Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Lima Anggota Anarko Ditangkap, Siapa Mereka?

Saturday, April 11, 2020 | 22:44 WIB Last Updated 2020-04-11T15:44:29Z


JAKARTA (DutaJatim.com) - Aparat Polda Metro Jaya menangkap lima orang yang melakukan aksi vandalisme di tengah pandemi Corona. Mereka menuliskan ajakan-ajakan bernada provokatif akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah.

Kelima tersangka adalah  MRR alias Bunga (21), AAM alias Aflah (18), RIAP alias Rio (18), RJ alias Riski (19), dan MRH. Mereka dijerat pasal berlapis seperti di Pasal 14 dan Pasal 15 UU RI Nomor 1 tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 160 KUHP dengan ancaman 10 tahun penjara.



Kapolda Metro Jaya, Irjen Nana Sudjana mengatakan, kelompok ini bernama Anarko. Mereka sempat merencanakan aksi penjarahan dan pembakaran sejumlah kota besar di Pulau Jawa, pada 18 April 2020. 

Irjen Nana bersyukur aksi tersebut bisa terungkap dan jajarannya menangkap beberapa orang anggota kelompok tersebut.


“Mereka juga akan merencanakan aksi dari kelompok ini, yaitu mereka merencanakan bahwa pada 18 April 2020, mereka akan melakukan aksi vandalisme secara bersama-sama, di beberapa kota besar di Pulau Jawa,” kata Irjen Nana, dalam konferensi pers secara daring, Sabtu (11/4/2020).

Dia mengatakan, tujuan kelompok ini adalah memanfaatkan situasi di tengah pandemi virus corona (Covid-19), untuk menciptakan kerusuhan di tengah masyarakat.

“Situasi ini dimanfaatkan mereka untuk mengajak masyarakat untuk membakar, kemudian juga menjarah. Tentunya sangat membahayakan dan ya kita nanti malam ini mensyukuri bahwa kelompok ini bisa diungkap,” kata Nana.


Muncul di Hari Buruh


Lalu siapa kelompok anarko ini?  Nama Anarko muncul ketika Kapolri Jenderal saat itu Tito Karnavian mengatakan, bahwa kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah saat aksi Hari Buruh 2019 dipicu oleh kelompok Anarcho-Syndicalist.


"Aksi May Day seluruh Indonesia relatif aman, tapi ada satu kelompok yang namanya (berideologi) Anarcho-Syndicalism," ujar Tito di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (2/5/2019).

Tito menambahkan, kelompok itu identik dengan aksi vandalisme bersimbol huruf A. Kelompok itu bukan fenomena lokal tetapi fenomena internasional seperti yang berkembang di Rusia, Eropa, Amerika Selatan serta Asia.

"Ada semacam doktrin di luar negeri, sudah lama, mengenai masalah pekerja. Di antaranya pekerja itu jangan diatur, lepas dari aturan-aturan, mereka menentukan sendiri. Maka disebut Anarcho-Syndicalism," ucap Tito.


Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang sekarang menjabat Mendagri ini menilai, soal anarkis-sindikalis baru berkembang beberapa tahun terakhir di Indonesia. Tahun lalu, lanjut dia, kelompok itu muncul di Yogyakarta dan Bandung.

"Sekarang juga ada di Surabaya dan Jakarta, sayangnya mereka melakukan aksi kekerasan, vandalisme, coret-coret (membuat) simbol A, merusak pagar," sambung Tito kala itu.

Namun munculnya Anarko yang tibatiba versi polisi itu memicu prokontra.

Dosen Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta AB. Widyanta mengatakan Gerakan Anarko Sindikalis mendapat stigma atau cap mirip Komunisme.

Polisi, kata dia, mereproduksi gerakan itu seperti yang terjadi pada peristiwa 1965. Fobia terhadap gerakan Anarko Sindikalis itu menurutnya seperti menciptakan hantu baru (musuh) yang tidak perlu.

Seperti dikutip dari tempo.co, Widyanta menjelaskan Anarko Sindikalis merupakan cabang dari aliran pemikiran anarkisme yang mengkritik ketimpangan kelas. "Gerakannya nir-kekerasan, membela serikat buruh, persamaan, dan memperjuangkan keadilan sosial. Mereka mengusung pemenuhan hak buruh, hak hidup yang layak," kata dia.


Menurut Widyanta, gerakan itu melawan fundamentalisme pasar atau kapitalisme yang sangat masif di Indonesia. "Idenya sama dengan yang diusung Marxisme," ujar dia.


Dosen yang mengajar teori-teori sosiologi dan sosiologi lingkungan ini menyebutkan kerap berdiskusi dengan aktivis Anarko. Spirit perjuangan mereka adalah memperjuangkan buruh dan melawan kapitalisme global yang mendera berbagai lini kehidupan. “Gerakan pembebasan buruh menjadi ruh mereka,” kata dia.

Anggota gerakan Anarko Sindikalis, kata Widyanta, punya militansi melawan kapitalisme, misalnya industri yang merusak lingkungan hidup dan pelanggar Hak Asasi Manusia. Kebanyakan dari mereka terjun langsung dan punya pengalaman menghadapi konflik agraria atau penyerobotan tanah atas nama infrastruktur.

"Gerakan mereka mengajak orang berpikir tentang persoalan-persoalan sosial, misalnya pembangunan atas nama infrasturktur dan turisme," kata dia.

AB. Widyanta menyebutkan pasca-reformasi gerakan ini makin membesar seiring dengan semakin berkembangnya serikat buruh di Indonesia. Gerakan ini, kata dia seharusnya diberi ruang dan tidak disingkirkan.


Mirip Intifada Palestina


Tempo juga mengamati bagaimana gerakan Anarko Sindikalis menjalankan aksinya di Yogyakarta. Seorang aktivis yang mengenal seluk beluk Anarkisme menyebutkan Anarko Sindikalis mirip dengan aksi intifada di Palestina, yang menggunakan cadar dan juga mencorat coret tempat umum. 



Gerakan mereka serupa dengan aksi mencoreti jalanan pra kemerdekaan Republik Indonesia. “Gerakan ini punya dasar yang sama dengan Marxisme, yakni menentang kapitalisme,” kata aktivis yang meminta namanya dirahasiakan itu.

Menurut dia, Anarko Sindikalis selama ini dianggap sebagai musuh negara karena memang anarkisme sangat mudah dipahami sebagai sebuah ideologi.

"Bila dibandingkan dengan ideologi lainnya semacam Komunisme, maka anarko sindikalis lebih mudah dipahami dan mudah diterima," ujar dia.

Anarko Sindikalis, kata dia, tidak selalu mencorat-coret tempat umum dalam setiap gerakannya. Cara mereka melawan kapitalisme bergantung pada target dan tujuannya.


"Anarko biasanya punya target umum, yakni mengganggu fasilitas-fasilitas perusahaan kapitalis yang bermasalah dengan pemenuhan hak-hak buruh," kata dia. 


Ihwal perusakan fasilitas umum, kata dia masih menjadi perdebatan hebat di kalangan varian anarkis. Yang setuju dengan perusakan fasilitas umum punya argumentasi bahwa fasilitas yang dirusak itu belum tentu fasilitas umum, melainkan fasilitas milik kontraktor.

Fasilitas itu mengatasnamakan kepentingan umum, misalnya taman-taman kota yang hanya bisa diakses kalangan tertentu atau kalangan pemilik modal (borjuis). “Aksi-aksi itu jadi tradisi, termasuk pakaian hitam sebagai simbol saja,” kata dia.

Menurut aktivis ini, selama ini Anarko mendapatkan cap negatif karena ada upaya mendistorsi makna. Negara menggiring opini bahwa anarko merusak dan opini itu disebarkan melalui media massa. 


“Tujuan anarko sindikalis memang melenyapkan negara sehingga negara manapun pasti berupaya sekuat mungkin untuk membendung ide-ide mereka yang semakin membesar,” kata dia.




Seorang aktivis lainnya menyebutkan gerakan Anarko Sindikalis di Yogyakarta terhubung dengan Bandung. Gerakan Anarko Sindikalis tidak punya struktur organisasi dan pimpinan. Mereka bergerak secara kolektif atas kesadaran bersama untuk melawan kapitalisme.

Ia mengatakan, anak-anak muda tertarik bergabung dengan anarko sindikalis karena idenya tidak mau terikat dengan organisasi yang kaku. Secara kolektif gerakan ini mampu menyatukan anggotanya. 

“Cita-cita mereka masyarakat tanpa kelas dan struktur (birokrasi),” kata dia.

Di Yogyakarta gerakan Anarko Sindikalis masuk dalam aksi unjuk rasa menolak pembangunan Bandar Udara New Yogyakarta International Airport atau NYIA di simpang Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1 Mei 2018. Mereka memblokade lalu lintas Jalan Solo-Yogyakarta, membakar pos polisi yang berada di persimpangan.

Sejumlah orang bertopeng dan berpakaian hitam waktu itu membakar pos polisi. Mahasiswa yang mengikuti aksi itu menyebut semula aksi dirancang sebagai aksi damai tanpa merusak. Agenda yang diusung adalah menolak upah murah terhaadap buruh. Dalam persiapan rapat teknis, massa aksi itu hanya sepakat memblokade jalan. (okz/tmp)

Foto: Salah satu ciri anarko suka corat-coret dengan simbol A. (tempo.co)



No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update