Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Trump Vs Biden Sengit, tapi Siapa Pun Pemenang Pilpres AS, RI Tetap Mitra Strategis

Thursday, November 5, 2020 | 04:00 WIB Last Updated 2020-11-05T00:34:24Z
Trump vs Biden sengit (twitter.com)

 

WASHINGTON (DutaJatim.com) – Warga Amerika Serikat (AS)—termasuk warga di negara-negara lain-- menunggu dengan harap-harap cemas hasil penghitungan suara riil (real count) pemilu presiden Selasa 3 November 2020. Persaingan antar dua kandidat capres, petahana Donald Trump melawan penantangnya Joe Biden—berlangsung ketat dan sengit. Bahkan, saking sengitnya hasil pilpres yang biasanya sudah bisa langsung diketahui pada malam hari “coblosan” tapi kali ini hingga Rabu 4 November 2020 pagi waktu AS belum diketahui hasilnya. Ini kejutan pertama.


Proses penghitungan suara di sedikitnya sembilan negara bagian AS memang belum selesai, sehingga belum bisa diproyeksikan siapa pemenang di masing-masing negara bagian kunci itu. Misalnya Alaska, Arizona, Georgia, Michigan, Maine, Nevada, North Carolina, Pennsylvania, dan Wisconsin.  Hingga Rabu malam pukul 20.00, sesuai data penghitungan CNN, Trump unggul sementara atas Biden di Alaska (61,4 persen - 34,7 persen), Georgia (50,5 persen - 48,3 persen), Michigan (49,8 persen - 48,5 persen), North Carolina (50,1 persen - 48,6 persen), dan Pennsylvania (55 persen - 43,6 persen).


Sementara Biden, menurut data CNN, unggul sementara atas Trump di Arizona (51,8 persen - 46,8 persen), Maine (54,8 persen - 42,1 persen), Nevada (49,3 persen - 48,7 persen), dan Wisconsin (49,2 persen - 49 persen).  Electoral votes yang dimiliki oleh sembilan negara bagian itu masih diperebutkan oleh kedua capres dan akan menentukan pemenang pilpres AS nantinya.


Masyarakat  disuguhi pula hasil exit poll nasional yang digelar Edison Research/NEP via Reuters maupun Fox News yang sementara dimenangkan oleh kandidat presiden AS dari Partai Demokrat, Joe Biden. Media terkemuka AS, Fox News, menunjukkan  Joe Biden unggul sementara dengan meraup 238 electoral votes melawan Presiden Donald Trump yang meraup 213 electoral votes. Untuk memenangkan pertarungan dibutuhkan 270 electoral votes -- dari total 538 electoral votes yang ada.


Melihat hasil sementara itu Biden tampak mendapat dukungan dari pemilih berusia di bawah 30 tahun dan usia menengah. Mereka terlihat bersemangat menggunakan hak suaranya. Exit poll itu mewawancarai 14.066 responden. Biden pun mendapat dukungan sebanyak 49% dari kalangan laki-laki. Biden juga menang di kalangan perempuan dengan persentase 57%, dan 42% untuk petahana Donald Trump.


Dari segi etnisitas, Biden hanya mendapat dukungan 43% dari warga kulit putih. Sementara Trump, dia meraih 55%. Hal yang menarik adalah 87% warga kulit hitam memberi suaranya kepada Biden. Dan, hanya 11% memberikan dukungan kepada Trump.


Exit poll tersebut juga menyatakan ekonomi menjadi isu penting dalam memilih presiden sebesar 34%. Sedang ketidakadilan mencapai 21%, pandemi korona 18%, dan kejahatan serta keselamatan mencapai 11%.  Para pendukung Trump memilih fokus pada ekonomi. Sementara pendukung Biden memilih isu ketidaksetaraan dan virus corona.


Exit poll tersebut dilaksanakan di 22 negara bagian dan 1.155 tempat pemungutan suara dengan 10 ribu pemilih pada hari pemungutan suara. Exit poll juga dikombinasikan dengan survei melalui telefon dengan pernyataan sama pada hari pemungutan suara.


Sementara itu, exit poll CNN menyebutkan, Presiden Donald Trump juga mendapat dukungan dari pemilih keturunan Amerika Latin di negara bagian yang menjadi fokus pertarungan. Dua dari tiga suara dari kalangan Amerika Latin diraih Trump.


Sedangkan Biden mendapat separo lebih dari suara kelompok Latin. Biden juga mendapat dukungan luas dari kelompok di bawah usia 30 tahun.


Exit poll CNN juga menyatakan ekonomi menjadi perhatian penting bagi sebagian besar warga AS. Sepertiga pemilih menyatakan ekonomi menjadi hal kritis, sedangkan satu dari lima orang menganggap isu rasisme menjadi hal penting.


Untuk memenangkan penghitungan riil dibutuhkan setidaknya 270 electoral votes -- dari total 538 electoral vote. Saat ini penghitungan masih berlangsung seru di mana hasil sementara Biden mengungguli Trump. Meski demikian, Trump masih tetap berpeluang menang. Ini kejutan kedua. Mengapa?


Sebab bila akhirnya nanti Trump kalah melawan Biden hal itu sangat mengejutkan mengingat selama hampir tiga dekade terakhir, presiden Amerika Serikat selalu sukses menjabat selama dua periode. Namun demikian ada beberapa presiden yang menjabat hanya satu periode yakni George H W Bush, Jimmy Carter, Gerald Ford, John Adams, Herbert Hoover (1929-1933), William Howard Taft (1909-1913), Benjamin Harrison (1889-1893), Martin Van Buren (1837-1841), John Quincy Adams (1825-1829).


Melihat gelagat kurang baik itu Donald Trump pun mengklaim telah memenangi pemilihan presiden AS meski masih ada jutaan suara yang belum dihitung. Trump menuntut agar penghitungan suara dihentikan dan menyebut telah terjadi “penipuan” terhadap publik Amerika.


"Terus terang, kami memang memenangkan pemilihan ini," kata Trump dalam pidato dari Gedung Putih, Rabu (4/11/2020) sebagaimana dilansir Reuters. Tanpa memberikan bukti, Trump mengatakan proses Pilpres AS ini adalah sebuah penipuan besar terhadap rakyat AS. "Ini adalah penipuan terhadap publik Amerika," kata Trump, yang kemudian mengatakan bahwa dia akan membawa hasil Pilpres AS ini ke Mahkamah Agung AS.


Undang-undang pemilu di semua negara bagian AS mengharuskan semua suara dihitung. Tahun ini jumlah suara yang dihitung lebih banyak dari Pilpres sebelumnya karena orang-orang memberikan suara lebih awal melalui pos dan secara langsung dalam menghadapi pandemi virus corona. Meski memenangi lebih banyak negara bagian, Trump saat ini tertinggal tipis dalam jumlah suara elektoral dari saingannya Wakil Presiden Joe Biden.


Biden sendiri sebelumnya telah menyuarakan keyakinan bahwa dirinya akan memenangi Pilpres AS 2020. Berbicara di Wilmington, Delaware, Biden mengatakan bahwa pihaknya berada di jalur yang tepat menuju kemenangan.


Kejutan ketiga adalah antusiasme warga AS ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Padahal selama mereka ogah dengan pemilu.


Anggota keluarga Kerajaan Inggris, Meghan Markle, yang ikut memilih presiden AS sempat kampanye agar masyarakat tidak golput. Begitu pula para selebritis Hollywood, seperti  rapper Cardi B dan penyanyi Lizzo. Cardi B  mengaku rela bangun subuh demi menggunakan hak suaranya. Cardi B menyampaikan pernyataan tersebut melalui video berdurasi kurang dari satu menit yang diunggah di Instagram pribadinya.


"Jika kalian mengenal saya, kalian tahu saya benci bangun pagi. Namun, saya akan bangun sangat pagi agar saya tidak terjebak dalam antrean," kata Cardi B.


Ia juga mengimbau agar pemilih yang terjebak dalam antrean untuk bersabar. Cardi B juga mengingatkan penggemar untuk membawa makanan ringan dan memastikan daya ponsel terisi penuh agar dapat menghibur diri ketika bosan mengantre.


Cardi B ingin warga bertahan dan dapat ikut serta dalam Pilpres AS karena satu suara bisa membuat perubahan. Menurutnya, seseorang tidak harus kaya, terkenal, atau cantik untuk memilih dalam Pilpres AS.


Mitra Penting


Namun siapa pun presiden AS hasil pemilihan yang digelar Selasa 3 November 2020 itu, apakah Donald Trump dari Partai Republik atau Joe Biden dari Partai Demokrat, dipastikan tetap menempatkan Indonesia sebagai mitra penting. Pasalnya, Indonesia negeri besar yang bisa digandeng untuk menghadapi China.  Hanya saja banyak pihak berharap Biden menang. "Ya Biden menang RI senang," kata seorang pengusaha Soni Witjaksono di Jakarta Rabu 4 November 2020. 


Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, dari sisi kebijakan manufaktur, baik Biden maupun Trump akan cenderung menerapkan kebijakan inward-looking, meskipun dengan derajat berbeda. Hal ini tercermin dari beberapa slogan mereka, seperti “American First” dari sisi Trump, sementara dari sisi Biden, “Made in All of America”, yang keduanya menekankan tentang prioritas pemerintah AS terhadap manufaktur domestik.


"Kesamaan keduanya juga terlihat dari sentimen yang disajikan terkait invasi produk dari Tiongkok. Keduanya menganggap bahwa produk dari Tiongkok mengganggu aktivitas manufaktur di AS. Khusus Biden, akan cenderung menekan Tiongkok melalui protokol multilateral, dan tidak menekankan pada kebijakan tarif, meskipun tidak disebutkan pula bahwa ia akan menunda kebijakan tarif AS," kata Josua saat dihubungi di Jakarta, Rabu (4/11/2020), seperti dikutip dari sindonews.com.


Dia juga menekankan, bahwa kerjasama dengan negara dekat AS harus diperkuat, sehingga selain Tiongkok, sangat mungkin kerjasama dagang antara AS dan negara lainnya dapat membaik.  "Dengan kebijakan dagang keduanya yang masih cenderung menganggap Tiongkok sebagai kompetitor, maka diperkirakan pengenaan kebijakan dagang kepada Tiongkok tidak banyak berubah, meskipun mungkin bila Biden yang terpilih, maka pendekatannya akan cenderung lebih lunak," katanya.


Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, memberikan analisisnya yang hampir sama. Hikmahanto mengatakan Indonesia harus menjaga hubungan baik dengan siapa pun presiden AS yang terpilih. "Ini karena  kedaulatan AS dan hak WN AS," kata Hikmahanto.


Hikmahanto mengatakan Indonesia perlu beradaptasi kembali jika Pilpres AS dimenangkan oleh Joe Biden. Sebab, Biden mengusung isu hak asasi manusia (HAM) di mana AS sangat vokal terhadap sejumlah pejabat yang dituduh melanggar HAM.


"Nantinya kita tentu harus beradaptasi bila Biden yang terpilih, mengingat dia dari Partai Demokrat yang mengusung HAM. Sementara kalau Trump tentu kita sudah memahami kerja Trump," ujarnya.


Hubungan bilateral Indonesia dan AS sekarang sedang dekat. Bahkan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto sempat mengunjungi AS pada pertengahan Oktober 2020 lalu. Kemudian, Menlu AS Mike Pompeo pun berkunjung ke Indonesia.


Pertemuan tersebut membahas sejumlah rencana kerja sama. Hikmahanto menilai kerja sama bilateral itu akan terus berjalan dan tak terikat langsung dengan hasil Pilpres AS.


"Terkait janji-janji Pompeo saya rasa itu akan tetap dijalankan oleh AS mengingat kebijakan itu datangnya dari para birokrat AS. Janji tersebut bukan merupakan politisi yang menjabat presiden, wapres atau menteri," ucap Hikmahanto.


Dia menyebut AS punya kepentingan atas hubungan bilateral dengan Indonesia demi melawan pengaruh China di Asia.  "Para birokrat yang menganalisa bahayanya China bila terus memberi pengaruh ke negara-negara Asia termasuk Indonesia," imbuhnya.


Respon Investor


Seperti dikutip dari katadata.co.id, kepala ekonom di Renaissance Capital, Charles Robertson, mengatakan pasar negara berkembang berpotensi lebih baik jika Biden terpilih. Dia berargumen pasar ekuitas dan obligasi belum memasukkan perhitungan terkait kemungkinan Biden menang lantaran pernah gagal mengantisipasi kemenanganan Trump pada Pilpres 2016.


"Saya tidak berpikir investor bertaruh besar-besaran. Guncangan tahun 2016 begitu signifikan sehingga para investor tidak terlalu mempercayai jajak pendapat. Namun, saya yakin investor akan banyak mengalokasikan uang ke emerging market," ujar Robertson mengutip Financial Times.


Ada persepsi bahwa pasar emerging market akan bernasib lebih baik jika bukan karena Trump. Analis di BlueBay Asset Management Timothy Ash menyebut, kepresidenan Trump tidak baik untuk pertumbuhan perdagangan global karena sikap proteksionis pemerintah.


Emerging market adalah proksi untuk pertumbuhan global dan kemenangan Biden berarti lebih banyak pertumbuhan dan perdagangan global," katanya.


Pasar negara berkembang mengalami tekanan sejak pandemi Covid-19 menyebar dan ketidakpastian global, salah satunya terkait pilpres AS. Namun, volatilitas di pasar negara berkembangan sudah mulai mereda, lebih baik dari kondisi negara maju.


Mengutip Reuters, Citigroup Inc mengatakan pada pekan lalu bahwa kondisi terburuk pada pasar keuangan negara berkembang telah berakhir. Morgan Stanley juga memperkirakan gejolak akan terus mereda karena hasil pemungutan suara sudah semakin jelas. Ekuitas dan mata uang pasar negara berkembang naik ke level tertinggi dalam delapan bulan terakhir pada Jumat (30/10). Sementara pasar surat utang dengan denominasi mata uang lokal mengalami minggu terbaik sejak Mei.


IMF pada Oktober merevisi proyeksi pasar dan ekonomi negara berkembang (Emerging Markets and Developing Economies/EMDEs) menjadi negatif 1,7% pada 2020, lebih baik dari proyeksi April yang  negatif 2,7%. Ahli Strategi Rabobank di London, Piotr Matys mengatakan, pasar mulai memposisikan diri untuk dosis baru stimulus fiskal dan kemenangan Biden, hingga kemungkinan Partai Demokrat kembali memegang kendali atas Senat AS.


"Bahkan jika tidak ada kesepakatan stimulus sebelum 3 November, pasar tahu bahwa hanya masalah waktu kapan paket fiskal akan diimplementasikan," katanya.


Data terbaru The Institute of International Finance menunjukkan, aliran modal asing yang masuk ke negara-negara emerging market melonjak ada Oktober dari US$ 7,5 miliar pada September menjadi US$ 17,9 miliar. Aliran dana masuk ditopang oleh perbaikan ekonomi global dan kekuatan sektor teknologi. Namun, aliran dana asing di penghujung bulan mulai surut akibat sentimen gelombang kedua Covid-19 dan ketidakpastian global.


Sementara itu, data Otoritas Jasa Keuangan justru menunjukkan bahwa investor asing mencatatkan arus modal keluar pada bulan lalu. Asing mencatatkan jual bersih pada pasar saham sebesar Rp 1,7 triliun dan pasar Surat Berharga Negara Rp 22,68 triliun.


Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy menjelaskan dampak pilpres AS terhadap aliran modal asing hingga pekan lalu cenderung menjadi sentimen negatif. Ini wajar karena investor berada dalam periode konsolidasi menunggu hasil pilpres.


 "Jika Pilpres AS selesai, aliran modal asing ke Indonesia akan dipengaruhi oleh siapa pemenangnya. Terpilihnya Trump akan menimbulkan ketidakpastian perekonomian global karena ada bayang-bayang perang dagang dengan Tiongkok dan episode baru perang dagang AS-Eropa," katanya.


Sementara sentimen positif akan datang jika Biden terpilih. Ini lantaran Biden sudah berjanji akan mengutamakan negosiasi dengan Tiongkok dan era proteksionisme diperkirakan mereda. "Ini dapat memberikan sentimen positif kepada emerging market dan aliran modal masuk ke Indonesia," ujarnya. 


Pendapat berbeda diberikan Ekonom Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan Eric Sugandi. Menurut dia, Trump memiliki rencana kebijakan untuk memangkas pajak korporasi dan kelas atas sehingga dapat menimbulkan reaksi positif dari pasar jika kembali terpilih.  Di sisi lain, Biden memiliki kebijakan untuk menaikkan pajak bagi golongan kelas atas dan korporasi.


Jika mantan Wapres AS itu terpilih, sebenarnya ada risiko ketidakpastiaan terhadap kebijakan yang bisa tidak disukai investor. "Selain itu jika Trump kalah, volatilitas pasar akan ditentukan oleh bagaimana sikap Trump saat kalah. Kalau tidak terima, maka ada risiko pasar akan bergejolak hingga ada keputusan dari Mahkamah Agung," katanya.


Adapun dampak Pilpres AS ke pasar modal Indonesia, menurut dia, akan mengikuti arah pergerakan bursa AS dan regional. "Sementara untuk surat utang, ada resiko outflows dari SUN siapapun yg terpilih di AS tetapi hanya beberapa hari biasanya," kata dia. (det/kd/okz)


 


 

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update