Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Serangan 9/11, Amerika dan Taliban

Saturday, September 11, 2021 | 01:00 WIB Last Updated 2021-09-10T18:00:00Z


Oleh Imam Shamsi Ali* 


JUMAT 14 September 20 tahun lalu, debu-debu reruntuhan gedung kembar WTC menjadi saksi bisu atas sebuah peristiwa yang belakangan  mengguncang dunia. Kepulan asap dan debu dari reruntuhan itu pun telah menjadi saksi dahsyat pada salah satu rentetan perjalanan sejarah kehidupan dan peradaban manusia. 


“We can’t hear you. We can’t hear you!” orang-orang di pinggiran reruntuhan itu berteriak. Mereka adalah keluarga korban, fire fighters (petugas pemadam kebakaran), NYPD (anggota Kepolisian NY), dan para relawan lainnya yang masih berusaha menemukan orang-orang hidup dari onggokan reruntuhan gedung WTC itu. 


Di salah satu samping reruntuhan yang aman, dan dari atas onggokan bebatuan sebuah suara terdengar: “I can hear you. I can hear you!” (saya mendengarmu, saya mendengarkanmu). Tapi suara itu berlanjut: “and they will hear us. The people who took down these buildings will hear us!” (Dan mereka akan mendengar kita. Orang-orang yang meruntuhkan gedung ini akan mendengar kita!”. 


Itulah teriakan yang bersahutan di sore itu. Antara keluarga korban yang hadir mendengarkan pidato singkat Presiden G.W. Bush di saat mengunjungi Ground Zero pertama  kali dan sang Presiden negara super power itu. 


Saya bersama beberapa tokoh agama New York yang diminta hadir dan ikut mendampingi sang Presiden melakukan kunjungan pertama kali ke Ground Zero empat hari setelah serangan 9/11 hanya berdiri sekitar 7-10 meter dari Presiden. 


Ketika Presiden Bush berteriak: “they will hear us” (mereka akan dengar kita), sejujurnya saya tidak terlalu paham. Saya pun bertanya ke Imam E. Pasha, Imam masjid Malcom X Harlem (kami berdua mewakili Komunitas Muslim di acara itu) apa yang dimaksud oleh sang Presiden. 


“That is a war declaration” (itu pengumuman perang), jawabnya singkat. 


Pernyataan Bush itu disambut dengan gegap gempita. Tepuk tangan bergemuruh. Teriakan memuji Presiden terdengar seolah hingga ke angkasa luar. Sang Presiden pun merasa tersanjung. Seolah lupa apa yang baru saja menimpa warga New York ketika itu. 


Pada malam harinya saya mendapat undangan untuk hadir dalam acara memorial service (semacam takziyah) di gereja St. John Cathedral. Sebuah gereja penganut Episcopalian (Anglican kalau di Inggris) yang terletak tidak jauh dari Columbia University. Saya hadir karena diminta memberikan sambutan singkat tentang serangan 9/11. Tentu saya menyampaikan seperti yang sering saya sampaikan sebelumnya. Belasungkawa, kutukan, meyakinkan akan kebersamaan, dan tentunya komitmen Islam melawan terorisme. Itulah nyanyian rutin saat itu. 


Tapi yang mengejutkan malam itu adalah begitu banyak tokoh agama, termasuk Yahudi dan Kristen, yang menyampaikan ketidaksetujuan bahkan resistensi terhadap rencana Presiden Bush menyerang Afghanistan. Alasannya sama dengan yang sering kita dengarkan. Pengalaman buruk perang Vietnam dan alasan kemanusiaan. 


Rupanya Presiden Bush memang berambisi untuk mengirimkan pasukannya ke Afghanistan. Sebagian menafsirkan itu sebagai jembatan untuk kembali ke Irak untuk membalas dendam kekalahan ayahnya di tahun 1991 silam. Justifikasi yang dipaksakan memang atas nama balasan atas serangan 9/11. Dan target utama adalah menangkap atau membunuh Osama Bin Laden, yang dianggap “master” dari serangan yang mematikan hampir 3.000 jiwa itu. 


Saat itu di Afghanistan sendiri sejak terusirnya Uni Soviet, bahkan menjadi penyebab utama keruntuhannya, terjadi perang antar kelompok. Perang itu disebabkan karena faktor suku maupun karena faktor kelompok jihad itu sendiri. Dari Rabbani ke Sayyaf, hingga ke Muhammadi dan Hikmatyar, Afghanistan tidak pernah sepi dari pembunuhan dan pertumpahan darah. 


Di tengah situasi yang tidak menentu itu para pelajar di berbagai madrasah, baik yang di Afghanistan sendiri maupun yang berada di daerah-daerah perbatasan Pakistan dan Afghanistan membentuk kekuatan baru dengan nama Taliban. Didukung oleh tentunya kekuatan luar, saya menyebutnya dengan “hidden player” Taliban berhasil menguasasi sebagian besar negara Afghanistan ketika itu.


Kekuasaan Afghanistan yang terbentuk atas dasar Shariah “versi mereka saat itu” sangat kaku, sempit dan tidak menunjukkan “muruunah” (elastisitas) ajaran Islam yang sesungguhnya. Tentu situasi ini dipergunakan oleh pihak lain untuk membangun persepsi yang buruk tentang Taliban itu sendiri. 


Kehadiran Amerika di Afghanistan pun bukan lagi sekedar memburu Osama bin Laden. Tapi untuk meruntuhkan kekuasaan Taliban. Amerika berhasil menggeser Taliban dari pusat pemerintahan di Kabul. Sekaligus berhasil membentuk pemerintahan bonekanya melalui  representasinya di Afghanistan, Zalmay Khalilzad. Zalmay Khalilzad adalah warga negara Amerika yang memang keturunan Afghanistan. 


Taliban sendiri tidak pernah berhenti bergerak dan berjuang untuk kembali menguasasi Afghanistan. Walaupun dikategorikan sebagai gerakan teroris oleh Amerika, bahkan beberapa petingginya ditangkap dan dipenjara di Guantanamo (termasuk Baradar yang saat ini jadi Wakil Presidennya), kenyataannya Taliban tetap eksis. 


Amerika sendiri dalam perjalanannya menghadapi berbagai multi krisis. Selain peperangan di Afghanistan dengan biaya yang luar biasa besarnya. Juga beberapa tahun kemudian dengan alasan yang diada-adakan kembali menyerang Irak dan menjatuhkan Saddam Husain. Irak menjadi hancur berkeping mengikut jejak Afghanistan. 


Demikianlah dari tahun ke tahun Amerika semakin bingung dengan sendirinya. Apa yang harus diperbuat. Menarik pasukan berarti dengan sendirinya mengakui kemenangan Taliban. Jika tidak Amerika juga sadar bahwa permasalahan ekonomi dalam negeri semakin terasa. Setiap harinya Amerika harus mengeluarkan sekitar US$300 juta. Dalam masa dua puluh tahun Amerika telah menghabiskan sekitar 2 triliyunan US$. Belum lagi ribuan tentara Amerika yang mati, dan ribuan lainnya yang luka-luka. 


Intinya Amerika merasa maju mundur akan tertampar (kena). Hingga sekitar lima tahun silam terpilihlah seorang Presiden yang secara ekonomi sangat sensitif, tapi juga kebal muka. Di masanyalah Amerika mulai melakukan negosiasi kembali dengan Kelompok Taliban melalui mediasi Qatar. Dan puncaknya Amerika memutuskan menyetujui tuntutan Taliban untuk mereka angkat kaki dari bumi Afghanistan. 


Ketika Presiden Biden terpilih tentu tidak ada lagi alasan untuk tetap bertahan di Afganistan. Selain kerugian dan kekalahan itu nyata, juga Biden harus melaksanakan persetujuan yang telah ditandatangani oleh pemerintahan sebelumnya. Militer Amerika pun hengkang dari Afghanistan di akhir Agustus tahun 2021 ini.

 

Banyak pihak, termasuk Amerika sendiri tidak menyangka bahwa Afghanistan akan begitu mudah dan cepat terjatuh ke tangan Taliban. Bahkan boleh jadi ada pihak yang ingin melihat kembali perang saudara kerkecamuk di Afghanistan pasca penarikan pasukan Amerika. 


Kenyataan berkata lain. Dalam waktu singkat Taliban menguasai daerah-daerah Afghanistan, dari satu provinsi ke provinsi lainnya. Hingga sebelum berakhir masa eksodus tentara Amerika pun Ibukota dan Istana pemerintahan Kabul telah jatuh ke tangan Taliban. Presiden Ghani dan jajarannya melarikan diri ke negara-negara yang bisa memberikan perlindungan. 


Ada beberapa perkiraan alasan Kenapa Taliban begitu cepat menguasasi Afghanistan. Tapi dua hal yang paling dominan adalah, satu, karena memang mayoritas warga Afghanistan senang Taliban atau minimal tidak senang dengan pemerintahan boneka Amerika. Dua, pemerintahan boneka tidak pernah memiliki loyalitas dan komitmen. Pemerintahan bentukan orang lain pastinya rapuh dan mudah jatuh. 


Dengan kembalinya Taliban berkuasa di Afghanistan tentu menjadi ujian tersendiri. Ujian bagi Taliban untuk membuktikan bahwa mereka memang hadir untuk memberikan solusi bagi negara dan bangsanya dari pertumpahan darah dan kemiskinan yang tiada akhir. Bahwa dengan komitmen transformasi Taliban hadir dengan wajah dan karakter pemerintahan yang berbeda dari yang dihadirkan 20 tahun lalu. 


Tapi ujian terbesar Sesungguhnya adalah untuk dunia, khususnya Dunia Barat dan Amerika sendiri. Amerika yang telah melakukan persetujuan dengan Taliban melalui Qatar Agreement. Kini Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan yang juga berarti Amerika menyerahkan kembali kekuasaan itu. 


Masalahnya Kenapa Amerika dan dunia Barat nampak ragu dan malu-malu mengakui eksistensi Taliban sebagai penguasa resmi Afghanistan? Bahkan dengan segala cara berusaha menghalang-halangi agar Taliban  menuntaskan jalan mereka untuk membentuk pemerintahan yang sah di Afghanistan? 


Kalau sekiranya Amerika dan dunia Barat jujur untuk memperkuat demokratisasi di Afghanistan pastinya mereka menempatkan diri sebagai mentor yang menampakkan ketauladanan dalam Demokrasi dan HAM. Bukan hadir memaksakan kehendak dan kekerasan atas nama Demokrasi.


Akhirnya Afghanistan dan pemerintah Taliban memang menjadi ujian tersendiri bagi dunia. Ujian kejujuran dalam Demokrasi dan keadilan universal. Betapa dunia tanpa malu seringkali menafsirkan Demokrasi dan keadilan universal berdasarkan kepada kepentingan dan hawa nafsu sendiri. 


Islam pun mengajarkan: ان لم تستحي فاصنع بما شءت (jika anda tidak lagi malu maka berbuatlah sesuka egomu). 


Jangan memalukan, man! 

Give them a chance, man! (*)


New York, 10 September 2021 


*Imam di kota New York

*Presiden Nusantara Foundation

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update