Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kiprah Diaspora Indonesia di Jepang: Dengan Kimono Muslimah, Berdakwah di Negeri Sakura

Thursday, September 9, 2021 | 13:15 WIB Last Updated 2021-09-09T06:15:53Z

 

Anggita bersama pengurus PCI Muslimat NU dan PCI NU Jepang

Salah seorang diaspora Indonesia di Jepang, Anggita Aninditya Prameswari Prabaningrum (Gita), tetap aktif berkontribusi membantu sesama --khususnya kaum perempuan--meski tinggal di negeri orang. Karena itu, Gita pun menenggelamkan diri dalam organisasi sosial kemanusiaan selama tinggal di negeri Sakura.  


Laporan Gatot Susanto


GITA melanglang buana ke negeri Sakura pada 1 November 2014 mengikuti  sang suami yang bertugas di Jepang. Saat itu, suaminya, Dr. H. Miftakhul Huda, M.Sc, telah menyelesaikan program studi doktor pada usia 27 tahun dan mendapat tugas menjadi Asisten Profesor Proyek NEDO di Laboratorium Matsuo, Departemen Ilmu dan Teknik Material, Pascasarjana Teknik, Universitas Nagoya.

"Saat ini kami tinggal di Nagoya, Aichi Prefecture, Jepang. Banyak WNI di sini, begitu pula warga nahdliyinnya. Kami sempat tinggal di Tokyo dan Yokohama juga. Terkait Covid-19, untuk wilayah Aichi sendiri masih emergency state. Karena setelah Tokyo Olympic, kasus Covid naik lagi. Setahu saya turis asing dari luar Jepang pun belum boleh masuk," katanya kepada Global News Rabu 8 September 2021.

Pengalaman merantau jauh ke negeri Jepang tentunya merupakan keputusan besar dalam hidup Gita. Apalagi saat itu baru dua minggu menikah. Dia  langsung diboyong oleh suaminya meninggalkan ibukota DKI Jakarta untuk hidup di Jepang.  

"Saya tentu sedih meninggalkan ibukota dengan segala kesibukannya yang selama 24 tahun telah menorehkan banyak cerita semenjak saya lahir hingga menikah. Suami saya asalnya dari kota santri Pekalongan," katanya. 

Awal membangun rumah tangga di negeri orang tentu banyak tantangan.  Selain harus beradaptasi dengan status baru sebagai seorang istri, Gita juga dituntut untuk cepat beradaptasi dengan aturan dan budaya di Jepang. "Terutama belajar nihongo (bahasa Jepang)," katanya. 

Selain itu, semua harus mandiri. Harus mengikuti gaya hidup disiplin tinggi khas Jepang. Tidak ada keluarga dan sanak saudara yang membantu. Tetapi dari situ, Gita dan suami menjadi sadar, ternyata mereka bisa hidup di tanah rantau. Mereka mampu karena kuasa Allah SWT.

Selanjutnya, banyak sekali nikmat dan kesempatan yang dia peroleh saat tinggal di Jepang. Nikmat yang belum tentu orang lain memperolehnya. Maka dari itu, Gita memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik mungkin. Salah satunya adalah dengan berdakwah di negeri minoritas muslim tersebut.

Baginya metode dakwah bisa dilakukan dengan menunjukkan perilaku yang baik. Misalnya memakai kimono dengan gaya muslimah. Saat itu, kata dia, penata busana kimono yang orang Jepang pun antusias dengan kimono muslimah ini. Penata busana itu lalu bertanya kenapa memakai penutup kepala (hijab). Lantas setelah dijelaskan dia pun memuji. "Kore wa kawaii... (ini bagus, Red.)" kata penata busana itu kepada Gita. 

Gita mengatakan dengan menunjukkan berbusana kimono gaya muslimah dan perilaku positif lain juga bagian dari berdakwah. "Rasulullah SAW dalam hal ini bersabda, 'Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain (H.R. Bukhari)'," katanya. 

Hidup di negeri dengan penduduk muslim minoritas menjadi tantangan bagi Gita dan keluarganya. Sebab, kepergiannya bersama suami ke Jepang sudah menjadi ketetapan Allah SWT.

"Saya lebih suka menyebutnya sebagai tantangan berdakwah, karena saya yakin sekali Allah SWT menakdirkan kami sekeluarga tinggal di Jepang bukan hanya sekadar tinggal merantau. Tetapi ada misi Allah di baliknya. Saya merasa harus menyebarkan ajaran-ajaran Islam secara ramah kepada warga di sini," katanya. 

Selain kimono, dia lalu memberi contoh lain. "Ketika saya mau shalat di luar, saya ambil wudhu dan gelar alas di koen (taman umum, Red.). Orang Jepang di sekitar situ mungkin melihatnya aneh. Apalagi komat-kamit sendiri baca doa hehe... Tapi kalau kita percaya diri sebagai umat muslim dan tentunya tetap taat pada peraturan yang berlaku (tidak mengganggu yang lain, Red.), maka mereka pun akan terbiasa dengan suasana tersebut," ujarnya. 

Begitu pula setiap membeli produk makanan atau minuman pasti memilih yang halal. "Kita akan mengecek daftar kandungan di balik kemasannya. Hal ini sudah biasa dilakukan. Kadang memakan waktu sendiri walaupun sudah pakai aplikasi kamera di Google Translate. Untuk itu, kita harus menghafal kanji bahan-bahan yang haram dan memungkinkan menggunakan bahan tersebut," katanya. 

Saat hari raya juga jadi tantangan sebab tidak ada perayaan umum seperti di tanah air. Tidak ada libur. Tidak ada keramaian Lebaran.

"Jadi, jika hari raya jatuh pada hari kerja, maka kita bisa izin dari kantor untuk shalat dulu paginya ke masjid, lalu kembali ke kantor. Kalau diperbolehkan lebih lama jamnya, kita bisa makan-makan dulu di Wisma KBRI atau masjid-masjid yang membuka perayaan. Pandemi ini tidak ada dulu acara semacam itu," jelasnya.

Gita mengatakan, bagaimana caranya berbagi banyak manfaat kepada orang lain salah satunya dengan berkontribusi dalam organisasi keagamaan. Selain itu juga terlibat dalam pemberdayaan perempuan, dan organisasi positif lainnya. "Tentu semua itu dijalani sesuai prinsip dan dengan skala prioritas," katanya.


Aktif di Ormas Islam


Maka, Gita pun menenggelamkan diri dalam aktivitas sosial keagamaan tersebut. Perempuan 30 tahun dengan 2 orang anak (usia 5 tahun dan 1 tahun, Red.) ini selain sebagai ibu rumah tangga, sibuk pula menulis artikel di berbagai media, menulis buku, menjadi pembicara dalam berbagai even.

Gita juga terus menimba ilmu dengan menjadi mahasiswi jurusan Business Management di sebuah perguruan tinggi, menjabat manajer operasional Institut Ibu Profesional ASIA, Koordinator FIM Diaspora, anggota Indonesian Diaspora Network, anggota FLP Jepang, dan ambassador Konferensi Ibu Pembaharu. Bukan hanya itu, Gita juga Ketua PCI Muslimat NU Jepang, sedang suaminya Dr. H. Miftakhul Huda, M.Sc, Ketua PCINU Jepang 2017-2021. 

"Untuk mengatur waktu, saya bikin jadwal harian dan mingguan. Sinkronkan dengan email suami. Komunikasikan dengan suami agar ketika kita punya agenda yang urgent atau mendesak, suami siap membantu untuk pegang anak-anak. Maklum di sini kami sama sekali tidak pakai ART atau babysitter. Begitu juga apabila suami punya jadwal penting, beliau memberi tahu saya jauh-jauh hari. Sehingga kami bisa saling mengingatkan dan siap membantu," ujarnya. 

Gita juga membikin 4 kuadran kandang waktu untuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan lebih cepat. Yakni URGENT/Penting & Mendesak biasanya yang memiliki deadline dan ada konsekuensi jika terlewat batas waktunya. Lalu, kerjakan yang penting, tetapi tidak mendesak. 

Untuk kegiatan yang tidak penting, tidak menambah produktivitas dalam berilmu dan beramal, sebaiknya disingkirkan. Scroll media sosial juga dibatasi waktunya dan harus ditentukan skala prioritas juga apa yang dibuka terlebih dahulu. Misalnya email kampus, email pribadi, What'sApp, baru sosial media. 

"Untuk urusan yang diutamakan biasanya urusan anak-anak, seperti jadwal anak mandi, makan, mengaji, membacakan buku sebelum tidur, menyiapkan keperluan sekolah dan bentonya. Lalu suami, dan perkuliahan saya. Baru organisasi," katanya.

Gita yang juga aktif sebagai Koordinator FIM Diaspora dan anggota Indonesian Diaspora Network, juga sering mengikuti seminar yang antara lain digelar IDN. Baginya, peran diaspora dalam menuju Indonesia Emas 2045 yang dicanangkan Pemerintah tentu sangat diperlukan. Misalnya seperti sang suami, Dr. H. Miftakhul Huda, yang seorang peneliti.

"Bagi para peneliti di luar negeri, dengan kiprahnya turut mencerdaskan anak bangsa, bisa dengan memberikan PJJ dan totalitas dalam berkarya di bidangnya masing-masing. Saya juga beberapa kali memberikan kontribusi melalui organisasi pemberdayaan perempuan ASIA yang saya urus," katanya.

Gita juga bergabung dengan Institut Ibu Profesional pada tahun 2017. Dia sangat berkesan sebab di forum ini Gita bisa bertemu dengan ibu-ibu seperjuangan dari berbagai penjuru dunia. Dengan berbagai latar belakang dan cerita unik merantau di masing-masing negara.

"Kami disatukan oleh kesamaan misi. Ada Kelas Matrikulasi Institut Ibu Profesional Luar Negeri. Sungguh sangat bermakna bagi kami. Forum ini menjadikan kami sebagai keluarga besar yang saling mendukung satu sama lain. Dengan dibimbing oleh fasilitator yang berkompeten, kami belajar adab menuntut ilmu dan mengenali diri sendiri sesuai peran yang sudah Allah SWT berikan. Banyak sekali materi yang diajarkan. Selain sesi diskusi, ada pula sesi curhat dan bercanda sehingga suasana WAG (Whatsapp Group) kelas menjadi hangat dan tidak kaku," katanya. 

Di sela-sela itu Gita yang anggota Forum Lingkar Pena Jepang--sebuah komunitas untuk sharing literasi--aktif menulis artikel di media massa dan buku. Misalnya buku 34 Dongeng Super Amazing Kekayaan Fauna Indonesia, Dunia Merah Jambu, Jurnal Ibu Pembelajar, 43 Dongeng Amazing,  Perempuan 5 Benua, Semarak Idul Fitri di 5 Benua - 20 Negara, Yuk, Mengenal Anatomi Tubuh Manusia, Ulama Pengubah Dunia, Chamomile Tea for Awesome Teacher,  Cerita Anak Siaga Bencana,  Melangkah Menuliskan Kisah (Ketika Bunda Bercerita) - Ibu Profesional Asia, Melintasi Benua - Melihat Dunia. 

Selain itu Gita sebagai nahdliyin juga menjadi Ketua PCI Muslimat NU Jepang. Sebelumnya dia  dipilih menjadi Wakil Ketua PCIMNU Jepang periode 2017-2019 dengan SK PCI NU Jepang Nomor: 1/PCINUJEPANG/09/2017 tanggal 19 September 2017. 

Karena itu, dia pun hadir saat 8 Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) Muslimat NU mengadakan halal bilhalal yang berlangsung secara daring, Sabtu (12/6). Turut serta dalam kegiatan itu,  Faridah Ketua PCI MNU Saudi Arabia, Yayah Indra dari PCI Muslimat NU Inggris, Fatimah Angelia dari Hongkong-Macao, Leni Latipah dari Sudan, Siti Romlah dari Taiwan, Anita Kurnia Ilahi dari Tiongkok, dan Mimin Mintarsih dari Malaysia. Acara itu dihadiri  Ketua Umum PP Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa dan Hj. Nurhayati Said Aqil Siroj yang merupakan Pembina PCI Muslimat NU Dunia. 

Muslimat Jepang juga pernah menyambut kunjungan Ibu Nyai Sinta Nuriyah Wahid (Bu Nyai) dan putrinya Alissa Wahid (Mbak Alissa) melakukan serangkaian kegiatan kunjungan ke negeri para Samurai itu. "Saat itu  beliau selain mengisi kuliah umum di Soka Gakkai Tokyo, juga menyempatkan untuk menerima silaturahim dengan Muslimat NU Jepang dan PCINU Jepang di Hotel New Otani Chiyoda-ku Tokyo," katanya. (*)



No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update