Oleh Imam Shamsi Ali*
ADA sebuah ungkapan Inggris mengatakan “enough for evil to thrive when the good people do nothing”. Arti dari ungkapan ini kira-kira: “cukuplah kejahatan itu akan merajalela ketika orang-orang baik tidak melakukan apa-apa”.
Dalam Islam seruan kepada kebaikan dan larangan dari kejahatan atau keburukan menjadi salah satu fondasinya. Bahkan ada yang mengatakan seandainya ada rukun Islam yang keenam maka amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah rukunnya yang keenam.
Al-Qur’an pun mengaitkan antara kejayaan kolektif umat, bahkan menjadi karakteristik utama umat ini sebagai umat terbaik, dengan tugas amar ma’ruf dan nahi mungkar ini. Al-Quran menyebutkan: “dan hendaklah ada di antara kalian yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkinan. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Al-Imran: 104).
Lalu pada ayat 110 Allah menyampaikan: “dan kamu adalah Khaer Ummah (Umat terbaik) yang telah dihadirkan untuk manusia. Kamu menyeru kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran dan beriman kepada Allah”.
Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa suatu ketika Allah memerintahkan malaikat untuk menghacurkan sebuah kota atau kampung (qaryah). Setiba di kampung itu sang malaikat ternyata menemukan ada seorang yang saleh, yang kerjanya hanya beribadah dan berdzikir.
Malaikat pun menjadi ragu melakukan perintah Allah itu. Maka dia kembali menyampaikan kepada Allah bahwa ada seorang yang ahli ibadah dan dzikir di kampung itu. Kalau kampung itu dihancurkan maka dia akan ikut jadi korban.
Mengejutkan, Allah ternyata berkata kepada sang malaikat itu: “hancurkanlah dulu orang itu. Karena dia sadar akan agama dan Tuhan, tapi tidak peduli dengan berbagai kejahatan dan dosa di kampung itu”.
Di tengah dunia yang penuh gongangan dan fitnah saat ini, kewajiban mendasar Islam ini perlu diambil secara serius. Diam di hadapan kemungkaran sejatinya adalah kemungkaran itu sendiri. Diam di hadapan pelaku kemungkaran adalah melakukan kemungkaran tersendiri.
Berbagai kezholiman dan ketidakadilan yang tidak saja tanpa lagi malu-malu dipertontonkan. Kezholiman dan ketidakadilan serta kesemena-menaan sebagian orang saat ini bahkan direkayasa diputarbalik seolah kebaikan. Menzholimi orang lain tidak jarang dijuluki dengan menjaga keamanan, kedamaian dan stabilitas.
Di sinilah kewajiban amar ma’ruf nahi mungkin menjadi semakin menemukan tantangannya. Dan orang-orang beriman yang merasa mewakili kebenaran dan kebaikan secara langsung tertantang untuk bangkit dan menyuarakan resistensi itu.
Tentu kita sadar dan harus saling mengingatkan bahwa dalam prosesnya amar ma’ruf dan nahi mungkar harus tetap menjaga norma-norma “al-ma’ruf” sehingga prosesnya justeru tidak menjadi “al-mungkar” dengan sendirinya.
Artinya, amar ma’ruf dan nahi mungkar itu harus dilakukan dalam bingkai akhlakul karimah. Yaitu bersifat positif dan konstruktif. Tidak negatif dan destruktif. Dan pastinya dengan pertimbangan asas “dar’u al-mafasid wa jalbu al-mafasid”. Yaitu pertimbangan yang selalu mengedepankan manfaat dan menghindari mudhorat yang lebih besar.
Khusus dalam konteks ke-Indonesiaan pastinya proses amar ma’ruf dan nahi mungkar juga tidak boleh keluar dari batas-batas aturan/hukum nasional yang disepakati. Maknanya bahwa perjuangan menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar tetap harus memperhatikan aspek konstitusionalnya.
Intinya adalah semua orang yang ada setitik cahaya iman di dadanya wajib menyampaikan resistensi (penentangan) kepada kezholiman dan kesemena-semenaan sebagian manusia. Siapapun yang jadi pelakunya, termasuk mereka yang sedang diamanahi oleh Allah dengan otoritas atau kekuasaan.
Hadits populer yang kita kenal menyatakan: “siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian maka hendaklah diubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya. Dan jika masih tidak mampu maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman”.
Diam di hadapan kemungkaran, kezholiman dan kesemena-menaan itu pertanda jika iman anda sedang mengalami krisis berat. Anda perlu segera ke bengkel hati sebelum hati anda mengalami kematiannya.
Bahkan lebih jahat lagi orang yang diam di hadapan kemungkaran, kejahatan, kezholiman dan kesemena-menaan itu bagaikan syetan yang bisu (syaithoon akhrash).
Tapi yang lebih berbahaya lagi adalah ketika diamnya anda ternyata memang bukti jika anda telah menjadi bagian kolaborasi yang terbangun antara anda dan kejahatan itu. Maklumlah Iblis dan konco-konconya itu cerdas dalam membangun networking dan kolaborasi.
Al-Quran menggambarkannya dengan: “ba’dhuhum aulaiyaa ba’dha” (mereka para syetan dan penjahat itu saling berkolaborasi dan saling melindungi di antara mereka). Wa’iyadzy billah! (*)
Batam, 14 Desember 2020
* Presiden Nusantara Foundation USA
No comments:
Post a Comment