Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Surya Paloh Ungkap Kesepakatan Jokowi-Ketum Parpol soal Perppu KPK, Ada Apa?

Wednesday, October 2, 2019 | 23:36 WIB Last Updated 2019-10-02T16:36:58Z

(foto pinterpolitik)

JAKARTA (DutaJatim.com) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dihadapkan pada dilema terkait  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) guna mencabut UU KPK. Pasalnya, Jokowi sudah menyatakan akan mempertimbangkan masukan dari masyarakat untuk menerbitkan Perppu guna mencabut UU KPK tersebut.

Hal ini setelah Kepala Negara melakukan konsultasi dengan berbagai tokoh masyarakat dan ahli hukum setelah gelombang aksi demonstrasi mahasiswa, pelajar, dan masyarakat sipil, semakin besar dan meluas ke sejumlah daerah di Tanah Air. Para demonstran juga meminta agar UU KPK dicabut, menolak RUU KUHP dan dua RUU lain.

Namun, sejumlah politisi justru memberi warning kepada Jokowi agar tidak menerbitkan Perppu KPK. Salah satunya Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh. Bahkan, bos Media Group ini mengklaim, Presiden Jokowi dalam waktu dekat belum berniat menerbitkan Perppu atas Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi itu. Informasi itu disampaikan oleh Paloh setelah Jokowi bertemu dengan seluruh pimpinan koalisi partai di Istana Bogor, Senin, 30 September 2019 lalu.

Menurut Surya Paloh, penerbitan Perppu KPK untuk saat ini belum tepat. "Untuk sementara tidak ada (Perppu KPK). Belum terpikirkan mengeluarkan Perppu," kata Surya Paloh saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, 2 Oktober 2019.

Surya Paloh mengklaim bahwa partai koalisi mendengar aspirasi dari publik atau mahasiswa terkait penolakan itu. Menurut dia, jika pun ditolak, maka ada mekanisme proses hukum melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Bukan perppu.

Sebab, selama masuk dalam persidangan di MK, kata dia, Jokowi tidak bisa langsung mengambil keputusan menerbitkan Perppu karena rentan dipolitisasi. Jokowi bisa dimakzulkan gara-gara menerbitkan perppu tersebut.

"Salah-salah Presiden bisa di-impeach. Karena itu, salah-salah, ini harus ditanyakan ke ahli hukum tata negara. Coba deh, ini pasti ada pemikiran-pemikiran baru. Kalau itu tuntutan pada anak-anak (mahasiswa) itu, melihat itu, tapi sejumlah produk undang-undang yang tertunda tetap akan tertunda," kata dia.

Sebelumnya, demonstrasi menolak UU KPK yang baru meluas dan berujung aksi anarkis di sejumlah daerah. Bahkan, ada korban jiwa. UU KPK yang baru itu di dalamnya terdapat indikasi sejumlah pasal pelemahan terhadap lembaga antirasuah itu.

Namun, merespons penolakan sejumlah RUU kontroversial dan UU KPK, Presiden Jokowi lalu menerima sejumlah tokoh dan pakar hukum, di Istana Merdeka Jakarta, Kamis 26 September 2019. Ada sekitar 40-an tokoh yang hadir.

Menurut Jokowi, banyak sekali masukan dari berbagai pihak yang meminta agar pemerintah menerbitkan Perppu untuk UU KPK yang baru saja disahkan DPR RI.

"Tentu saja, ini akan kita segera hitung kalkulasi dan nanti setelah kita putuskan akan kami sampaikan pada senior dan guru-guru yang hadir pada sore hari ini," kata Presiden Jokowi, di Istana Merdeka, Kamis pekan lalu. 

Namun demikian, seperti kata Surya Paloh, usulan Perppu KPK juga dibahas saat Jokowi dan ketum parpol koalisi bertemu pada Senin (30/9) malam. "Karena sudah masuk pada persengketaan di Mahkamah Konstitusi (MK), ya salah juga kalau mengeluarkan Perppu. Jadi kita tunggu dulu bagaimana proses di MK melanjutkan gugatan itu. Jadi yang jelas presiden bersama seluruh partai-partai pengusungnya mempunyai satu bahasa yang sama," kata Surya Paloh.

Kewenangan Presiden

Pernyataan Surya Paloh ini berbanding terbalik dengan para pakar hukum. Dalam penerbitan Perppu KPK, pakar menilai Jokowi tak perlu takut soal isu pemakzulan.

Jokowi juga dinilai tidak usah ragu menerbitkan Perppu UU KPK. Sebab, Penerbitan Perppu disebutkan kewenangan istimewa Presiden yang juga tercantum dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945.

Sejumlah pakar justru mendorong Jokowi untuk berani saja mengeluarkan perppu untuk mencabut UU KPK baru. Mantan Ketua MK Mahfud MD misalnya secara gamblang menyatakan penerbitan perppu tidak mengandung risiko pemakzulan.

"Tidak ada konsekuensi pidana. Itu nakut-nakuti saja. Impeachment dari mana? Kalau perppu nggak bener ya ditolak DPR," kata ahli hukum tata negara Mahfud Md kepada wartawan, Senin (30/9).

Perppu diterbitkan bila ada kegentingan yang memaksa. Namun ukuran kegentingan yang mengharuskan presiden menerbitkan perppu selalu menjadi perdebatan. Misalnya, saat Presiden hendak menerbitkan perppu tentang hukuman kebiri, para pengkritik mengatakan tak ada kegentingan yang memaksa. Begitu juga saat Presiden hendak menerbitkan perppu tentang tax amnesty dan perppu tentang pilkada, para pengkritik mengatakan tak ada kegentingan. Toh perppu terbit juga.

"Tapi sesudah perppu keluar, juga nggak apa-apa," kata Mahfud.

Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, membeberkan tiga alasan Presiden Joko Widodo bisa terbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu atas Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Perppu dinilai diperlukan untuk mencabut UU KPK yang disepakati DPR dan pemerintah.

Menurut Bivitri, pada pertemuan beberapa ahli dengan Presiden Jokowi di Istana Negara beberapa waktu lalu, dia pertama kali mengklarifikasi pandangan beberapa pihak bahwa undang-undang yang berasal dari DPR tak bisa di-Perppu-kan.

Revisi UU KPK memang merupakan inisiatif RUU dari DPR. Meski RUU KPK tersebut jadi sorotan, karena tak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019.

"Jadi, kami perjelas kalau ada anggapan penerbitan Perppu adalah bentuk inkonstiusional. Pada Undang-undang Dasar pasal 22 Presiden berhak mengeluarkan Perppu," kata Bivitri.

Kedua, dia pun menjelaskan dalam pertemuan tersebut diperjelas putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010, dikatakan bahwa penerbitan Perppu merupakan hak subjektif Presiden.  Ada tiga parameter dalam putusan MA tersebut, yakni pertama, adanya kebutuhan mendesak. Kedua, UU itu belum ada atau UU ada, tetapi tidak memadai mengatasi keadaan, dan ketiga, adanya kekosongan hukum dan tidak bisa buat UU karena membutuhkan proses.

"Ketika pak Presiden lebih memahami mendalam dari tiga ini ada kegentingan memaksa. Kegentingan memaksa pemerintahan negara berbeda dengan kondisi darurat," ujarnya.

Presiden, kata Bivitri, memang ada masukan lain adanya judical review di Mahkamah Konstitusi. Namun, keputusan akhir dalam hal ini bukan di tangan Presiden, melainkan di tangan sembilan hakim konstitusi.

Selain itu, ia menilai proses judical review membutuhkan waktu dan tidak ada kepastian pengambilan keputusan cepat. Untuk itu, dia menyarankan, agar Presiden Jokowi menerbitkan Perppu UU KPK dibanding menunggu proses judical review.

"Kami mendorong Presiden keluarkan Perppu, dibanding mengajukan judical review," ujarnya. (vvn/det/wis)

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update