Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Puasa Ramadhan di Negeri Sakura: Seimbangkan Pikiran, Ruhani, dan Kehendak Biologis

Thursday, April 14, 2022 | 10:48 WIB Last Updated 2022-04-14T03:48:53Z


 Oleh Dr Miftakhul Huda

(Ketua ISNU Jepang dan Asisten Profesor di Universitas Nagoya)

 

ALHAMDULILLAH! Ramadhan di Jepang tahun 2022 ini bertepatan dengan musim semi. Bunga-bunga Sakura pun bermekaran. Puasa Ramadhan terasa lebih sejuk saat bersama dengan mekarnya Sakura yang cantik.

 

Tahun ini mungkin yang pertama kali kami bisa berkumpul untuk berbuka puasa bersama atau bukber dan sholat Tarawih di masjid/mushola setelah 2-3 tahun tidak bisa berkumpul karena kondisi pandemi Corona. Sekarang pembatasan makan bersama dan berkumpul sudah dilonggarkan di Jepang, walaupun tetap mengedepankan protokol kesehatan (prokes).


Rasanya sungguh menyentuh hati, saat memulai berbuka puasa dengan kurma, meneguk jus, dan memakan hidangan secara bersama-sama dengan saudara sesama muslim. Bertegur sapa dengan mereka adalah suatu nikmat yang tak terkira di negeri minoritas, seperti di Jepang ini. 


Hikmah puasa kali ini di negara minoritas muslim, Jepang, yang paling bisa dirasakan adalah bisa menyambung silaturahmi dengan sesama muslim. Sebelumnya, pandemi menyebabkan sulit bagi kita mengenal satu sama lain sesama muslim karena tidak ada acara-acara maupun media untuk bertemu. Tidak ada sholat Tarawih, sholat Jumat dengan jamaah yang dibatasi, tidak ada acara kumpul-kumpul dan lain-lain. 


Berkah Ramadhan kali ini lewat bukber dan Tarawih saya bisa mengenal saudara muslim dari berbagai negara yang baru bertemu, walaupun ternyata kita satu kampus. Ada teman-teman muslim dari Palestina, Malaysia, Uzbezkistan, China, Bangladesh, Somalia, dan lain-lainnya. Sungguh syahdu. Sungguh menyentuh. Sungguh sebuah karunia dari Allah SWT.


Media Bukber memberi kesempatan bagi kita untuk bertegur sapa dan saling mengenal dengan saudara-saudara kita tersebut. Bahkan kita juga mengundang teman-teman nonmuslim dari Jepang dan juga dari negara lainnya hadir dalam acara bukber ini.


Hikmah yang kedua puasa di negeri minoritas adalah melatih dan menambah rasa sabar. Di negara minoritas tidak ada libur atau penyesuaian terhadap bulan puasa Ramadhan. Semua berjalan seperti biasa. Sering orang-orang di sekeliling kita bahkan tidak mengetahui kalau kita sedang puasa. Jadi, sudah biasa kita duduk atau ngobrol sambil melihat teman atau sekeliling kita yang makan siang. 


Walaupun sahur, kita juga harus tetap masuk pagi seperti biasa. Ini melatih kesabaran dan juga kepandaian kita mengatur waktu keseharian kita menyeimbangkan antara ibadah dan pekerjaan sehari-hari. 


Kita hidup di masyarakat yang tidak punya kewajiban berpuasa karena memang berpuasa merupakan kewajiban bagi mereka yang beriman. Yang tidak beriman tidak wajib dan tidak menganggap spesial bulan Ramadhan ini. Tapi ini sebenarnya sebuah peluang dan kesempatan di mana kita bisa khusyuk beribadah menyendiri dengan Allah SWT lewat puasa karena kita puasa bukan disebabkan hal lain di sekeliling kita.


Dengan puasa di bulan Ramadhan ini saya menyadari bahwa saya sebagai manusia biasa sangat tergantung akan kebutuhan fisik, seperti nafsu makan, minum, nafsu seks, bahkan mungkin syahwat yang berusaha menguasai, yang ingin menjadi terdepan. Padahal sebenarnya dengan pemenuhan makan minum dan kebutuhan lainnya seperlunya saja, manusia masih bisa tetap hidup. 


Padahal, sebagai akademisi, kita dituntut agar memaksimalkan pikiran kita untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan. Kalau kita masih mementingkan kebutuhan-kebutuhan fisik, tentu kita tidak akan bisa fokus menghasilkan berbagai buah pikiran cemerlang dan hasil kerja yang brilian dari kita untuk perkembangan ilmu pengetahuan. 


Walaupun mengurangi atau meninggalkan untuk sementara waktu, pemenuhan kebutuhan fisik ini masih sulit dilakukan karena kehendak biologis tubuh yang belum bisa mengikuti kehendak pikiran maupun ruhani kita. 


Tentu ini perlu latihan secara alami dan bertahap agar bisa menyeimbangkan antara kehendak pikiran dan biologis. Yang pada akhirnya kita sebagai akademisi bisa memaksimalkan potensi dan kerja pikiran kita dalam kerja kita untuk pengetahuan. (*)



No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update