JAKARTA (DutaJatim.com) — Musyawarah Nasional (Munas) ke-10 Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 25-27 November akan menerapkan protokol kesehatan secara ketat selama perhelatan.
Menurut Wakil Sekretaris Pelaksana, KH Rofiqul Umam Ahmad, hajatan 5 tahun itu berbeda dengan Munas MUI pada tahun sebelumnya, mengingat munas tahun ini harus tetap diselenggarakan di tengah pandemi.
Munas akan diselenggarakan dalam dua bentuk yakni secara virtual dan tatap muka. Peserta tatap muka akan hadir di Hotel Sultan Jakarta dengan jumlah terbatas dan juga dilakukan secara virtual (online) dengan para peserta berada di rumah/kantornya masing-masing di berbagai daerah.
“Untuk Munas MUI kita menetapkan protokol kesehatan secara ketat sesuai peraturan dan ajakan serta imbauan pemerintah dan berbagai pihak yang terkait dengan Covid-19,” katanya di Jakarta, Sabtu 21 November 2020.
Dia menjelaskan untuk mengantisipasi adanya klaster baru penularan Covid-19 maka setiap peserta diwajibkan untuk mengikuti tes dan menjaga protokol kesehatan selama berlangsungnya acara.
“Oleh karena itu peserta Munas MUI harus mengikuti test swab PCR dan mereka yang hasil tesnya negatif yang dapat menghadiri Munas secara tatap muka di Hotel Sultan,” imbuhnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan pelaksanaan Munas akan dibagi ke dalam empat komisi. Masing-masing komisi akan membahas materi dan menghasilkan keputusan yaitu sebagai berikut:
1. Komisi A atau PD PRT dengan materi yaitu;
- Penyempurnaan PD dan PRT MUI.
- Penyempurnaan Wawasan MUI.
- Tata Cara Pemilihan Ketua Umum dan Pembentukan DP MUI.
2. Komisi B Garis-Garis Besar Program: Garis-Garis Besar Program MUI Periode 2020-2025.
3. Komisi C Fatwa: Fatwa-fatwa MUI.
4. Komisi D Rekomendasi:
- Rekomendasi
- Taujihat Jakarta
Tokoh yang Layak Pimpin MUI
Salah satu kandidat Ketua Umum MUI adalah KH Miftakhul Akhyar.
Rais Aam PBNU tersebut dinilai sangat layak dan mumpuni untuk memimpin MUI kedepannya dengan menggantikan KH Ma’ruf Amin.
“Menurut pandangan dari beberapa tokoh umat Islam di Indonesia, salah satu tokoh yang layak dan mumpuni memimpin MUI adalah KH Miftachul Akhyar,” ujar Sekretaris PW LTNU Jatim, Ahmad Karomi dalam keterangan tertulisnya.
Dia mengatakan, KH Miftachul Akhyar adalah sosok yang tepat untuk memimpin MUI karena telah memiliki beberapa kriteria. Di antaranya, merupakan tokoh ulama yang sangat disegani, memiliki keahlian yang tinggi di bidang fikih, mudah bergaul dengan semua kalangan, dan peka terhadap problematika keumatan.
“Rekam jejak KH Miftachul Akhyar sebagai Rais Aam PBNU adalah sosok yang mampu menjaga kondusifitas dinamika masyarakat agar tidak sampai keliru memahami fatwa dan memanfaatkannya hanya untuk golongan tertentu saja,” ucap Karomi.
Menurut Karomi, setidaknya ada dua kapasitas yang diperlukan untuk menjadi Ketua Umum MUI, yakni kapasitas keulamaan dan kapasitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Hal ini sudah dimiliki oleh KH Miftchul Akhyar, sehingga dengan kapasitas kepemimpinan tersebut MUI dapat memberi kesejukan baik untuk pemerintah, masyarakat dan umat Islam,” katanya.
KH Miftachul Akhyar tentu saja bukan nama baru di kalangan NU. Ulama berusia 67 tahun tersebut lahir dari tradisi NU dan melakukan pengabdian di NU sejak usia muda. Tak heran jika hari ini ia bisa mengemban puncak kepemimpinan NU, sebagai Rais Aam PBNU.
Kiai Miftah adalah Pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya. Ia adalah putra Pengasuh Pondok Pesantren Tahsinul Akhlaq Rangkah, KH Abdul Ghoni. Lahir pada 1953, Kiai Miftah merupakan anak kesembilan dari 13 bersaudara.
Di NU Kiai Miftah sebelumnya juga pernah dipercaya sebagai Rais Syuriyah PCNU Surabaya 2000-2005, Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur 2007-2013, 2013-2018 dan Wakil Rais Aam PBNU 2015-2020 yang selanjutnya didaulat sebagai Rais Aam PBNU 2018-2020 di Gedung PBNU.
Menurut catatan PW LTNNU Jatim Ahmad Karomi, genealogi keilmuan Kiai Miftah juga tidak diragukan lagi. Ia tercatat pernah nyantri di Pondok Pesantren Tambak Beras, Pondok Pesantren Sidogiri Jawa Timur, Pondok Pesantren Lasem Jawa Tengah, dan mengikuti Majelis Ta’lim Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Makki Al- Maliki di Malang, tepatnya ketika Sayyid Muhammad masih mengajar di Indonesia.
“Kalau memang beliau dipandang oleh seluruh peserta Munas dari berbagai daerah di Indonesia mumpuni dan memiliki kapasaitas, dari sisi keulamaan, pengalaman wawasan berbangsa dan bernegara baik, maka Insya Allah inilah yang terbaik,” ucap Karomi.
(hud)
No comments:
Post a Comment