Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Bencana Longsor di Jatim, Pakar ITS Ingatkan Gerak Tanah

Thursday, February 25, 2021 | 11:19 WIB Last Updated 2021-02-25T04:19:24Z

PAMEKASAN (DutaJatim.com) - Bencana tanah longsor kembali terjadi di wilayah Jawa Timur. Setelah tanah longsor di Dusun Selopuro, Desa/Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk, yang merenggut 19 nyawa warga, kini musibah serupa menimpa santri Pondok Pesantren An-Nidhomiyah  asuhan KH Muhedi di Dusun Jepun, Desa Bindang, Kecamatan Pasean--sekitar 45 kilometer ke arah utara Kota Pamekasan, Rabu (24/2/2021) dini hari sekitar pukul 02.00 WIB. Sebanyak lima santri meninggal dunia akibat musibah tebing longsor tersebut.


”Total jumlah korban tujuh orang. Lima orang meninggal dunia, satu orang patah tulang dan satu orang santri lain selamat,” kata Koordinator Tim Reaksi Cepat (TRC) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemkab Pamekasan, Budi Cahyono,  Rabu (24/2/2021).


Selama ini bencana hidrometeorologis banyak terjadi di Indonesia, termasuk pada awal tahun 2021. Beberapa bencana yang timbul pada puncak perubahan iklim belakangan ini paling banyak banjir dan longsor. Setelah terjadi longsoran di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, longsor belakangan ini mengungsikan warga Desa Ngetos, Kabupaten Nganjuk, dan kemudian melanda Kecamatan Pasean Pamekasan.


Peneliti bencana dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Dr Ir Amien Widodo MSi, memberikan opini ilmiahnya terkait hal tersebut. 

Tujuannya agar dapat dijadikan pelajaran bersama masyarakat ke depannya.


Berdasarkan data pada Sabtu (20/2/2021), longsor yang menimpa Desa Ngetos, Nganjuk, menyisakan 101 warga mengungsi di halaman Sekolah Dasar Negeri (SDN) 3 Ngetos. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, longsor tersebut telah menelan korban jiwa sebanyak 19 warga, 20 warga lainnya mengalami luka-luka, dan berdampak pada 186 warga lainnya.


Karena itu Amien Widodo tak bosan mengingatkan bahwa pernyataan yang mendakwa hujan deras sebagai sebab terjadinya banjir dan longsor adalah kurang mendidik dan sebaiknya diperbaiki. “Pasalnya, hampir setiap terjadi bencana hidrometeorologis, pemerintah mengeluarkan pernyataan hujan adalah pemicunya,” ungkapnya.


Padahal, menurut Amien, hujan hanyalah satu faktor yang mendorong terjadinya bencana hidrometeorologis, seperti longsor tersebut. “Jika terus menerus menyalahkan hujan, generasi yang akan datang tidak akan belajar dari kesalahan dan hanya akan melakukan kesalahan yang sama,” tuturnya.


Dia melanjutkan, bahwa hampir semua orang pernah mempelajari bagaimana karakteristik gerak benda pada bidang miring saat di bangku sekolah. Benda tersebut dapat bergerak saat faktor rekatan, lebih umum dianggap gaya gesek, berkurang atau mengecil. “Sebab lainnya, adalah karena adanya penambahan beban pada benda, serta membesarnya sudut kemiringan bidang miring itu,” imbuhnya.


Sama halnya peristiwa longsor, pergerakan tanah lebih rentan terjadi di lereng-lereng gunung yang memiliki kemiringan. Tanah yang menempel pada lereng gunung dapat dianalogikan seperti suatu benda pada bidang miring. Jika pembebanan tidak bertambah berat dan sudut kemiringan jauh dari titik kritis, maka berkurang kemungkinan terjadinya pergerakan tanah atau longsor.


“Tanah gunung tersebut terbentuk karena adanya proses pelapukan yang dipengaruhi iklim, topografi, batuan, vegetasi, dan waktu,” sambung Amien. Iklim, khususnya hujan dan panas, dapat mempercepat terjadinya proses pelapukan. Iklim tropis di Indonesia kemudian dapat memicu pelapukan batuan lebih sering terjadi, sehingga tanah di Indonesia memiliki lapisan lebih tebal daripada yang lain. 


Seiring dengan bertambahnya waktu, tanah gunung menebal dan pohon-pohon membesar. Akar-akar pepohonan itulah yang berperan memegangi tanah agar tidak terjadi longsor. “Pembebanan berlebih pun dapat ditahan dan tanah menjadi lebih stabil karena tidak mudah bergeser lagi,” lanjut dosen lulusan UGM itu.


Berdasarkan prinsip gerak benda pada bidang miring, menurutnya, stabilitas tanah gunung bisa berubah tidak stabil karena beberapa hal. Pertama, pengurangan vegetasi jelas menjadi satu penyebab tanah menjadi tidak stabil. Kondisi ideal dan stabil muncul saat akar serabut membantu meningkatkan sifat kohesi tanah, sedangkan akar tunjang menjadi angker atau paku pada batuan penyokong di bawahnya.


Hingga saat ini masih banyak terjadi, hilangnya vegetasi umumnya karena penebangan pohon. Baik secara legal maupun ilegal (liar). Selain itu, dapat hilang karena adanya kebakaran hutan. “Baik secara alami atau dibakar secara sengaja, keduanya sama-sama membawa dampak. Serta tidak jarang, pepohonan ambruk karena terjangan angin kencang," katanya.


Kedua, stabilitas tanah dapat terganggu karena pemotongan lereng di bagian bawah. Sebab, Amien menjelaskan, sudut kemiringan lereng tebing dapat bertambah karena pemotongan itu. Sehingga, lapisan tanah akan semakin mendekati posisi kritis alias tidak ideal. Secara alami, pemotongan itu dapat terjadi karena tererosi oleh aliran sungai atau longsor sebelumnya.


“Tetapi, jangan lupa aktivitas seperti penambangan, pembuatan terowongan, dan pelebaran rumah, misalnya, juga dapat mempercepat lapisan tanah di kemiringan lereng mendekati titik kritisnya,” katanya mengingatkan.


Penyebab ketidakstabilan tanah yang ketiga yaitu penambahan beban secara terus menerus sehingga menambah berat yang harus ditahan lapisan tanah juga kian membesar. Penambahan beban secara alami dapat terjadi akibat longsor yang menimbun. Tetapi, dari kacamata Amien paling banyak adalah karena ulah manusia seperti penimbunan tanah guna pembangunan permukiman atau penyalahgunaan lereng sebagai tempat penimbunan sampah.


Yang keempat, kestidakstabilan tanah dapat terjadi karena penambahan kadar air. Umumnya, penambahan air ini sering terjadi pada saat hujan turun terus-menerus selama beberapa jam. Akan tetapi, pembebanan air juga dapat terjadi dengan dibuat-buat, seperti dengan pengadaan kolam dan persawahan.


“Termasuk rembesan septic-tank pun dapat menambah beban berat air yang harus ditanggung tanah,” paparnya.


Semakin banyak air yang menjadi tanggungan tanah, semakin kecil daya ikat (sifat kohesi) tanah. “Semakin rendah sifat kohesi tanah, semakin jenuh sifat tanah dan akan semakin rentan tanah itu mengalami longsoran,” lanjutnya.


Belum cukup sampai di sini, penyebab yang disebutkan Amien kelima yaitu getaran yang dapat mengubah atau melepaskan ikatan antar butir tanah. Getaran yang mungkin mengenai tanah, misalnya gempa yang terjadi secara alami atau getaran akibat kendaraan berat dan kereta api yang terjadi masih dalam kendali manusia.


Selain lima di atas, Amien menyebut pelapukan tanah menjadi sebab terakhir yang mempengaruhi stabilitas tanah. Pelapukan tanah yang menyebabkan terjadinya proses kimia dalam tanah, seperti proses pelindihan senyawa/unsur pengikat tanah dan translokasi mineral lempung, dapat mengurangi kekuatan ikatan antar material penyusun tanah. Namun, faktor ini membutuhkan penelitian dan penilaian lebih detail menggunnakan analisis fisik, kimia, dan biologi. 


“Seperti telah kami sebutkan di atas, faktor air seperti hujan hanyalah satu faktor penyebab. Sedangkan, penyebab longsor pada umumnya merupakan kombinasi beberapa faktor tersebut,” tegas Amien. Sebagai pelengkap, Amien membuka hasil kajian Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi yang turun ke lokasi.


Hasil analisa PVMBG menyebutkan bahwa beberapa faktor yang pernah terekam menjadi sebab terjadinya bencana tanah longsor di antaranya adalah kemiringan lereng yang curam, bekas area pertambangan (longsor di Cimanggung, Cihanjuang), tanah yang lapuk tebal, vegetasi kurang, endapan vulkanik yang gembur, tanah jarang dan mudah luruh kena air, seperti longsor di Ngetos, Nganjuk. (mas/nas)



No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update