Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Sri Mulyani Luruskan Geger Pajak Sembako , Bagaimana Pajak Pendidikan dan Kesehatan?

Thursday, June 17, 2021 | 14:03 WIB Last Updated 2021-06-17T07:03:05Z

SURABAYA | DutaIndonesia.com - Menkeu Sri Mulyani Indrawati meluruskan geger pajak sembako. Menkeu memastikan bahwa kebijakan pajak sembako tidak akan menyusahkan masyarakat miskin. Sebab, pengenaan PPN tidak akan berlaku untuk produk yang dijual di pasar tradisional.


"Saya jelaskan pemerintah tidak mengenakan pajak sembako yang dijual di pasar tradisional yang menjadi kebutuhan masyarakat umum," ujarnya kepada pedagang saat berkunjung ke Pasar Santa Kebayoran kemarin.


Menurutnya, sembako yang akan dikenakan PPN, adalah produk yang tidak dikonsumsi oleh masyarakat banyak. Hanya dikonsumsi oleh segelintir orang mampu karena impor dan harganya mahal.  Sedangkan sembako yang dijual di pasar seperti beras hasil petani Indonesia yakni beras produksi Cianjur, rojolele, pandan wangi, dan sebagainya tidak dipungut PPN.


"Namun beras premium impor seperti beras basmati, beras shirataki yang harganya bisa 5-10 kali lipat dan dikonsumsi masyarakat kelas atas, seharusnya dipungut pajak," jelasnya.


Ia menjelaskan, selama ini barang sembako masuk dalam kategori barang yang tidak kena pajak. Ini membuat barang-barang sembako yang premium ikut tidak kena pajak. Oleh karenanya disusun aturan pajak PPN untuk produk sembako impor atau premium tersebut. Ini adalah contoh gotong royong dalam perpajakan, dimana yang mampu membantu yang membutuhkan melalui PPN.  "Pajak tidak asal dipungut untuk penerimaan negara, namun disusun untuk melaksanakan azas keadilan," tegasnya.


Mengutip CNBC Indonesia,  di beberapa market place, harga beras shirataki memang jauh lebih mahal. Untuk 1 kilogram beras dijual dengan rentang harga Rp 150.000 hingga Rp 250.000. Sementara basmati dijual dengan rentang harga Rp 50.000 - Rp 100.000 per kg.


Jasa Pendidikan


Dalam pasal 4A draft RUU KUP tersebut, selain menghapus barang yang tidak dikenai PPN, diketahui pemerintah juga menghilangkan beberapa jenis jasa yang akan tidak dikenai PPN. Jasa-jasa yang dihapus dan akan dikenai PPN di antaranya, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa keuangan, jasa keagamaan hingga jasa pendidikan. Ini juga mendapatkan kritikan dari masyarakat terutama jasa pendidikan.


Sebelumnya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan juga memberikan kategori jasa pendidikan yang akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).  Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan tidak semua jasa pendidikan akan dikenai tarif PPN. 


“Yang namanya jasa pendidikan rentangnya luas sekali, jasa pendidikan yang mana? Jasa pendidikan yang mengutip iuran dengan batasan tertentu yang akan dikenakan PPN,” ujarnya saat media briefing pajak kemarin.


Neil menjelaskan pengenaan tarif PPN terhadap sektor ini akan dikecualikan jasa pendidikan yang mengemban misi sosial, kemanusiaan, dan yang dinikmati masyarakat banyak pada umumnya, misalnya sekolah negeri. “Tapi jelas jasa pendidikan yang bersifat komersial dalam batasan tertentu akan dikenai PPN,” ucapnya.


Meski demikian, dia tak menjelaskan batasan iuran tertentu pada sekolah yang akan dikenakan PPN. Hal ini akan dibahas lebih lanjut antara pemerintah dan DPR, sehingga belum menetapkan berapa batasan tarif iuran pendidikan yang akan dikenai PPN tersebut.


"Kita tidak mungkin membuat jasa pendidikan ini, kemudian masyarakat kebanyakan tidak bisa mengakses pendidikan, itu tidak mungkin pemerintah melakukan hal itu. Bagaimana mungkin? Sementara APBN saja sekarang bekerja, memberikan 20 persen dari budget kita kepada sektor pendidikan," ucapnya.


Berdasarkan rancangan RUU KUP, pemerintah menghapuskan jasa pendidikan dari kategori jasa bebas PPN. “Jenis jasa yang tidak dikenai PPN yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut, g (jasa pendidikan) dihapus seperti pendidikan sekolah seperti PAUD, SD-SMA, perguruan tinggi; dan pendidikan luar sekolah seperti kursus,” tulis rancangan RUU KUP. 


Jasa Kesehatan


Jasa pelayanan kesehatan medis mulai dari jasa dokter umum sampai biaya melahirkan juga berpotensi dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN). Saat ini, jasa pelayanan kesehatan medis masih tergolong jasa yang tidak dikenakan PPN.


Namun, dalam draf RUU Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang bocor ke publik, jasa ini dihapus dari golongan bebas PPN. Artinya nanti jasa satu ini juga bakal dikenai pajak.


Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo menjelaskan alasan pemerintah menghapus jasa pelayanan kesehatan medis dari golongan bebas PPN. Alasan utamanya karena dalam UU yang ada terlalu banyak pengecualian, sehingga menyebabkan banyak barang atau jasa tidak dapat dikenai pajak, padahal seharusnya dikenakan pajak.


"Konsekuensinya terjadi ketidakadilan, karena barang atau jasa tersebut tidak lagi dibedakan dalam jenis, dalam kelompok harga, dalam segmen konsumennya, tapi langsung dikecualikan," ujar Yustinus seperti dikutip dari detikcom, Rabu (18/6/2021).


"Misal di sembako, ada daging wagyu, ada daging di pasar, kok sama-sama nggak kena PPN sih? Common sense kita pasti mengatakan tidak adil kan," sambungnya.


Demikian pula di jasa pelayanan kesehatan. Selama ini, pelayanan kesehatan untuk masyarakat golongan atas terutama pelayanan kesehatan sekunder seperti perawatan kecantikan, tidak pernah dikenai pajak. Padahal, seharusnya masuk dalam objek pajak.


"Jasa kesehatan misalnya saya beri contoh jasa estetis untuk perawatan wajah, perawatan kulit, macam-macam, itu kan non medis sebenarnya kan. Tapi selama ini juga dikecualikan, nah ini kan tidak adil," imbuhnya.


Di sisi lain, tanpa dikenai pajak, pemerintah sulit mendata pelayanan jasa kesehatan yang bukan medis atau pelayanan jasa kesehatan yang sekunder tadi secara komprehensif.


"Selama ini dalam sistem perpajakan kita tidak pernah bisa dicatat. Misal produksi beras berapa, yang jual beras berapa, yang beli siapa, daging, telor, susu, itu nggak masuk dalam sistem perpajakan kita, sehingga tidak tertata. Ini bisa menimbulkan distorsi, karena ada produk yang mengandung barang-barang itu tapi tidak tahu kita berapa sebenarnya yang digunakan," terangnya.  (det/wis)


No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update