Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Menyikapi Hagia Sofia dengan Bijak

Wednesday, July 15, 2020 | 02:30 WIB Last Updated 2020-07-14T19:30:01Z

Oleh Imam Shamsi Ali* 


HARI-hari ini banyak di antara umat Islam begitu senang dan bahagia karena Hagia Sophia, sebuah gedung yang bersejarah dan telah bergonta ganti status, kembali akan mengalami perubahan status (conversi) baru di tahun 2020 ini.  Hagia Sophia adalah bekas sebuah gereja terbesar (Katedral) untuk Umat Kristen Bizantium dari tahun 537-1055. 

Lalu dari 1054 hingga tahun 1204 diubah menjadi gereja Ortodoks Yunani. Pada tahun 1204-1261 gereja ini diambil alih oleh Agama Katolik Roma. Dari tahun 1261 hingga 1453 gereja ini kembali menjadi Katedral Kristen Ortodoks Yunani. 

Pada tahun 1453 kota Konstantinopel jatuh ke tangan Ottoman Empira (Khilafah Utsmaniyah) di bawah komando Al-Fatih Sultan Mehmed II. 

Sejak itu gedung gereja ini diubah menjadi masjid yang lebih dikenal dengan nama Aaya Sophia mosque. 

Belakangan dengan jatuhnya Ottoman Empira atau Khilafah Utsmaniyah menjadikan Turki terjatuh ke dalam kekuasaan Kemal Ataturk yang sekuler. Maka di bawah pemerintahannya masjid Aaya Sophia kembali mengalami perubahan status dari sebuah masjid megah menjadi museum hingga Juli 2020 ini. 

Di tahun-tahun terakhir inilah Turki kembali dipimpin oleh politisi-politisi yang sadar agama, termasuk Erdogan yang dianggap oleh sebagian Muslim sebagai simbol kepahlawanan Umat terhadap berbagai ketidakadilan dunia.

Di bawah pemerintahan Erdogan kini gedung bersejarah ini akan kembali mengalami perubahan status. Konon kabarnya Pemerintahan Erdogan melalui proses di pengadilan memenangkan untuk mengubah Hagia Sophia dari sebuah museum menjadi masjid kembali seperti di zaman keemasan Khilafah Utsmaniyah. 

Rencana itu tentunya mengundang ragam reaksi dunia. Umat Islam pastinya seperti yang diperkirakan (expectable) umumnya senang, bahagia dan memuji keputusan pemerintahan Erdogan itu. Sampai-sampai ada yang menyandingkan Erdogan dengan Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel. 

Sebagai seorang Muslim yang punya emosi dan sentimen, termasuk emosi sejarah, tentu saya ikut senang dan bahagia melihat Hagia Sophia kembali menjadi sebuah masjid. Apalagi jika perubahan museum ke masjid itu dikait-kaitkan dengan ikatan emosi kemenangan Al-Fatih melawan tentara Bezantium yang hebat saat itu. 

Rencana konversi itu seolah menyimbolkan kemenangan Turki dan Islam saat ini dalam menaklukkan kekuatan sekularisme dunia, minimal di Turki. Bahwa dengan menjadinya Hagia Sophia sebagai masjid seolah Islam berjaya mengalahkan kekuatan sekularisme. 

Namun di sisi lain konversi ini juga menimbulkan reaksi negatif dari banyak kalangan.  Ada yang menganggap bahwa keputusan ini melanggar etika huhungan antar manusia, khususnya antar pemeluk agama. Bahkan ada yang menganggap jika konversi ini seolah perampasan hak beragama orang lain. 

Selain suara negatif dari UNESCO, Pimpinan Katolik dunia (Paus Fransis) juga menyampaikan pernyataan sikap “menyayangkan” dengan kata “merasa sakit” (pained) dengan konversi gedung tersebut dari sebuah museum menjadi sebuah masjid.

Dunia Barat, dan banyak tokoh-tokoh agama dunia menyuarakan bahwa konversi ini kembali bisa merenggangkan hubungan antar pemeluk agama dunia. 

Terlepas dari gonjang-ganjing dukungan atau resistensi itu, saya pribadi kemudian mencoba merenungkan kembali tentang konversi ini. Perenungan saya lebih banyak didorong oleh kenyataan bahwa Umat saat ini sedang terlibat dalam kompetisi yang sengit dalam membangun imej dan persepsi. 

Selain isu persepsi, tentu sebagai Muslim sebuah isu itu sangat mendasar untuk kita lihat dari perspektif agama atau Syariah itu sendiri. Bagaimana sesungguhnya status rumah-rumah ibadah dalam konteks peperangan? Dapatkah rumah-rumah ibadah dijadikan sebagai bagian dari harta rampasan perang? 

Rumah-rumah Ibadah dalam Peperangan 

Saya ingin memulai dengan melihat kembali  posisi Syariah dalam menyikapi rumah-rumah ibadah, khususnya dalam konteks harta rampasan atau ghanimah. Hal ini karena sebagian mengambil kesimpulan bahwa gedung Hagia Sophia ini merupakan bagian dari harta rampasan (ghanimah) pemenang perang Byzantium ketika itu yang dikomandoi oleh Al-Fatih Sultan Mehmed II. 

Saya mencoba mencari dalam beberapa rujukan buku-buku Fiqh tentang status rumah-rumah ibadah dalam peperangan, apakah masuk dalam kategori obyek yang menjadi bagian dari harta rampasan pemenang perang? Atau rumah-rumah ibadah justeru memiliki status yang berbeda? 

Dari penelusuran itu hampir saya tidak menemukan jawaban yang pasti. Maka saya kemudian kembali kepada rujukan Utama kita, yaitu Al-Quran, As-Sunnah, maupun sirah Rasulullah maupun khulafa Ar-Rasyidin. Dari penelusuran singkat dan sederhana itu, saya menyimpulkan sebagai berikut:

Satu, ayat ayat Al-Quran mengingatkan bahwa dalam peperangan rumah-rumah ibadah dilarang untuk dirusak (lihat Al-Hajj: 40). Hal ini tentunya untuk menjaga hak agama lain. Kalau disentuh/dirusak saja dilarang, bagaimana dengan merampasnya (dijadikan harta rampasan)? 

Dua, bahwa Rasulullah SAW dalam peperangan secara khusus melarang mengganggu/menyakiti mereka yang beribadah. Maka pastinya larangan  gangguan di sini termasuk larangan mengambil alih rumah ibadah mereka.

Tiga, sejarah membuktikan bahwa para sahabat yang melakukan penaklukan, baik di Timur maupun di Barat, justeru tidak mengambil alih rumah-rumah ibadah orang lain ketika menaklukkan negeri tertentu. Contoh-contoh itu dapat ditemukan dalam sejarah Islam. Lihat misalnya sejarah penalukan negeri Syam di bawah pemerintahan Umar Ibnu Khattab. 

Empat, juga karena agama ini meyakini apa yang disebut “religious freedom” (kebebasan beragama) bagi semua pemeluk agama. Dan pastinya kebebasan beragama juga mengikat jaminan bagi mereka untuk memiliki rumah-rumah ibadah. 

Dan karenanya ketika sebuah negeri ditaklukkan oleh pasukan Islam, penduduk negeri itu tidak dipaksa memeluk Islam berdasarkan “laa ikraaha fid diin” (tiada paksaan dalam agama). Dan karena mereka tetap dalam agama mereka maka logikanya rumah ibadah mereka juga tetap dijamin eksistensinya.

Itulah beberapa pertimbangan syar’i dalam menyikapi status rumah-rumah Ibadah dalam peperangan, termasuk dalam pembahasan harta rampasan. 

Perang Persepsi 


Selain isu Syariah tentunya kita juga diingatkan kembali bahwa saat ini Umat sedang dalam peperangan sengit (state of war). Peperangan itu bukan perang nuklir atau atom. Tapi peperangan persepsi atau imej yang telah lama dilancarkan kepada agama dan Umat ini. 

Terlepas dari status legal dari Hagia Sophia, masyarakat internasional pastinya akan menangkap ini sebagai peluang besar untuk membidik sasaran (targeting) Islam. Bahwa selama ini Islam dipersepsikan sebagai agama yang memaksakan kehendak, memaksa orang lain untuk memeluknya, bahkan merampas hak-hak orang lain. 

Mereka yang memiliki itikad buruk itu tak akan pernah peduli dengan status hukum, bahkan akan menutup mata terhadak status kepemilikan dari gedung Hagia Sophia itu. 

Target mereka hanya satu. Yaitu Islam adalah agama yang tidak menghormati agama lain dan selalu ingin menang sendiri. 

Konsekuensi selanjutnya, berhati-hati dengan komunitas Muslim di negara-negara mayoritas non Muslim. Karena ketika mereka berada pada status mayoritas mereka akan mengambil alih kepemilikan non Muslim, termasuk rumah-rumah ibadah minoritas. 

Saya teringat perjuangan teman-teman Komunitas Muslim Indonesia di Belgia membeli gedung untuk dijadikan sebuah masjid. Semua telah siap, termasuk dana dan gedungnya. Tiba-tiba saja transaksi itu dibatalkan oleh otoritas. Semua ini menjadi bagian dari ketakutan (Phobia) akan kebangkitan Islam dengan persepsi tadi.

Konversi gedung Hagia Sophia ini juga pastinya akan dijadikan justifikasi bahkan bukti bagi mereka yang memiliki mata negatif kepada agama ini bahwa benar Umat Islam itu tidak akan pernah menghargai hak orang lain. Sekali lagi apakah mereka sadar atau tidak tentang status legal kepemilikan gedung tersebut. 

Dan karenanya saya sempat terpikir, dan boleh jadi saya salah dalam hal ini, bahwa mengubah gedung Hagia Sophia ini menjadi masjid nampaknya dari sudut perang persepsi kurang menguntungkan.

Bahkan mudharatnya jauh lebih besar ketimbang manfaatnya. 


Saat ini manfaatnya hanya untuk dipakai ibadah oleh Umat Islam. Tapi benarkah itu dapat menjadi alasan Yang mendasar? Karena kita kenal hanya beberapa meter dari gedung itu berdiri masjid Hijau (Blue Mosque) yang megah. 

Manfaat lain sesungguhnya hanya terkait dengan emosi Umat. Bahwa Hagia Sophia adalah simbol kemenangan Islam atas Kristen Bizantium ketika itu. Dan karenanya konversi gereja menjadi masjid saat itu merupakan simbolisasi kemenangan. 

Simbol kemenangan Islam atas sekularisme Turki.  Tapi benarkah hal ini esensial untuk sebuah kemenangan? Saya tidak terlalu yakin dengan simbol-simbol yang terkadang jauh dari substansi Sesungguhnya. Saya tidak terlalu yakin dengan konversi gedung itu akan menjadikan Umat ini semakin jaya, mulia, dan menang. 

Sebaliknya saya justeru khawatir ini menjadi alasan bagi dunia untuk semakin menekan pemerintahan Erdogan untuk tujuan yang lebih besar. Yaitu kembali meruntuhkan capaian-capaian besar Erdogan selama ini. 

Kita akui bahwa secara domestik Erdogan sangat berhasil mengembalikann wibawa Islam di negeri bekas pusat kekuasaan Khilafan Utsmaniah (Ottoman Empire) itu. Islam kembali menjadi wajah pembangunan negeri itu. Kalau hal ini saja dipertahankan bahkan diperkuat, akan lebih bermakna ketimbang konversi sebuah gedung.  Apalagi dalam konteks Timur Tengah. 

Saat ini tidak ada lagi negara Islam kecuali telah berada dalam cengkeraman bangsa kuat lainnya. Dan kecurigaan saya konversi ini bisa dijadikan bagian dari alat tekanan kepada Erdogan yang selama ini semakin menjadi-jadi. 


Wakaf Sultan Al-Fatih 


Asumsi saya di atas itu tentunya jika memang gedung itu pernah diambil alih sebagai rampasan melalui kemenangan dalam peperangan. Semua itu masuk dalam ruang lingkup pembahasan yang terbuka untuk dikritisi. 

Tiba-tiba saja dalam dua tiga hari ini saya menemukan postingan yang mengatakan bahwa sesungguhnya gedung Hagia Sophia yang ketika penaklukkan Bizantium ternyata masih merupakan katedral Umat Kristen, justeru memang telah dibeli oleh Sultan Al-Fatih Mehmed II secara pribadi. Beliaulah kemudian mewakafkan gedung itu untuk dijadikan sebuah masjid, sekaligus berubah nama dengan Aya Sophia mosque. 


Jika informasi ini akurat dan memang dapat dibuktikan, dan nampaknya demikian, maka pastinya secara legal pengubahan gedung itu dari museum menjadi masjid tidak akan bisa dipermasalahkan (unchallenged). Karena realitanya memang milik Umat sebagai wakaf dari Sultan ketika itu. Bukan rampasan. Tapi memang berubah kepemilikan melalui transaksi pembelian. 


Selain itu tentunya juga karena gedung itu memang telah menjadi bagian dari negara Turki, yang secara hukum apapun, memiliki hak penuh untuk menggunakannya sesuai keinginan dan kepentingannya. 

Masalahnya kemudian apakah bijak bersikap acuh dengan kekhawatiran-kekhawatiran orang lain? Apalagi dalam konteks dunia global di mana semua manusia seolah menyatu dalam segala permasalahan yang dihadapinya. 

Dan yang terpenting harus disadari bahwa sebuah aksi atau kebijakan di sebuah tempat (negara) dalam dunia yang hampir tiada batas-batas lagi, pastinya akan berdampak di tempat (negara) lain. Itulah realita dunia kita yang interconnected (saling bergantung). 


Karenanya kebijakan konversi museum itu menjadi masjid akan berdampak pula kepada kerja-kerja dakwah dan eksistensi Umat di negara lain, khususnya di negara-negara mayoritas non Muslim. 

Sekiranya saya punya hak suara, saya  justeru lebih cenderung melihat gedung itu tetap sebagai museum, tetapi menjadi bagian dari pengelolaan masjid Biru (Blue Mosque). Selain tetap menjaga persepsi kelapangan dada Umat ini, sekaligus secara cerdas telah mengambil alih kembali kepemilikannya sebagai bagian dari masjid.


Saya ingin akhiri dengan argumentasi sebagian Umat Islam yang mengatakan bahwa Umat punya hak mengubah gedung itu menjadi masjid karena Umat Kristiani mengubah semua masjid-masjid megah di Spanyol menjadi gereja. 

Kepada mereka saya katakan, Islam tidak mengajarkan membalas keburukan atau kesalahan dengan keburukan dan kesalahan. “Iffa’ billati hiya ahsan” (responlah dengan cara terbaik) tetap menjadi dasar moral Umat dalam menyikapi sebuah isu. 

Atau benar apa yang pernah Michelle Obama katakan: “when they go low, we go high”. Semoga! (*)



New York, 14 Juli 2020 


* Imam Shamsi Ali adalah Presiden Nusantara Foundation USA.
×
Berita Terbaru Update