Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Ratusan Polisi Myanmar Membelot, Biarawati Hadang Militer

Wednesday, March 10, 2021 | 11:54 WIB Last Updated 2021-03-10T04:54:02Z

 MYITKYINA NEWS JOURNAL 

SUSTER  Ann Roza Nu Tawng, seorang biarawati di Myitkyina, Myanmar, berlutut di hadapan sejumlah aparat yang juga ikut berlutut. Suster Ann Roza memohon kepada aparat Myanmar agar tak menembaki para pengunjuk rasa.


MYITKYINA (DutaJatim.com) -  Ini pelajaran dari Myanmar. Pemandangan mengharukan terlihat di antara panasnya situasi bentrokan berdarah pasca-kudeta militer di Myanmar.  Selain ratusan polisi yang akhirnya membelot-- memilih berpihak kepada rakyat--, aksi heroik juga ditunjukkan oleh Suster Ann Roza Nu Tawng yang tanpa rasa takut menghadang militer. Perempuan biarawati  ini kembali berlutut di hadapan pasukan dengan moncong sejata untuk melindungi para demonstran. 


Namun aparat Myanmar bergeming. Mereka akhirnya tetap melepaskan tembakan ke arah para demonstran.  Insiden yang terjadi di Kota Myitkyina pada 28 Februari 2021 itu dijuluki sebagai "Momen Tiananmen di Myanmar". 


Biarawati itu menjadi perhatian setelah berlutut memohon sambil menangis agar polisi dan militer tak menembaki pengunjuk rasa.  Mengenakan jubah putih dan kerudung warna gelap, Suster Ann Roza Nu Tawng tampak berlutut lagi di hadapan militer pada Senin pagi waktu setempat (8/3/2021). Dalam gambar yang dirilis Myitkyina News Journal, Selasa kemarin, Suster Ann berlutut dekat katedral, dengan biarawati senior lain melihat aksinya itu dengan perasaan takut dan haru. 


Kepada Sky News, Suster Ann Roza  menuturkan, dia hanya ingin aparat Myanmar tak memukuli, menyiksa, dan menahan demonstran. "Karena para pengunjuk rasa ini tidak melakukan hal yang jahat, mereka hanya meneriakkan slogan," kata dia. 


Saat itu, salah satu polisi meminta Suster Ann agar menjauh, karena mereka harus melaksanakan tugasnya. Namun Suster Ann bergeming. "Saya menjawab 'tidak. Jika kalian ingin melakukannya, maka kalian harus melewati saya dahulu'," tegasnya. 


Pihak berwenang meresponnya. Mereka bergegas membereskan barikade yang menutupi jalan. Tak berselang lama, demonstran kembali yang disambut tembakan aparat militer. 


Suster Ann mengungkapkan, sekitar pukul 12.00 aparat kembali datang untuk menindak para pengunjuk rasa.  Karena itu, biarawati berusia 45 tahun itu kembali memohon kepada aparat agar tidak bertindak brutal. Sambil berlutut dia meminta agar mereka tak menyiksa massa yang memperjuangkan keadilan. 


"Polisi juga ikut berlutut, dan menjawab mereka hanya bisa melakukan itu demi membubarkan aksi protes," katanya menirukan jawaban polisi. 


Setelah permohonan itu, dia mendengar suara tembakan. Dia juga melihat gas air mata sudah berada di jalanan. Suster Ann mengatakan, dia merasa pusing dan kesulitan bernapas saat melihat seorang pria tergeletak di jalanan. Tampaknya pria malang itu ditembak. 


Editor Myitkyina News Journal melaporkan saat jam makan siang, dia mendapat kabar dua orang tewas. Kachin Waves kemudian merilis foto memilukan, menunjukkan Suster Ann berdiri di tepi jalan, dengan seseorang terbaring di aspal. Dalam foto lain yang begitu menyayat hati, dia terlihat menangis saat menyandarkan tubuhnya ke tubuh pria yang ditembak di kepala. 


Suster Ann Roza mengatakan karena gas air mata, dia tidak tahu siapa yang sudah menembak pengunjuk rasa. Hanya saja, dia yang melakukan penembakan jelas bukan aparat yang sudah berlutut dan memohon kepadanya. 


"Polisi sudah memberi tahu saya mereka tidak akan menembaki. Namun, mereka melakukannya," katanya meratap. Dia menuturkan orang yang ditembak kepalanya sempat bernapas, sehingga dia dibawa ke klinik untuk mendapat perawatan sebelum tewas. Sepekan sebelumnya, dia mengaku sudah siap untuk mati demi melindungi pengunjuk rasa yang hanya menyuarakan aspirasi. Sejak kudeta yang dilakukan militer pada 1 Februari 2021, sebanyak 56 orang tewas dan 1.790 orang ditahan. 


Suster Ann tampak tidak takut saat meminta pasukan keamanan Myanmar untuk tidak terus melakukan penangkapan.  "Jika saya takut dan melarikan diri, semua orang akan mendapat masalah. Saya tidak takut sama sekali. Saya memikirkan gadis dari Naypyitaw dan gadis dari Mandalay, saya memikirkan semua jiwa yang jatuh dari negara ini. Saya khawatir apa yang akan terjadi pada orang-orang di Myitkyina," katanya.


Saat pihak keamanan mendekat, Ann memanggil mereka dan memberi tahu "Tolong bunuh saya. Saya tidak ingin melihat orang terbunuh," katanya.


Melihat permohonan mengharukan itu, salah satu dari mereka berkata, "Saudari, jangan terlalu khawatir, kami tidak akan menembak mereka.'


Ann memohon kembali sambil berkata, "Mereka juga bisa dibunuh dengan senjata lain. Jangan tembak mereka. Mereka hanya pengunjuk rasa," katanya.


Polisi Membelot


Tampaknya banyak polisi tidak tahan menjadi musuh rakyat. Mereka membelot. Bahkan jumlah polisi Myanmar yang membelot kian bertambah setelah tindakan keras berdarah aparat terhadap pengunjuk rasa antikudeta. Lebih dari 100 polisi menolak untuk mematuhi perintah junta hingga Sabtu (6/3/2021) lalu. 

Tanggal 28 Februari dan 3 Maret adalah hari paling berdarah sejak kudeta. Menurut laporan media lokal, setelah penumpasan berdarah terhadap pengunjuk rasa, lebih banyak polisi melanggar ketentuan militer dan bergabung dengan gerakan antijunta.


Media lokal, The Irrawaddy melaporkan, jumlah polisi yang beralih pihak telah meningkat menjadi lebih dari 100 orang. Kelompok pertama desersi petugas polisi terjadi di Loikaw, ibu kota negara bagian kaya terkecil di negara itu. Itu terjadi selama pekan pertama protes anti-kudeta.


Rekaman gerakan dramatis ketika 49 petugas polisi memprotes dilindungi oleh para pengunjuk rasa diunggah di media sosial oleh kantor berita Kantarawaddy Times yang berbasis di Loikaw pada 10 Februari. Penjabat Kolonel Polisi Tin Min Tun dari Departemen Kepolisian Yangon adalah perwira tertinggi yang membelot, bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil pekan ini.


Dalam pesan video yang dikirim ke media lokal lainnya, Mizzima News, Tin Min Tun mengatakan polisi dan tentara telah melewati garis merah. Dia mengutip pembunuhan pengunjuk rasa anti-kudeta di kota Okalapa Utara Yangon pada Rabu (3/3/2021).


"Orang-orang di Okalapa Utara adalah warga sipil tak bersenjata yang secara damai menuntut pemulihan demokrasi. Mereka kebanyakan adalah pemuda yang membela hak-hak mereka," katanya dalam video itu seperti dikutip laman Anadolu Agency kemarin.  "Apakah kalian tidak merasa malu karena membunuh orang-orang ini? Kalian bertingkah lebih buruk daripada yang kalian lakukan di medan perang," ujarnya menambahkan.


Setelah hari paling berdarah dari penumpasan pada Rabu lalu yang menewaskan sedikitnya 37 orang, puluhan petugas polisi menolak untuk menerima perintah dari junta militer. BBC Burmese Service melaporkan pekan ini bahwa lebih dari 70 petugas polisi telah melanggar barisan dan bergabung dengan gerakan antijunta. (kcm/det)


No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update