubah menjadi Rp 14,05 triliun.
Rencana tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementan, Momon Rusmono, dalam rapat sebelumnya bersama Komisi IV DPR RI. Alasan pemangkasan untuk mendukung penanganan virus corona.

Dalam rapat lanjutan yang digelar kemarin Komisi IV DPR kembali mempertanyakan besarnya anggaran Kementan yang dipangkas. Padahal, kementerian yang satu ini punya peranan besar di tengah situasi merebaknya virus corona.

Belum lagi adanya isu krisis pangan yang seharusnya menjadi alasan untuk melakukan penguatan terhadap sektor pertanian. Mereka menilai banyak pos penting yang justru dipangkas anggarannya.

"Saya prihatin dengan pemotongan cukup besar terhadap anggaran kementerian ini, yang kita tahu, sektor pangan ini penopang utama untuk ketersediaan pangan. Bila kita tidak berhasil saya khawatir masa COVID-19 ini akan panjang, ada keterlambatan penanganan ketimbang kecepatan penyebaran COVID-19," ujar Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS, Hermanto.

Menurut Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PKB, Luluk Nurhamidah, kondisi semakin mengkhawatirkan jika melihat pos-pos anggaran yang dipangkas di Badan Ketahanan Pangan. Mulai dari pos ketersediaan dan pengentasan daerah rentan dan rawan pangan serta stunting, hingga anggaran stabilisasi harga dan cadangan pangan.

"Saya sangat menyesalkan sekali pemotongan anggaran besar di Kementan yang implikasinya menjadi kacau balau. Salah satunya, anggaran pengentasan daerah rawan pangan dan stunting itu sudah kecil, sekarang lebih kecil lagi. Di tengah ancaman stunting yang masih sangat tinggi, maka usai pandemi ini akan naik lagi," ujar Luluk.

Lebih lanjut, DPR juga mengingatkan agar ancaman krisis pangan ini tidak disepelekan. Sektor ini sama pentingnya dengan kesehatan yang jadi prioritas selama pandemi COVID-19.

"Dalam COVID-19 ini ada dua hal mendasar, pertama bagaimana mencegah, kedua adalah bagaimana ketersediaan pangan. Jangan sampai menjadi petaka, negara agraris kekurangan pangan karena masalah pangan tidak jadi prioritas," pungkas Suhardi, anggota Komisi IV DPR dari Partai Demokrat.

Saran Para Pakar Pangan

Kekhawatiran yang sama juga datang dari para pakar pangan. Salah satunya Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) Institut Pertanian Bogor, Sofyan Sjaf. Dia memprediksi ketersediaan pangan, khususnya beras, akan mulai bermasalah pada bulan Agustus atau September 2020. 

"Stok (beras) yang ada sekarang kan cuma sampai bulan 6 atau 7. Bulan selanjutnya bagaimana?" kata Sofyan kemarin. 

Menurut dia Indonesia baru akan stabil pada akhir tahun 2020 karena belum ada tanda-tanda penurunan kasus Covid-19 hingga saat ini. Ia menegaskan, kekhawatiran stok pangan tersebut berdasarkan pantauan langsung ke lapangan. Selain itu, Food and Agriculture Organization (FAO) atau Badan Pangan dan Pertanian PBB juga telah memperingatkan potensi krisis pangan sebagai dampak dari pandemi Covid-19. 

Untuk itu, dia menyarankan pemerintah segera membuat kebijakan pencegahan; mulai dari perbaikan data, optimalisasi produksi, hingga distribusinya. 
Pertama, dia meminta Kementerian Pertanian sesegera mungkin memperbaiki data stok pangan dan lahan yang berproduksi. Ia meyakini Kementan belum memiliki data spasial terkait keberadaan stok pangan maupun lahan-lahan yang akan panen.

Dia menyarankan agar data yang digunakan berbasis desa. Caranya adalah melakukan pendataan dengan memanfaatkan satgas Covid-19 tingkat desa. Data yang dikumpulkan adalah kebutuhan pangan tiap desa dan juga eksisting produksi tiap desa.

Kedua, optimalkan produksi. Hal ini dilakukan dengan menjamin ketersediaan kebutuhan dasar pertanian dan juga menerapkan strategi baru. Kebutuhan dasar yang harus dicukupi mulai dari bibit, pupuk, hingga alat mesin pertanian. 

Strategi baru yang harus diterapkan adalah memanfaatkan tenaga kerja yang sudah pulang kampung karena PHK di kota-kota besar. Jadikan mereka ujung tombak produksi pangan di desa. Walhasil, mereka akan memiliki pekerjaan sebagai petani sehingga mengurangi ketergantungannya pada bantuan langsung dari pemerintah.

"Jadi, mencukupi kebutuhan dia pribadi dan juga kebutuhan pokok kita secara nasional," kata dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB itu.
Adapun untuk sumber pembiayaannya dia menyarankan diambil dari dana desa. Dia menilai dana desa seharusnya tidak diperuntukkan bantuan langsung tunai. Pasalnya, ketersediaannya terbatas. Sementara itu, pandemi Covid-19 ini belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda. 

Untuk itu, menurut dia, sebaiknya dana desa diganti peruntukannya. Sebanyak 30 persen untuk penanganan Covid-19 dan 70 persen untuk memastikan ketahanan pangan desa. Bagi desa yang memiliki lahan, dana pangan itu harus digunakan untuk berproduksi.

"Dari 70 persen itu juga buat bikin lumbung pangan dan produksi. Jadi, kalau ada lebih bisa disimpan. Kalau masih berlebih bisa didistribusikan ke desa tetangga yang tidak bisa berproduksi," ujar Sofyan.

Ketiga, Kementerian Perhubungan harus memastikan distribusi dan Badan Urusan Logistik (Bulog) melakukan penyerapan produk pangan. Distribusi menjadi krusial karena terbatasnya perjalanan akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Sofyan mengatakan, jika tiga langkah itu diterapkan, Indonesia bisa selamat dari krisis pangan. Terlebih, menurut dia, sekitar 73,14 persen dari total desa di Indonesia (74.517 desa) merupakan desa yang kegiatan ekonominya berbasis pertanian. 

Awasi Stok


Dihubungi terpisah, pengamat pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan kunci utama menghindari krisis adalah memastikan stok pangan tercukupi. Menurutnya, stok pangan yang perlu diwaspadai adalah beras, gula, dan jagung.

Ia memprediksi produksi beras tahun ini lebih rendah dibandingkan tahun lalu lantaran musim tanam mundur. "Stok kita juga relatif turun, di 2019 stok Bulog masih 2,1 juta ton pada Mei, sekarang 1,4 juta ton jadi stok pemerintah turun dan produksi juga lebih rendah," katanya.

Permasalahan stok juga mengancam komoditas gula dan jagung yang notabene masih membutuhkan impor. Ia menilai pemerintah terlambat mengantisipasi kekurangan stok dalam negeri. Padahal, jika impor jagung terlambat maka harga pakan ternak berpotensi naik, ujungnya harga daging ayam dan telur ikut terkerek naik.

"Yang penting itu beras, gula, dan jagung karena stok turun tapi impor kesulitan karena pandemi impor terganggu dan salah perhitungan dari pemerintah," ucapnya.
Harga gula pasir memang melambung cukup tinggi. Kemendag memaparkan harga rata-rata nasional gula pasir yakni Rp18.300 per kg per 22 April 2020. Harga gula naik 4,57 persen dibandingkan bulan lalu yaitu Rp17.500 per kg sekaligus melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yakni Rp12.500 pe kg.

Saat ini, ketersediaan gula di Perum Bulog sebanyak 9.675 ton. Untuk stabilisasi gula, Kemendag telah menerbitkan Persetujuan Impor (PI) gula kristal mentah (GKM) atau raw sugar yang diterbitkan Kemendag sebanyak 683.972 ton.

Psikologi Pasar

Peneliti Center for Food, Energy and Sustainable Development Indef Dhenny Yuartha Junifta mengatakan kondisi defisit pangan sebetulnya bukan hal baru. Defisit bahan pangan kerap dialami Indonesia bahkan jauh sebelum pandemi muncul.

Di Indonesia, defisit pangan disebabkan oleh kurang meratanya distribusi serta ketergantungan impor pada sejumlah komoditas pangan. "Defisit pangan melebar karena seperti FAO sudah sampaikan, sekarang kita menghadapi pandemi," ujarnya.

Apabila tidak diantisipasi dengan cepat kondisi defisit itu bisa berkembang menjadi krisis pangan. Dalam hal ini, krisis pangan dimulai dari kelangkaan bahan pangan di pasar, lalu diikuti dengan kepanikan masyarakat hingga terjadi lonjakan harga.

Untuk itu, pemerintah harus bergerak cepat untuk mencanangkan solusi menangkal krisis dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Sebab, persoalan pangan bukan hal remeh temeh karena menyangkut kebutuhan primer masyarakat.

Menurutnya, hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah menjaga psikologis pasar agar tidak terjadi pembelian secara berlebih dari biasanya atawa panic buying.
Tentu belum luput dari ingatan kita, ketika masyarakat ramai-ramai memborong masker dan hand sanitizer di berbagai tempat usai temuan pasien positif pertama di Indonesia. Imbasnya, harga masker dan hand sanitizer melonjak hingga berkali-kali lipat.

Jangan lupa, hukum pasar permintaan dan penawaran berlaku. Jika permintaan meningkat dan penawaran tidak berubah maka harga produk akan meroket. Dhenny khawatir jika pemerintah gagal menjaga psikologis pasar, hal serupa terjadi pada bahan pangan.

"Kalau pasar sudah mulai takut, tidak rasional maka bakal borong. Sekalipun pasokan pangan sudah cukup tapi kalau ketakutan pasar tidak dikendalikan maka sama saja," ucapnya.

Ia bilang cara efektif menjaga psikologis pasar adalah dengan membatasi pembelian. Langkah ini sempat dicetuskan oleh Satgas Pangan Polri beberapa waktu lalu. Namun, kebijakan itu tak berlanjut lantaran kalangan pengusaha ritel maupun pemerintah sendiri mengklaim stok bahan pangan masih cukup.

Tetapi, Dhenny menilai pembatasan ini perlu dipertimbangkan untuk diberlakukan kembali guna menjaga psikologis pasar. Pasalnya, tak ada satupun yang tahu kapan krisis virus corona akan selesai. "Cara menyelesaikan psikologis pasar adalah melalui pembatasan pembelian," tuturnya.

Pembatasan di ritel modern, lanjutnya, dapat dilakukan dengan menggandeng pengelola ritel modern. Sedangkan pembatasan di pasar tradisional dijalankan dengan pengaturan pembelian di pasar induk.

Setelah aspek dasar psikologis pasar aman, maka langkah selanjutnya adalah menjaga distribusi pangan. Kabar gembiranya, ia menyebut pasokan pangan secara global sebetulnya mencukupi.

Hanya saja, pengirimannya terkendala karena kebijakan lockdown hingga berkurangnya operasional jasa pengiriman internasional. Sementara di dalam negeri kondisinya tak jauh beda karena sejumlah wilayah telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Karenanya pemetaan daerah surplus dan defisit menjadi kunci pemerataan distribusi pangan. Sejalan dengan itu, pemerintah harus mempercepat importasi bahan pangan. 
"Saat covid-19 ini stok pangan sebetulnya baik, dari awal yang menjadi masalah adalah distribusinya karena beberapa negara lock down dan sejumlah daerah PSBB sehingga distribusinya terhambat," katanya.

Sebetulnya, pemerintah telah berupaya mempercepat impor. Salah satunya, penghapusan kewajiban PI dan Laporan Surveyor (LS) bagi importir bawang putih hingga 31 Mei 2020. Ketentuan itu tertuang pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27 Tahun 2020 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura.

Kemendag sendiri mencatat 48.898 ton bawang putih impor telah masuk ke Indonesia per 20 April 2020. Selain bawang putih, 283.172 ton gula impor telah mendarat di Indonesia. (cnni/dtf/rpk/cnbci)

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update