Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kisah Mahasiswa S3 RI di India Dicekam Kengerian Gelombang 2 Covid-19: Hindari Jenuh dan Stres Berlibur ke Rooftop

Thursday, May 27, 2021 | 06:38 WIB Last Updated 2021-05-26T23:49:40Z
 Mohd Agoes Aufiya bersama istri dan dua putrinya di kawasan Istana Presiden India, Rastrapati Bhawan.

Gelombang kedua pandemi Covid-19 di India belum berakhir. Meski mulai melandai, tapi lockdown untuk mencegah penyebaran Covid-19 diperpanjang hingga 31 Mei 2021. Bahkan, negeri ini tengah bersiap menghadapi gelombang ketiga Covid-19. Seperti apa kondisi India sekarang? Mohd. Agoes Aufiya, mahasiswa strata 3 Jurusan Hubungan Internasional di Jawaharlal Nehru University (JNU), New Delhi, merasakan aura kengerian akibat amuk Corona di negeri itu, seperti dituturkan kepada wartawan DutaJatim.com dan Global News, Gatot Susanto. 


Oleh Gatot Susanto


MOHD. AGOES AUFIYA, yang asal Kota Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, masih merasakan hawa kengerian akibat pandemi Covid-19 di India. Saat ini Agoes bersama istri, Desy Ernawati,  dan dua putrinya, Khanna Adibah serta Naina Hadiyatunnisa,  tinggal di rumah kost yang lokasinya di depan kampus Jawaharlal Nehru University, New Delhi. Sebelumnya dia sempat tinggal di dalam kampus JNU, tepatnya di Sabarmati Hostel.


Meski tidak seperti lockdown tahun 2020 lalu, hidup Agoes dan keluarganya tak ubahnya terjebak di daerah yang sempat bak kota mati. Apalagi saat puncak pandemi gelombang kedua sekitar pekan pertama bulan Mei 2021, rumah sakit penuh dengan pasien Corona. Bahkan, banyak yang tidak tertangani. Selain itu banyak pula yang meninggal sebelum sampai rumah sakit. 


Bukan hanya itu, tempat kremasi untuk pembakaran mayat juga penuh. Antrean seperti mengular. Supaya tidak sampai membusuk, petugas sampai harus membakar mayat korban Covid-19 di jalan. Ya, di lokasi antrean menuju tempat kremasi tersebut. Pemerintah India benar-benar kewalahan menghadapi amuk Covid-19 gelombang kedua ini.


"Jadi, kalau ada berita atau video suasana India yang mengerikan, memang seperti itu keadaannya di sini. Tapi ada juga video hoax, yakni yang gambarnya orang tiba-tiba meninggal di jalan, berdiri tiba-tiba jatuh pingsan, itu video sengaja disebar saat pandemi gelombang kedua padahal bukan, itu video kebocoran gas tahun 2020 yang tidak ada hubungannya dengan Covid-19. Orang-orang yang pingsan dalam video itu kehabisan oksigen. Tapi video atau berita lain, bukan hoax," kata Mohd. Agoes Aufiya kepada DutaJatim.com dan Global News Rabu 26 Mei 2021. 


Saat puncak pandemi itu, kata Agoes, data korban yang terinfeksi sangat tinggi. Mencapai 300 ribu-400 ribu kasus di seluruh India per hari. Karena itu, rumah sakit dan pusat kremasi penuh. Pemerintah harus membuka tempat kremasi baru secara outdoor agar tidak terjadi antrean panjang.


"Aura rasa ketakutan memang ada, khususnya di dekat tempat tinggal saya, di New Delhi. Lebih-lebih saat muncul varian baru, B1617. Saya sendiri tentunya mengikuti aturan lockdown yang ditetapkan pemerintah di mana kita tidak bisa pergi ke mana-mana, tidak bisa naik motor, jalan-jalan, sekadar melepas kebosanan, keluar daerah tempat tinggal kita. Paling jauh keluar sekitar kos-kosan dengan alasan kepentingan harus jelas. Ya, seperti, orang normal, membeli sembako atau sayur. Saya sendiri kos di depan kampus bersama keluarga. Jadi jalan kaki hanya 100-400 meter paling jauh untuk cari keperluan dasar, selebihnya di rumah saja," kata pria yang memilih kuliah di India setelah melihat film "Three Idiots" karya sutradara Rajkumar Hirani yang dibintangi aktor papan atas Bollywood  Aamir Khan dan Kareena Kapoor ini. 


Agoes dan keluarganya sudah merasakan kengerian itu sejak lockdown pertama 25 Maret 2020 lalu. Sempat dibuka karena pandemi melandai dan bahkan hampir normal, tapi sejak 20 April 2021 sampai sekarang kembali lockdown terkait gelombang kedua pandemi  Covid-19. Situasinya sangat mencekam, meski masyarakat lebih siap menghadapinya mengingat sudah terbiasa dengan Covid-19.


"Hampir sebulan. Tidak pernah keluar jauh, hanya sekitar rumah saja. Bersama istri dan dua putri saya. Satu putri saya umur 5 tahun dan yang kedua hampir tiga tahun. Memang jenuh. Tapi alhamdulillah, mereka bisa mengikuti ritme yang ada. Kami sudah lebih siap menghadapi situasi ini sebab sudah pengalaman tahun lalu. Saat pertama dulu, sangat berat menghadapi tantangan pandemi ini sebab baru pertama, sekarang lebih mudah mengingat sudah pengalaman yang dulu," katanya. 


Meski demikian, terkurung dalam kota selama satu bulan jelas sangat jenuh. Anak-anaknya kadang mengajak jalan-jalan, berolahraga di taman, atau makan di restoran, tapi semua tidak bisa dilakukan sebab bahaya mengintai di sana. Karena itu Agoes dan istrinya harus pintar membuat acara keluarga yang bisa menghibur anak-anaknya agar tidak jenuh. Sebab jenuh, yang bisa memicu stres, justru harus dihindari agar tidak gampang terpapar  Covid-19.


"Harus pinter-pinter di rumah. Belajar ini itu. Bermain ini itu, seperti main kartun, masak-masakan, sebab anak putri suka masak-masak. Nah, kalau sore naik ke rooftop,  lantai paling atas dari bangunan rumah kos kita. Lantai 5 berupa ruang terbuka. Saya ada di lantai tiga. Jadi naik ke rooftop untuk bisa melihat pemandangan kota. Kami berliburnya ke lantai atas, menghirup udara segar, melihat pemandangan kota," katanya.


Berutung tidak semua penghuni kos-kosan ingin "berlibur" ke lantai atas, sebab mereka ada yang pulang kampung. "Kita jarang bertemu orang lain saat naik ke lantai atas sehingga leluasa untuk bersantai menikmati udara segar sambil melihat pemandangan jauh ke kawasan kota New Delhi," katanya.


Varian Ketiga


Rasa khawatir juga dirasakan orang tua dan teman-teman Agoes di Martapura Kalimantan Selatan. Mereka selalu menanyakan kondisinya di India. Namun Agoes bisa meyakinkan dengan menerapkan protokol kesehatan.


"Orang tua saya dan teman-teman khawatir juga, tapi alhamdulillah kita ihtiarnya dengan protokol kesehatan. Ya, di rumah saja, kalau keluar rumah pakai masker, bahkan maskernya dobel. Lalu, pulang cuci tangan, ganti baju lalu dicuci. Sayur dan buah-buahan juga kita cuci, makan makanan sehat, istirahat cukup, itu yang membuat kita bisa bertahan," katanya.


Agoes yang juga mengajar di Universitas Muhammadiyah Malang ini membenarkan bahwa pemicu utama gelombang kedua kali ini karena kerumunan massal yang dilakukan warga. Seperti Lebaran Idul Fitri di tanah air yang ditandai tradisi mudik dengan tradisi perayaan di hari kemenangan, warga India yang berjumlah sekitar 1,3 miliar dan sebagian besar beragama Hindu, seperti tumplek blek di lokasi acara keagamaan. Kerumuman massal itu menjadi faktor penyebaran Corona sekaligus lahirnya varian baru Covid-19 yang semakin sulit ditaklukkan.


"India dengan populasi 1,3 miliar, bandingkan dengan Indonesia yang sekitar 270 juta, lima kali lipat, otomatis, mau di pasar, di bank, apalagi di acara keagamaan, di mana warga India sangat kuat budaya dan beragamanya, bila berkumpul jumlahnya sangat besar, sehingga tak terhindarkan terjadinya penyebaran Corona. WHO sendiri juga menyatakan salah satu faktor penyebaran masif Covid-19 di India di gelombang kedua karena kegiatan keagamaan dan acara-cara politik seperti kampanye. Saya lihat juga termasuk pula acara pernikahan," ujarnya. 


Di samping itu juga ditemukannya varian baru yang penyebarannya lebih cepat dan bisa menghindari antibodi manusia sehingga lebih sulit ditangani. Hal ini bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam menghadapi Covid-19 yang belum juga mereda.   


"Varian baru itu,  B1617, mutasi ganda, berkembang sendiri di India. Tak terhindarkan melihat situasi yang saya sebutkan tadi. Padahal sebelum gelombang kedua kita hampir normal. Mulai bisa keluar, hanya bedanya pakai masker dan dijaga polisi. Tapi karena ada pernikahan, acara keagamaan dan politik tadi, mutasi itu pun otomatis terjadi. Mutasi  ganda. Bahkan sekarang triple mutan B1618  yang baru muncul, tapi saya lihat hampir bersamaan dengan B1617. Hanya yang dobel mutan lebih cepat menyebar, sehingga B1618 disebut mutasi generasi ketiga," katanya.


Produsen  Vaksin


Lalu bagaimana Pemerintah menanganinya? Pada 20 April 2021 ketika kasusnya tiba-tiba naik tajam, Pemerintah langsung melakukan lockdown di tingkat negara bagian. Bukan secara nasional. 


"Sebab episentrumnya selain New Delhi juga di Maharastra, ibaratnya yang lockdown ini kalau di Indonesia itu Jakartanya. Benar-benar lockdown. Tapi lockdown negara bagian ini beda dengan 2020 dulu yang sangat ketat. Sekarang penerbangan domestik boleh, bus antar negara bagian boleh, beruntungnya dengan lockdown ini benar-benar berhasil mengurangi angka penyebaran Covid-19 sebab secara perlahan sekarang mulai melandai. Sebab sekarang negara bagian -negara bagian lain juga banyak yang melakukan lockdown, sehingga mengurangi secara signifikan penyebaran Covid-19," jelas Agoes.


Pemerintah India kelabakan saat menghadapi gelombang kedua. Apalagi di New Delhi. Mereka tidak siap. "Kasus meningkat  fasilitas kesehatan tidak  memadai. Obat, ICU bed, tempat kremasi tak cukup, vaksin tersendat diberikan, ini pembelajaran yang sangat luar biasa untuk menghadapi gelombang ketiga Covid-19. Gelombang ketiga diperkirakan sekitar 6-11 bulan kedepan. Gelombang dua diperkirakan selesai sampai bulan Juli di mana 200 ribuan angka harian sekarang," katanya.


Maka, Pemerintah pun sudah siap-siap ICU bed, oksigen, obat-obatan, memperbanyak vaksinasi. Saat ini vaksinasi fokus kepada anak muda dan menjelang gelombang ketiga vaksinasi untuk anak-anak. Sekarang vaksinasi sudah diberikan hampir 200 juta dosis untuk warga India. "Sekitar per hari 1-2 juta. Ini karena India sendiri produsen vaksin terbesar dan termurah di dunia," katanya.


Yang patut dipelajari dari India adalah pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan riset terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih canggih. Selain dilakukan swasta, harus pula mendapat dukungan pemerintah. Terkait masalah farmasi, misalnya produksi vaksin, India jauh lebih maju dari Indonesia.


Bahkan India bisa memproduksi jauh lebih murah dari Amerika Serikat. Misalnya, bila AS memproduksi obat harga Rp 50 juta, India bisa Rp 1 juta, Rp 2 juta, atau Rp 5 juta. Bahkan AS sempat protes mengapa India bisa memproduksi obat dengan kasiat setara tapi harga lebih murah. 


Hal ini, kata dia, karena kemampuan daya beli masyarakat India ya segitu, sehingga industri farmasi tidak bermain di harga.  Lihat juga sumber daya manusia India lebih mumpuni. Lalu ada pemodal  swasta.  Misalnya vaksin produksi Serum Institute of India (SII) bekerjasama dengan Astra Zeneca. Bahkan sempat akan ekspor ke Brasil, Inggris, Maroko, dan Arab Saudi.  Lalu,   ada juga industri farmasi membuat vaksin tapi sedikit didukung pemerintah. 


"Yang jelas mempertimbangkan kondisi pasar, juga sangat menentukan. India membuat vaksin Covax sehingga tidak tergantung negara lain. Jangan harap India akan membeli vaksin dari China sebab dua negara ini berseberangan secara geopolitik," kata Agoes yang juga seorang youtuber ini. (*)


No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update