Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Ritual Pelkudukan, Cara Masyarakat Banyuwangi Usir Pagebluk (Covid-19)

Tuesday, July 20, 2021 | 19:31 WIB Last Updated 2021-07-20T12:31:47Z



BANYUWANGI (DutaJatim.com) - Korban COVID-19 di Banyuwangi terus berjatuhan. Wabah virus corona ini pun dianggap sebagai 'pagebluk' karena telah memakan banyak korban jiwa.


Untuk mengusir pagebluk, masyarakat Using (suku asli Banyuwangi) melakukan ritual 'Pelkudukan' dengan cara membakar kayu di halaman rumah saat malam tiba.


Cahaya api dari kayu bakar pun terlihat menyala terang di sepanjang jalan pedesaan di tengah pemadaman LPJU saat PPKM Darurat. 


Tradisi ini dipercaya masyarakat dapat menolak 'balak' sehingga terhindar dari malapetaka. Termasuk salah satunya 'pagebluk' COVID-19.


Menurut Slamet Supriyadi, tokoh masyarakat Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri, tradisi Pelkudukan sama dengan tradisi Daleman yang sering dilakukan oleh orang Jawa dulu. 


Kayu dibakar saat waktu Maghrib tiba dan dibiarkan begitu saja sampai mati dengan sendirinya pada esok hari. 


"Zaman dulu pagebluk bisa hilang dengan cara pelkudukan ini. Kita berikhtiar bersama, selain penerapan prokes, kita juga mencoba tradisi yang dulu pernah ada," kata Slamet. 


Diakui Slamet, saat ini memang sudah sangat jarang dijumpai tradisi pelkudukan karena tergerus modernisasi. Namun, adanya pandemi COVID-19, mengingatkan kembali masyarakat akan tradisi yang hampir punah ini. 


Kini masyarakat Boyolangu nguri-uri tradisi yang dulu sudah pernah dilakukan. Selain untuk mengusir pagebluk, tradisi ini sekaligus melestarikan warisan budaya nenek moyang.


"Tidak hanya bakar kayu, tapi juga diiringi doa bagi pemilik rumah. Doa agar kita selamat dari mara bahaya termasuk pandemi COVID-19 ini. Ini sekaligus untuk melestarikan warisan budaya leluhur zaman dulu yang hampir hilang," tambahnya. 


Hal serupa juga dilakukan oleh masyarakat Using di Kecamatan Licin. Hampir di setiap halaman rumah warga, bisa ditemukan tradisi pelkudukan saat malam tiba. 


"Tradisi ini mulai dilakukan lagi, semenjak kasus kematian meningkat, terutama di Desa Licin. Sehari bisa dua sampai empat orang meninggal," kata warga setempat, Muhamad Sholeh.


"Waktu saya kecil dulu juga sering dilakukan tradisi ini ketika ada pagebluk. Saat itu banyak orang meninggal. Ada orang paginya ikut nggali kubur, sorenya meninggal. Waktu itu katanya Kolera penyakitnya," ceritanya.


Menurut Sholeh, tradisi pelkudukan ini bukan hanya sebatas membakar kayu di halaman rumah. Namun yang lebih penting dari itu, ialah memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa saat tengah malam. 


"Jadi membakar kayu ini ibaratnya sebagai teman agar tidak mengantuk. Nanti di atas jam 12, dilakukan sholat malam meminta kepada Gusti Allah agar pagebluk ini segera dicabut. Karena waktu yang paling mustajab untuk berdoa ialah sepertiga dari malam," imbuhnya.


Tradisi dan doa tolak balak ini, kata Sholeh, tentu harus diiringi dengan menjaga protokol kesehatan secara ketat. Tak bisa hanya dilakukan salah satunya saja, tapi harus berjalan beriringan. 


"Doa tanpa ikhtiar salah. Juga sebaliknya, ikhtiar tanpa doa juga salah. Maka harus kedua-duanya dilakukan. Sembari menjaga protokol kesehatan juga harus diiringi munajat kepada Yang Maha Kuasa," imbuhnya. (ozi/ndc)

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update