Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Vaksin Anti-Virus Corona Ditemukan, RI Uji Obat Remdesivir dari AS

Saturday, May 9, 2020 | 04:15 WIB Last Updated 2020-05-08T21:15:23Z


JAKARTA (DutaJatim.com) - Sejumlah negara mengklaim telah menemukan vaksin antivirus Corona dan obatnya. Selain Amerika Serikat dan China, kini para ilmuwan di negara pizza Italia juga mengklaim telah mengembangkan vaksin yang mereka sebut baru pertama di dunia yang dapat menetralkan virus Corona COVID-19.

Seperti diberitakan Independent, uji coba vaksin ini dilakukan di Lazzaro Spallanzani Hospital, yang memang mengkhususkan pada penyakit menular. Di tubuh tikus, vaksin tersebut mampu menghasilkan antibodi, dan dipercaya akan bekerja juga di tubuh manusia.

"Menurut Rumah Sakit Spallanzani, sejauh yang kami tahu kami adalah yang pertama di dunia yang menunjukkan netralisasi virus Corona dengan vaksin," kata Luigi Aurisichhio, kepala eksekutif Takis Biotech.

"Kami berharap ini terjadi pada manusia juga. Diharapkan uji coba vaksin pada manusia akan dilakukan setelah musim panas ini," katanya.

Menurut Aurisicchio, para peneliti akan bekerja keras dalam mengembangkan vaksin. Ini dilakukan agar vaksin bisa segera digunakan untuk semua orang.

"Untuk mencapai tujuan ini, kami membutuhkan dukungan dari berbagai lembaga dan mitra nasional dan internasional untuk membantu dalam percepatan proses pembuatan vaksin," kata Aurisicchio.

Dalam penelitian itu, terdapat lima kandidat vaksin yang menghasilkan 'respons antibodi yang kuat' dan dua di antaranya menunjukkan respons yang sangat kuat.

Rencana pada uji coba vaksin berikutnya bertujuan untuk mengetahui dan menentukan berapa lama respons imun dapat berlangsung.


Peneliti Utrecht University, Erasmus Medical Centre Belanda dan Harbour BioMed, juga dilaporkan telah menemukan antibodi monoclonal yang memblokir infeksi virus corona Covid-19.

Antibodi yang bernama 47D11 ini akan menyerang protein mahkota di tubuh Covid-19. Mahkota berduri inilah yang menempel pada sel manusia, kemudian memasukkan materi genetik guna berkembang biak di tubuh inangnya.

Antibodi ini mengikat pada enzim ACE2 yang diidentifikasi sebagai reseptor COVID-19 ketika menyerang tubuh manusia. Antibodi ini pun sudah berhasil menetralkan Covid-19 dalam percobaan pada tikus.

"Penelitian ini dibangun berdasarkan penemuan yang dilakukan oleh tim kami di masa lalu untuk menangkal virus SARS yang muncul pada 2002-2003," ujar Profesor Berend-Jan Bosch dari Utrecht University yang memimpin penelitian ini, seperti dilansir dari DailyMail, Jumat (8/5/2020).

Penemuan ini telah dipublikasikan dalam Nature Communications. Penelitian ini masih perlu penelitihan lebih lanjut untuk menemukan efektivitas dan dosis yang cocok untuk manusia.

"Masih banyak pekerjaan yang diperlukan untuk menilai apakah antibodi ini dapat melindungi atau mengurangi keparahan penyakit coroan pada manusia," ujar Jingsong Wang, pendiri dan CEO Harbour BioMed, seperti dikutip dari detikhealth.

Antibodi Monoclonal telah merevolusi pengobatan kanker dengan obat-obatan seperti Keytruda dari Merck & Co dan Herceptin dari Roche Holding AG.


Kemenkes Uji Remdesivir

Sebelumnya juga ada kabar gembira lain di tengah kesedihan wabah Corona. Saat ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI akan melakukan uji klinis calon vaksin corona ke pasien Covid-19. Salah satu yang diuji adalah obat yang baru diproduksi Amerika Serikat yakni remdesivir dan tiga jenis obat lain.

Sekretaris Jenderal Kemenkes, Oscar Primadi, mengatakan, untuk melakukan uji coba ini Kemenkes bekerja sama dengan National Institutes of Health (NIH), Amerika Serikat. Kemenkes juga telah menunjuk PT Bio Farma (Persero) dan 22 rumah sakit yang nantinya akan melakukan pengujian.


"Indonesia juga terlibat dalam penelitian global Solidarity Trial dengan WHO untuk menguji empat kandidat obat yaitu remdesivir untuk obat ebola, lopinavir dan ritonavir obat untuk HIV/AIDS, dan kombinasi obat hidroksiklorokuin untuk obat malaria," kata Oscar dalam rapat kerja dengan Komisi VI, Komisi VII, dan Komisi IX secara virtual di Jakarta, Selasa (5/5/2020).


Selain obat-obatan, Indonesia juga terlibat dalam beberapa uji klinis untuk beberapa jenis perawatan Covid-19 seperti melakukan uji coba vaksin yang bekerja sama dengan Wuhan Institute of Biological Products di China.

Cara perawatan lain saat ini juga sedang dalam proses uji klinis yakni perawatan dengan plasma konvalesen. Terapi ini menggunakan plasma darah dari pasien yang telah dinyatakan sembuh dan diberikan kepada pasien yang sedang sakit.

Oscar mengatakan, saat ini uji klinis masih dilakukan dengan cara bekerja sama antara PMI-Lembaga Eijkman dan RSPAD Gatot Subroto. Terapi perawatan dengan plasma ini sedang menunggu izin etikal dari Kementerian Kesehatan.

Sementara perusahaan induk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Farmasi, PT Bio Farma (Persero),  siap menjadi distributor untuk obat remdesivir, yang diproduksi perusahaan Amerika Serikat (AS) Gilead Science.

Remdesivir sudah dilegalkan sebagai obat bagi pasien yang terinveksi virus corona (Covid-19) di AS. Obat ini bahkan sudah diekspor ke luar AS.

Direktur Utama Bio Farma, Honesti Basyir, menyebutkan, pihaknya hanya akan mengambil posisi sebagai distributor obat saja. Syaratnya, obat tersebut telah mendapatkan izin dari Kementerian Kesehatan dan BPOM.

"Untuk Remdesivir, kita tunggu dari Kemenkes dan BPOM, apakah akan dimasukkan sebagai treatment Covid-19 di Indonesia. Prinsipnya kita siap untuk mendistribusikan obat ini," kata Honesti kemarin.

Hingga saat ini pemerintah baru memberikan izin untuk tiga jenis obat yang diberikan kepada pasien Covid-19. Obat-obat tersebut antara lain Avigan, Klorokuin dan Tamiflu.

Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang P.S. Brodjonegoro juga menyatakan saat ini Kemenristek juga tengah melakukan uji coba penggunaan Pil Kina.

Membantu Pemulihan

Sebelumnya Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) telah mengizinkan penggunaan secara darurat remdesivir -- obat yang semula dikembangkan sebagai pengobatan virus Ebola -- untuk membantu orang pulih dari sengatan virus corona. Izin dari FDA ini artinya obat antivirus itu sekarang dapat digunakan pada para pasien yang terpapar Covid-19 dalam kondisi parah di rumah sakit.


Uji klinis baru-baru ini menunjukkan obat itu membantu mempersingkat waktu pemulihan bagi orang yang sakit parah.  Namun demikian izin darurat FDA ini tidak sama dalam persetujuan formal, sebab masih membutuhkan tingkat pengujian yang lebih tinggi lagi.

Para ahli juga memperingatkan obat yang diproduksi perusahaan farmasi Gilead itu tidak boleh dilihat sebagai "peluru ajaib" untuk melawan virus corona.
CEO Gilead Sciences, Daniel O'Day, mengatakan, perusahaannya mendonasikan seluruh pasokan obat yang ada sebanyak 1,5 juta botol, cukup untuk mengobati 100.000 hingga 200.000 pasien.

"Kami telah mengekspor untuk uji klinis dan untuk menggunakan ribuan lainnya pengobatan," kata O'Day di CBS "Face the Nation," seperti dikutip dari AFP.

Vaksin Remdesivir merupakan antivirus yang dikembangkan perusahaan bioteknologi yang berbasis di Amerika Serikat, Gilead Sciences. Vaksin dengan kode pengembangan GS-5734 ini masuk kelas analog nukleotida. Antivirus ini disintesis dalam bentuk beberapa turunan ribosa.

The US National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID) mengatakan, pasien yang menggunakan obat itu memiliki kurun waktu pemulihan lebih cepat daripada pasien yang hanya mendapatkan plasebo.

Waktu rata-rata pemulihan untuk pasien dengan remdesivir adalah 11 hari. Sementara pasien yang hanya diobati dengan plasebo membutuhkan waktu pemulihan hingga 15 hari.
Remdesivir adalah antivaksin sebuah prodrug analog nukleotida yang digunakan untuk pengobatan untuk infeksi virus Ebola dan virus marburg pada 2013-2016 lalu. Obat ini juga dinilai aman karena pernah diuji pada pengidap Ebola sebelumnya dan tidak menyebabkan efek buruk.

Dalam pernyataan publik yang dimuat di situs resmi Gilead, obat ini telah menunjukkan aktivitas invitro dan invivo pada model hewan terhadap patogen virus MERS dan SARS yang juga merupakan bagian dari virus corona dan secara struktural mirip dengan Covid-19. Remdesivir adalah obat eksperimental yang tidak memiliki keamanan atau kemanjuran untuk pengobatan kondisi apa pun.

Gilead telah memulai dua studi klinis Fase 3 untuk mengevaluasi keamanan dan kemanjuran remdesivir pada orang dewasa yang didiagnosis dengan COVID-19 setelah dilakukan rapid test.  Studi yang dilakukan acak dan multinasional ini mulai membuka pasien pada Maret 2020 dan akan mendaftarkan total sekitar 1.000 pasien pada fase awal penelitian, di negara-negara dengan prevalensi COVID-19 yang tinggi.

Obat ini diberikan secara intravena alias suntikan. Obat ini termasuk obat keras yang bekerja dengan cara mengganggu proses penggandaan (replikasi) inti virus.

Selama pertemuan dengan Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih, Kepala Eksekutif perusahaan farmasi Gilead Daniel O'Day mengatakan izin dari FDA merupakan langkah pertama yang penting. Salah seorang komisaris FDA, Stephen Hahn juga mengatakan pada pertemuan itu: "Ini adalah terapi resmi pertama untuk Covid-19, jadi kami benar-benar bangga menjadi bagian darinya."

Presiden Trump merupakan pendukung penggunaan remdesivir sebagai pengobatan potensial untuk menangani virus corona. 

President Trump pun bangga negara yang dipimpinnya telah menemukan obat Corona dan menganggap hal ini menjadi kondisi yang menjanjikan bagi Amerika. "Ini benar-benar situasi yang menjanjikan," kata Trump dikutip dari AFP.

Trump membuat pengumuman bersama CEO Gilead Daniel O'Day dalam pertemuan di Gedung Putih, dengan perjanjian Gilead akan menyumbang 1,5 juta botol obat remdesivir. 

Dr Anthony Fauci, yang menjalankan NIAID, mengatakan remdesivir memiliki "dampak positif, signifikan, positif dalam mengurangi waktu untuk pemulihan".  Namun demikian, walaupun remdesivir dapat membantu pemulihan, hasil uji coba itu tidak memberikan indikasi yang jelas apakah obat itu dapat mencegah kematian akibat virus corona.

Rincian lengkap terkait ini belum dipublikasikan, tetapi para ahli mengatakan itu akan menjadi "hasil yang fantastis" jika dikonfirmasi. Obat yang mumpuni melawan Covid-19 diyakini akan menyelamatkan nyawa, mengurangi beban rumah sakit, dan memungkinkan pelonggaran karantina wilayah.

Gagal di China

Namun klaim Amerika ini berbeda dengan pihak China. Beberapa waktu lalu, pemerintah negara tirai bambu itu mengeluarkan hasil penelitian jika obat remdesivir gagal dalam menurunkan jumlah virus dalam tubuh atau risiko kematian pada pasien COVID-19.

Pemerintah China sebelumnya melakukan penelitian acak terhadap 237 pasien dewasa yang terjangkit COVID-19 di Kota Wuhan, Provinsi Hubei. Sebanyak 158 pasien yang menggunakan remdesivir dilaporkan tidak membaik, dibandingkan 79 pasien yang dirawat dengan menerima plasebo.

Namun di sisi lain, berdasarkan laporan tersebut, para peneliti China kesulitan mendapatkan sukarelawan untuk melakukan percobaan yang dapat menghasilkan data signifikan secara statistik, sehingga hasilnya tidak konklusif. Wabah corona di China sendiri dapat dikendalikan dengan cepat akibat aturan penguncian (lockdown) yang dilakukan.


Uji Coba Jepang 

Pemerintah Jepang juga melakukan uji coba obat remdesivir untuk pasien Corona. Selain itu juga mengebut pemberian izin Avigan sebagai obat virus corona atau Covid-19 paling lambat bulan Mei 2020. 

Sebelumnya izin avigan sebagai obat Covid-19 diperkirakan baru akan keluar paling cepat Juli 2020. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe telah mendesak Departemen Kesehatan untuk mempercepat review hasil pengujian klinis obat yang dikembangkan oleh entitas anak Fujifilm Holdings, Fujifilm Toyama Chemicals. Namun pemberian izin lebih awal hanya dimungkinkan jika perusahaan pengembangnya bisa memberikan data yang cukup terkait keamanan dan efektivitas obat tersebut. “Ada jalan pemberian izin selain melalui uji klinis,” kata Abe, dikutip dari Nikkei Asian Review, Selasa (5/5/2020). 

Tidak hanya Avigan, Jepang juga menargetkan pemberian izin obat remdesivir paling cepat pekan ini. Oleh karena itu Negeri Matahari Terbit ini meminta Amerika Serikat (AS) untuk memberikan suplai obat tersebut untuk mempercepat pengujiannya. 

Prosedur perizinan yang dipercepat ini memungkinkan uji klinis dapat ditunda, yang berarti obat remdesivir dapat disetujui penggunaannya pada pertengahan Mei. Jepang mengikuti langkah AS yang telah memberikan izin obat yang dikembangkan oleh Gilead Sciences Inc. tersebut, pada Jumat (1/5). 

"Gilead Sciences akan mengajukan perizinan (di Jepang) dalam beberapa hari," kata Menteri Kesehatan Katsunobu Kato pada konferensi pers. "Saya sudah mengeluarkan arahan agar kami bisa mengeluarkan izin dalam waktu seminggu," katanya. 

Kedua negara ini pun telah berkomitmen untuk bekerja sama dalam menjamin ketersediaan remdesivir. Meskipun ada kekhawatiran setelah obat tersebut mendapat izin, distribusinya di Jepang akan lambat karena sebagian besar akan dikirim ke AS. (det/cnni)



No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update