Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Cangkrukan Suroboyo: New Normal atau Abnormal, Bro!

Thursday, June 4, 2020 | 13:29 WIB Last Updated 2020-06-04T06:29:12Z


SEORANG teman tersinggung saat diingatkan soal era new normal pasca-PSBB (pembatasan sosial berskala besar). Dia tidak suka ketika diajak masuk ke era yang baginya sangat absurd itu.

"Itu eufemisme," kata Kaji Dolah--si teman itu.

"Maksudmu?" Aku penasaran.

"Menghaluskan kata saja. Pelakunya adalah orang yang tidak suka kasar. Padahal, sejatinya, kita hidup di dalam kondisi yang kasar itu. Pelaku eufemisme takut kekasaran itu akan memukul dirinya. Bisa secara politik, bisa dengan alasan lain. New normal itu sejatinya ya abnormal. Gak normal. Mengapa ndak pakai istilah gak normal saja. Mengapa harus new normal. Yang membuat kebijakan new normal itu otomatis abnormal," kata Kaji Dolah, sengak, saat memberi alasan mengapa dia keberatan dengan istilah new normal.

Dolah melanjutkan, new normal itu menyesatkan. Mengapa? Setidaknya ada dua alasan. Pertama, maksud kata itu jelas untuk situasi yang sangat tidak normal. Betapa tidak, sekarang semua orang wajib pakai masker. Bila tidak, maka diusir. Digunjingkan. Dirasani. Dianggap tidak normal.

Padahal, dulu orang pakai cadar (atau jilbab)--- yang bentuknya tak jauh beda dengan masker--dianggap tidak normal. Aneh. Sekarang orang bercadar malah tidak aneh. Mereka sudah tidak perlu bersusah payah lagi membeli masker, membiasakan bermasker, atau mengalami era sumpek bermasker.

"Aku dulu punya teman pakai cadar, dia merasa dianggap orang aneh. Bahkan, ada yang membully," kata Dolah.

"Emang kamu pernah pacaran sama orang bercadar?" kataku, pura-pura kurang percaya ceritanya itu.

"Bukan pacar, sebab mereka tidak mengenal pacaran. Dia teman," jawabnya.

"Tapi dekat, TTM..." celetukku. Dolah mengangguk ragu.

"Terus, yang kedua apa?" Aku mengingatkan.

New normal, kata Dolah, hanya istilah bikinan penguasa. Rezim. Penguasa yang suka memproduksi istilah, kata dia, biasanya dia hanya berkelit dari ketidakmampuannya dalam mengelola kekuasaannya. Semangkin tidak mampu, semangkin banyak memproduksi istilah berbau eufimisme tadi. New normal hanya salah satunya saja.

"Masak definisinya mereka yang bikin. Padahal, kan wis onok kabeh. Orang disuruh hidup bersih dan sehat, emangnya kita dulu manusia jorok. Islam itu menjunjung tinggi kebersihan dan kesehatan. Bahkan itu bagian dari iman. Orang mengaku Islam tapi tidak menerapkan hidup bersih dan sehat, tentu, imannya kurang. Tidak lengkap. Koen gelem diarani wong gak bersihan? Nek aku yo emoh bro!" Lagi-lagi Dolah sengak.

"Lalu kamu sebut apa situasi sekarang ini?" kataku.

"Ya, abnormal!" sergah Dolah.

"Mengapa?"

"Sebab, memang kita abnormal. Yang lebih penting lagi, dengan penegasan abnormal, masyarakat akan tahu pasti bahwa kondisi sekarang, yang dibikin si Corona copat-capit 19 iku, ya memang abnormal. Penegasan ini penting sebagai warning. Sama dengan wabah korupsi, kondisinya sudah  extraordinary. Jangan pakai eufimisme lagi. Kalau korupsi masih saja dipakai eufimisme,  ya jadinya seperti sekarang. Gak sembuh-sembuh. Begitu juga dengan corona ini. Sudah extraordinary juga," kata Dolah.

"Tapi kan gak enak kalau kita mengajak orang memasuki era gak normal hahaha...!?"

Dolah diam sejenak. "Iya juga sih...!?" katanya sedikit bergumam.

"Kalau presiden atau gubernur pidato,'mari kita sambut era gak normal....' kan gak gagah, bro!"

"Itu juga masalah bagi kita semua. Kita ingin gagah atau ingin sembuh?"

"Ya, kalau bisa sembuh dengan gagah?"

"Kalau gagah itu harapan politisi sebab dia butuh pencitraan. Kalau rakyat, butuhnya hanya satu: sembuh! Indonesia sembuh!"   

"Lalu kapan kita akan sembuh?"

"Lo, yo gak mungkin, angel tenan iku..."

"Kenek opo bro?"

"Ya, karena kita sudah (new) normal! Lihat saja perilaku wong Suroboyo iku, kan hidupnya sudah seperti normal," kata Dolah.

Saat ini Surabaya--juga Sidoarjo dan Gresik--sudah bersiap memasuki new normal. PSBB mulai dibikin longgar sedikit demi sedikit. Nah, selanjutnya apa yang terjadi. Surabaya menjadi zona merah plus alias zona hitam.

Longgarnya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Surabaya menjadi salah satu alasan di balik tingkat penyebaran yang membawa ibu kota pronvinsi Jawa Timur itu ke dalam "zona hitam". Itu menurut pakar kesehatan dan tenaga medis lo!

Jawa Timur adalah provinsi dengan jumlah kasus kumulatif kedua tertinggi virus corona di Indonesia, setelah DKI Jakarta, sejak wilayah itu mengalami lonjakan yang tajam pada akhir bulan Mei 2020 lalu. Bahkan, Jatim tertinggi dalam penambahan kasus baru akhir-akhir ini.

Surabaya pertama mulai menerapkan PSBB pada 28 April dan kemudian diperpanjang sebanyak dua kali. PSBB fase ketiga akan berakhir pada 8 Juni mendatang.

Benar kata ahli epidemiologi dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo. Dia menilai PSBB sejak awal tidak berjalan sesuai harapan dan hingga kini kondisi Surabaya belum bisa dikategorikan aman. Penyebabnya perilaku masyarakat karena pemerintah tidak melakukan kontrol ketat. Tidak ada sweeping di jalanan di Surabaya, hanya di checkpoint-checkpoint di batas kota saja.

"Katanya dulu ada jam malam, tapi, masih seperti biasa, setelah jam 9 ya tetap ramai. Ya wis-lah, sekarang ini seperti tidak ada PSBB," kata Dolah.

"Tapi, omong-omong PSBB iku kan pendidikan sejarah berjuangnya bangsa. Mata pelajaran kita waktu SD itu," kataku agak ngawur bin ngelantur.

"Ya, ini kan sejarah bangsa kita. Sejarah pergerakan melawan Corona," kata Dolah enteng. (gatot susanto) 


×
Berita Terbaru Update