
JAKARTA (DutaJatim.com) - Urusan umat yang masih miskin, masih kurang pendidikannya, masih lemah iman, belum tuntas diurus, tapi kita selalu terlibat urusan agama lain. Hari-hari ini kita sibuk soal ucapan selamat Natal dan tahun baru 2020. Sibuk bahkan terkesan gegeran alias konflik. Islam pun lagi-lagi jadi dikesankan intoleransi dan sebagainya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat juga sibuk meluruskan polemik mengucapkan 'selamat Natal'. MUI dikabarkan mengeluarkan fatwa soal ini, padahal MUI Pusat tidak pernah melakukannya.
Waketum MUI, Zainut Tauhid Sa'adi, mengatakan, MUI Pusat belum pernah menerbitkan fatwa tentang hal itu.
"Bahwa ada perbedaan pandangan para ulama dalam menilai masalah ini, sebagian ulama ada yang melarang dan sebagiannya lagi membolehkan. MUI Pusat sendiri belum pernah mengeluarkan ketetapan fatwa tentang hukumnya memberikan tahniah atau ucapan 'selamat Natal' kepada umat kristiani yang merayakannya, " kata Zainut dalam keterangan tertulis, Senin (23/12/2019).
"Sehingga MUI mengembalikan masalah ini kepada umat Islam untuk mengikuti pendapat ulama yang sudah ada sesuai dengan keyakinannya," katanya.
Zainut menuturkan MUI menghormati pendapat ulama yang menyatakan mengucapkan 'selamat Natal' itu hukumnya haram atau dilarang oleh agama. Hal itu didasari argumentasi bahwa mengucapkan 'selamat Natal' adalah bagian dari keyakinan agamanya.
"Begitu juga sebaliknya, MUI menghormati pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengucapkan 'selamat Natal' itu hukumnya mubah atau boleh dan tidak dilarang oleh agama, karena didasarkan pada argumentasi bahwa hal itu bukan bagian dari keyakinan agama tetapi sebatas memberikan penghormatan atas dasar hubungan kekerabatan, bertetangga, dan relasi antarumat manusia," kata Wakil Menteri Agama ini.
MUI mengimbau seluruh masyarakat bijaksana dalam menyikapi perbedaan pendapat tersebut. Zainut berharap perihal mengucapkan 'selamat Natal' ini tidak menjadi polemik yang justru dapat mengganggu kerukunan dan harmoni hubungan intern ataupun antarumat beragama.
"MUI berpesan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk terus menjaga dan memelihara kerukunan dan persaudaraan (ukhuwah) di antara sesama anak bangsa. Baik persaudaraan keislaman (ukhuwah islamiyah), persaudaraan atas dasar kemanusiaan (ukhuwah basyariyah), ataupun persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyyah). Demi terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis, rukun, dan damai," katanya.
Maka, bila Anda warga Nahdlatul Ulama (NU), silakan ikuti ulama NU. Bila Anda non-NU jangan pula mengecam warga NU yang mengikuti ulama NU.
Ketua Harian PBNU Robikin Emhas mengatakan, masalah itu kembali pada niat mengucapkannya. Robikin awalnya bicara soal prinsip toleransi. Ia mengatakan hal-hal yang menyangkut akidah tidak boleh dipertukarkan dalam bertoleransi.
"Prinsip umum yang tidak boleh dilangkahi dalam menerapkan prinsip toleransi saya kira jelas. Lakum diinukum wa liya diin. Bagi kalian agama kalian, bagi kami agama kami. Kalau sudah menyangkut akidah tidak boleh kita pertukarkan," kata Robikin kepada wartawan, Minggu (22/12/2019).
Menurut Robikin, dimensi toleransi adalah persaudaraan kemanusiaan. Ia mengatakan umat muslim cukup menghargai apa yang umat agama lain lakukan dan tidak perlu membuat keributan.
"Jadi, toleransi itu dimensinya ukhuwah basyariyah, persaudaraan kemanusiaan. Bukan ranah teologis. Kita cukup dengan menghargai apa yang umat agama lain lakukan dengan membiarkannya dan tidak berbuat keributan. Biarkanlah mereka lakukan apa yang mereka yakini, sedang kita fokus pada apa yang kita yakini. Itu intinya," katanya.
Lalu bagaimana soal ucapan Natal? Robikin mengatakan ulama-ulama memiliki beberapa pendapat, ada yang melarang dan ada yang membolehkan. Robikin pun menyatakan dirinya setuju dengan pendapat ulama Mesir, Yusuf al-Qaradawi, yang menyebut boleh atau tidaknya mengucapkan Natal dikembalikan ke niatnya.
"Pendapat Beliau (Yusuf al-Qaradawi), boleh atau tidaknya ucapan Selamat Natal dari Muslim kepada Nasrani itu dikembalikan kepada niatnya. Kalau berniat hanya untuk menghormati atau berempati kepada teman yang Nasrani, maka tidak masalah. Indonesia kita ini kan negara majemuk. Apalagi ucapan Natal itu dimaksudkan sebagai ungkapan kegembiraan atas kelahiran Nabi Isa AS sebagai Rasul," tutur Robikin.
Lebih lanjut, menurut Robikin, momentum Natal bisa menjadi ajang mempererat tali persaudaraan kebangsaan. Namun, hal itu disebutnya tidak terbatas hanya pada ucapan Selamat Natal.
"Saya lebih setuju dan mengimbau kepada kita semua, jauh lebih bernilai sebenarnya apabila ada kemauan bersama di antara para pemeluk agama yang berbeda untuk membuka ruang dialog antar-umat. Ruang-ruang dialogis seperti ini saya kira penting untuk terus menguatkan tali persatuan kita. Meskipun berbeda keyakinan, bukankah kita tetap bersaudara dalam kemanusiaan?" katanya.(wis/det)
Foto ilustrasi:
No comments:
Post a Comment