Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Hantu Resesi Sudah di Indonesia, Ini Buktinya

Thursday, June 25, 2020 | 22:23 WIB Last Updated 2020-06-25T15:23:53Z


JAKARTA (DutaJatim.com) - Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin membuat hantu resesi menikam perekonomian Indonesia. Bukan hanya Gojek Indonesia saja --yang baru saja mem-PHK 430 orang karyawannya-- tapi perusahaan lain juga akan terkena badai resesi sehingga akan melakukan PHK masal imbas pandemi COVID-19.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, badai PHK masih akan berlanjut meski kegiatan perekonomian  kembali berjalan seiring dilonggarkannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB).  Potensi PHK itu terjadi karena tidak serta merta secara cepat proses bisnis akan berjalan normal. "Tidak bisa langsung seperti sebelum terjadinya pandemi," katanya, Rabu (24/6/2020).

Seperti dikutip dari detik.com, Yusuf mengatakan, kasus baru positif COVID-19 masih terus meningkat. Hal itu  akan mempengaruhi kinerja perekonomian secara nasional. 
"Proses transisi ini sebenarnya untuk pemulihan ekonomi nasional. Tapi kalau tren kasus (Corona) secara nasional meningkat itu tentu berpengaruh terhadap kinerja ekonomi secara keseluruhan," ujarnya.

Bahkan Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, menilai saat ini belum mencapai puncak badai PHK. Hal itu disebabkan terjadinya pelemahan kegiatan ekonomi. "Jadi ini belum puncaknya untuk semua industri. Artinya gelombang PHK akan terus terjadi," katanya. 

Apalagi pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua 2020 diproyeksikan akan negatif. Sementara pada kuartal pertama masih tumbuh positif tapi badai PHK sudah terjadi.  "Triwulan kedua kemungkinan negatif, lebih parah, gelombang PHK ini masih akan berlanjut sampai kemudian mungkin ada recovery ekonomi," tambahnya.

Virus Corona alias Covid-19 sudah membuat ekonomi dunia tak berdaya. Kontraksi kian parah. Bahkan menurut Bank Dunia terparah sejak Perang Dunia II.

Berdasarkan catatan cnbcindonesia.com, aktivitas ekonomi di antara negara-negara maju menyusut drastis hingga 7% di tahun 2020. Pasar ekonomi berkembang juga menyusut hingga 2,5%. Ini merupakan pertama kalinya ekonomi negara berkembang terkontraksi sejak 60 tahun lalu.

Masih dari Bank Dunia, diproyeksikan pendapatan per kapita akan menurun 3,6% yang membawa kepada jutaan orang jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem.

Pukulan itu menghantam paling keras di negara-negara di mana pandemi menjadi yang paling parah dan di mana ada ketergantungan besar pada perdagangan global, pariwisata, ekspor komoditas, dan pembiayaan eksternal. Indonesia termasuk di dalamnya jika melihat hal itu.

Sementara besarnya gangguan, akan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain.  Tak lupa gangguan dalam sekolah dan akses layanan kesehatan primer cenderung memiliki dampak jangka panjang pada pengembangan sumber daya manusia.

"Ini adalah pandangan yang sangat mendalam, dengan krisis yang cenderung meninggalkan bekas luka jangka panjang dan menimbulkan tantangan global yang besar," kata Wakil Presiden Bank Dunia Ceyla Pazarbasioglu dalam risetnya.

"Ini keadaan darurat ekonomi. Selain itu, komunitas global harus bersatu untuk menemukan cara untuk membangun kembali pemulihan yang sekuat mungkin untuk mencegah lebih banyak orang jatuh ke dalam kemiskinan dan pengangguran," katanya lagi.

Prediksi Sri Mulyani

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan jika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah direlaksasi namun publik tidak spending alias berbelanja maka Indonesia bisa jatuh ke jurang resesi.

Dalam proyeksi Kemenkeu, dengan adanya biaya penanganan Covid-19 yang mulai tersalurkan dan PSBB yang direlaksasi namun dengan dukungan belanja maka kuartal III dan IV PDB bisa tumbuh 1,4%.

"Tapi kalau dalam [dengan asumsi tidak berbelanja] bisa -1,6%. Itu technically bisa resesi. Kalau kuartal III negatif dan secara teknis Indonesia bisa masuk ke zona resesi," papar Sri Mulyani dalam perbincangannya dengan Komisi XI DPR, Senin (22/6/2020).

Skenario tersebut masuk ke dalam proyeksi Kemenkeu. Di mana pada kuartal III dan IV PDB akan tumbuh 1,4% sampai negatif 1,6%. "Sementara outlook seluruh tahun -0,14 sampai positif 1 persen," tegas Sri Mulyani.

Sri Mulyani menegaskan bahwa 2020 adalah tahun yang luar biasa. Bukan dalam konteks yang positif, tetapi tantangannya sangat besar. Akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019.Covid-19), lanjut Sri Mulyani, Bank Dunia memperkirakan ekonomi global terkontraksi atau tumbuh negatif -5,2%. "IMF (Dana Moneter Internasional) kita akan lihat beberapa bulan ke depan, biasanya outlook Juli. Pasti ada revisi," katanya.

Indonesia, tambah Sri Mulyani, tidak terkecuali. Pada kuartal II-2020, eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengungkapkan kontraksi ekonomi nasional akan sebesar -3,1%.

"Pada kuartal II akan ada kontraksi karena PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dilakukan dan memberi kontribusi ke pertumbuhan ekonomi yang besar. Ini akan mempengaruhi kuartal II yang kita perkirakan -3,1%," katanya. Jika dalam dua kuartal berturut-turut ekonomi Indonesia negatif maka sudah pasti masuk zona resesi.

Kemiskinan Bakal Bertambah

Maka, hantu resesi pun menikam Indonesia. Sejumlah bukti sudah menunjukkan Indonesia menjadi korban yang dipicu wabah Covid-19. Jumlah orang miskin misalnya akan bertambah drastis. 

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan memproyeksikan terjadinya penambahan jumlah angka kemiskinan di Indonesia akibat pandemi covid-19.  Direktur Dana Transfer Khusus DJPK, Putut Hari Satyaka, mengatakan, penambahan angka kemiskinan paling besar akan terjadi di Pulau Jawa, mengingat pulau Jawa merupakan daerah epicentrum penyebaran covid-19.

Angka kemiskinan yang bertambah itu, kata Putut, merupakan efek dari terganggunya aktivitas ekonomi nasional dan adanya penerapan pembatasan sosial skala besar (PSBB), yang akhirnya membuat ekonomi di beberapa daerah lesu.

Dengan begitu, potensi dampak sosial penurunan pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap penambahan angka kemiskinan. Kata Putut untuk skenario berat akan bertambah sekitar 1,16 juta orang, sangat berat 3,78 juta orang.

Pengangguran Makin Tinggi

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, dengan kondisi saat ini, maka pengangguran tahun depan bisa tembus hingga 12,7 juta orang.

"Karena 2020 pengangguran (diproyeksi) bertambah sekitar 4 juta orang hingga 5,5 juta orang dan kalau ini terjadi maka 2021 pengangguran akan sampai 10,7 juta orang-12,7 juta orang," ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (22/6/2020).

Menurut Suharso, jumlah pengangguran ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan data terakhir. Per Februari 2020, jumlah pengangguran telah mencapai 6,88 juta orang.
Dengan demikian, maka saat ini pemerintah akan melakukan berbagai kebijakan untuk bisa mengurangi hal tersebut. Salah satunya dengan memberikan bantuan agar semua sektor industri bisa kembali berjalan dan juga dengan melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Tsunami PHK

Kadin Indonesia mencatat ada 6 juta lebih pekerja yang terkena dampak pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan akibat covid-19. Jumlah yang dirumahkan memang lebih besar hingga 90%.

Namun, mulai dibukanya ekonomi dengan transisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memang berdampak dengan aktivitas ekonomi mulai menggeliat. Namun, aktivitas ekonomi belum sepenuhnya normal seperti sediakala. Sebagian besar pekerja bahkan masih dirumahkan alias menganggur di rumah.

Wakil Ketua Kadin Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengatakan selama pandemi menurut laporan-laporan asosiasi bahwa jumlah pekerja yang dirumahkan dan PHK mencapai 6 juta orang. Meski berdasarkan data Kemenaker per 27 Mei 2020, sektor formal yang dirumahkan mencapai 1.058.284 pekerja dan yang di-PHK sebanyak 380.221 orang pekerja.

"Data asosiasi sudah lebih 6 juta dirumahkan dan PHK, yang sekarang banyak yang masih dirumahkan," kata Shinta kepada CNBC Indonesia, kemarin.

Dia mengakui sejak pembukaan ekonomi kembali pada medio Juni 2020 memang ada denyut ekonomi yang mulai bergerak, tapi masih butuh waktu lagi untuk bisa ke kondisi normal.  "Setelah pelonggaran PSBB, perbaikan jelas ada, sebelumnya aktivitas ekonomi berhenti, sekarang perlahan dibuka, cuma tak bisa langsung, perlahan dan bertahap," katanya.

Ia mengatakan dari sisi permintaan saat ekonomi mulai dibuka tak langsung lompat karena butuh proses apalagi sektor-sektor yang bukan primer. Sedangkan sektor-sektor ritel seperti mal yang sudah buka pun tak langsung bergeliat pesat. "Kegiatan mal itu tak bisa langsung. Ada cashflow yang sudah parah, perlu ada bantuan," katanya.
Salah satu perusahaan transportasi berbasis aplikasi, Gojek, juga melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ratusan karyawannya. Hal itu menyusul strategi baru mereka dalam menghadapi pandemi virus corona alias Covid-19.

"Sebanyak 430 karyawan (9 persen dari total karyawan), yang sebagian besar berasal dari divisi yang terkait dengan GoLife dan GoFood Festival, akan meninggalkan Gojek sebagai bagian dari evaluasi terhadap struktur perusahaan secara keseluruhan," kata Co-CEO Gojek, Kevin Aluwi, dalam siaran persnya, kemarin.

Menurut Kevin, itu merupakan satu-satunya keputusan pengurangan karyawan yang Gojek lakukan di tengah situasi pandemi Covid-19. Dia mengatakan karyawan Gojek yang terdampak dengan keputusan tersebut akan mendapat benefit termasuk pesangon di atas standar yang ditetapkan pemerintah.

"Keberlangsungan finansial menjadi perhatian terbesar saat ini. Karyawan yang terdampak akan menerima pesangon (kami menetapkan minimum gaji 4 pekan) ditambah tambahan 4 pekan gaji untuk setiap tahun lamanya bekerja," ujarnya.

Selanjutnya, Kevin menyampaikan Gojek akan fokus kepada bisnis inti (core business) yang memiliki dampak paling luas kepada masyarakat, yaitu bisnis transportasi, pesan-antar makanan dan uang elektronik sebagai langkah jangka panjang dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Kemudian, layanan yang menunjukkan hasil pertumbuhan yang menjanjikan di tengah pandemi seperti bisnis logistik, yang tumbuh 80 persen sejak awal pandemi atau layanan belanja kebutuhan sehari-hari (grocery) yang telah naik dua kali lipat. (det/cnbci)

Ilustrasi:  shutterstock


×
Berita Terbaru Update