PAMEKASAN (DutaJatim.com) – Para pelaku industri rokok dan tembakau meminta agar pemerintah pusat lebih memperhatikan nasib daerah penghasil kedua produk tersebut. Ketua Paguyuban Pelopor Pedagang dan Petani Tembakau Madura (P4TM) Haji Khairul Umam (Haji Her) misalnya menegaskan bahwa pengusaha tembakau dan para ulama pengasuh Pondok Pesantren di Madura berharap pemerintah hadir membantu para petani tembakau Madura.
Begitu pula Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur (DPRD Jatim) mendorong pemerintah provinsi untuk memperjuangkan tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui optimalisasi penerimaan dari sektor cukai hasil tembakau. Jatim menyumbang lebih dari Rp 100 triliun untuk penerimaan cukai hasil tembakau secara nasional, tapi yang dikembalikan ke daerah dalam bentuk DBHCHT sangat kecil.
Humas Bea Cukai Pamekasan, Megatruth, kepada DutaJatim.com, Rabu (20/8/2025), mengatakan, bahwa putusan pembagian 3 persen dari dana cukai untuk Jatim yang dinilai sangat kecil itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PKM) dalam bentuk Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT). Angka 3 persen dari Rp 200 triliun yang diterima Pemprov Jatim itu juga merupakan isi PKM.
Antara satu daerah dengan daerah lain, kata Mega, berbeda jumlah perolehannya. Yang membedakan adalah keberadaan perusahaan rokok atau produksi tembakau di daerah. Artinya daerah yang ada perusahaan rokoknya dan daerah penghasil tembakau jumlah bagiannya akan berbeda dan akan lebih banyak dibandingkan dengan daerah yang tidak ada kedua usaha tersebut.
"Dari empat kabupaten di Madura yang memperoleh bagian terbesar adalah Kabupaten Pamekasan. Pada tahun 2024 lalu Pamekasan kebagian dana DBHCTsebesar Rp 112 miliar dan pada tahun 2025 ini mendapat bagian Rp 120 miliar. Urutan kedua di tahun 2025 ini diraih Sumenep sebesar Rp 62 miliar. Urutan ketiga Kabupaten Sampang dan bagian terkecil diperoleh Kabupaten Bangkalan," katanya.
Dana DBHCT yang diterima oleh pemerintah daerah penggunaannya juga diatur oleh PKM, yakni dengan rincian 40 persen untuk kesejahteraan, misalnya untuk program Universal Health Coverried (UHC). Lalu 50 persen dipakai untuk program kesejahteraan masyarakat misalnya berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk buruh pabrik rokok maupun untuk petani tembakau. "Lalau 10 persennya untuk kepentingan program penegakan hukum dan sosialisasi," katanya.
Dalam kenyataannya, kata dia, ada pemerintah daerah yang tidak menyerap semua anggaran sosialisasi dan penegakan hukum itu, akhirnya dialihkan kepada bidang-bidang program lainnya. Misalnya untuk bidang kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. "Langkah ini juga diperbolehkan dalam PMK," ujarnya.
Terkait dengan upaya untuk menaikkan persentase pembagian DBHCT, Megatruth mengatakan bahwa itu ranahnya para anggota legislatif, baik legislatif daerah, lebih utama legislatif provinsi.
Sebelumnya Komisi C DPRD Jatim mendorong pemerintah provinsi untuk memperjuangkan tambahan PAD melalui optimalisasi penerimaan dari sektor cukai hasil tembakau. Hal ini dinilai mendesak, mengingat beban pembiayaan daerah terus meningkat, sementara porsi transfer dari pusat cenderung stagnan bahkan menurun sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Wakil Ketua Komisi C DPRD Jatim, Agus Wicaksono, menilai distribusi pendapatan dari sektor rokok khususnya cukai sangat tidak proporsional. Padahal, Jatim merupakan kontributor terbesar penerimaan cukai hasil tembakau nasional.
"Jatim ini menyumbang lebih dari 100 triliun untuk penerimaan cukai hasil tembakau secara nasional, tapi yang dikembalikan ke daerah dalam bentuk DBHCHT itu sangat kecil, bisa dibilang sangat timpang. Ini bukan hanya soal fiskal, tapi juga soal keadilan bagi daerah penghasil," ungkap Agus Wicaksono, di Surabaya.
Politisi asal Lumajang tersebut menjelaskan, sejak diberlakukannya UU No. 1 Tahun 2022, pajak kendaraan bermotor tidak lagi menjadi bagian total kewenangan provinsi. Distribusi dana yang sebelumnya bisa digunakan untuk memperkuat PAD menjadi terbatas. Sesuai aturan baru, provinsi hanya menerima 36 persen, sementara 64 persen masuk ke kabupaten/kota. Hal ini membuat ruang fiskal provinsi menjadi semakin sempit.
“Kami sebagai mitra strategis pemerintah provinsi mendorong agar potensi yang ada bisa dimaksimalkan. Termasuk mendorong Kementerian Keuangan agar formula distribusi DBHCHT direvisi, lebih adil untuk daerah penghasil seperti Jawa Timur,” lanjut Agus.
Data dari Bea Cukai mencatat bahwa penerimaan negara dari cukai hasil tembakau tahun 2024 mencapai lebih dari Rp220 triliun, dan lebih dari 60% di antaranya berasal dari pabrik-pabrik rokok di Jawa Timur, terutama dari kawasan Kediri, Malang, Pasuruan, Sidoarjo, dan Surabaya.
Namun, dari besarnya kontribusi tersebut, daerah hanya menerima pengembalian dalam bentuk DBHCHT sekitar Rp3,2 triliun untuk seluruh Jatim jauh dari jumlah yang layak jika disesuaikan dengan porsi kontribusi produksi. Di sisi lain, beban yang ditanggung daerah akibat industri rokok cukup besar. Mulai dari pembiayaan kesehatan, pengawasan peredaran rokok ilegal, hingga pengendalian dampak sosial.
“Ini ironi. Jatim dapat beban penuh produksi, pengawasan, distribusi tapi manfaat fiskalnya minim. Kami minta pemerintah pusat fair. Keadilan fiskal itu penting. Kalau tidak ada penyesuaian, kekuatan APBD Jatim akan terus melemah,” tegas Agus. (mas)

No comments:
Post a Comment