Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kisah KH Abdul Chalim, Pejuang yang Juga Pendiri NU (2): Berjalan Kaki 14 Hari ke Surabaya untuk Bertemu Mbah Wahab

Thursday, August 20, 2020 | 10:33 WIB Last Updated 2020-08-20T03:41:49Z

 

Prof Dr  KH Asep Saifuddin Chalim (kiri) saat pengukuhan gelar profesor di UIN Sunan Ampel Surabaya yang dihadiri Presiden Jokowi. Kiai Asep merupakan putra KH Abdul Chalim yang mendirikan Ponpes Amanatul Ummah di Pacet Mojokerto dan Siwalankerto Surabaya.   



Oleh: Djoko Pitono dan H.A. Lazim Suadi


DALAM perjalanan hidupnya, patriotisme dan religiusitas Kiai Chalim telah terbentuk sebelum naik haji pada 1914, dengan telah masuknya Chalim muda menjadi anggota Serikat Islam (SI) termuda. Karakter-karakter itu makin berkembang saat bermukim di Makkah di tengah lingkungan masyarakat Muslim internasional yang antikolonialisme. Di Tanah Hijaz tersebut,  Chalim muda berkawan dengan para santri Nusantara, termasuk KH Abdul Wahab Chasbullah (Mbah Wahab)—yang kelak bersama KH Hasyim Asya’ari mendirikan NU.


Hampir setiap hari Kiai Chalim dan Kiai Wahab bertemu, belajar dan berdiskusi menyangkut upaya untuk memajukan kaum Muslimin di Tanah Air. Begitu tingginya semangat dan idealismenya hingga keduanya membuat komitmen tentang langkah berikutnya. Kedua beliau itu membuat komitmen untuk memperjuangkan faham ahlus sunnah wal jamaah dan kemerdekaan rakyat Indonesia.



Perubahan politik di Hijaz (Makkah dan Madinah) pada Perang Dunia I membuat situasi kurang nyaman hingga memaksa KH Chalim kembali ke Tanah Air setelah bermukim selama satu tahun di sana. Kepulangan KH Chalim hampir bersamaan pula dengan kepulangan Kiai Wahab ke Tanah Air.


Di desa kelahirannya, Kiai Chalim membantu ayahnya yang menjadi kepala desa. Berkat pendidikannya dan pengetahuannya yang luas, beliau bahkan diminta membantu kegiatan ayahnya dalam urusan kemasyarakatan sebagai juru tulis Wedana Leuwimunding. Ketika ayahnya wafat pada 1921, Kiai Chalim putar  haluan terjun ke dunia pendidikan.


Suatu hari, dalam kegelisahan hatinya, Kiai Chalim pun teringat kepada kawannya, KH Wahab Chasbullah, dan komitmen yang telah dibuatnya di Makkah beberapa tahun sebelumnya. Kiai Chalim pun bertekad menemui KH Wahab Chasbullah. Tekad sudah bulat untuk mengembara dengan berjalan kaki. Ya, berjalan kaki.


Sebelum berangkat, KH Chalim menjual peninggalan ayahnya untuk diberikan kepada keluarganya guna kebutuhan hidupnya. Kemudian bersama Abdullah, adik iparnya, mulailah beliau berjalan ke arah timur menyusuri jalan kampung dan desa, naik gunung dan masuk hutan pula. 


Perjalanan KH Abdul Chalim seluruhnya berlangsung selama 14 hari, 11 hari di antaranya beliau hanya makan kunir alias kunyit.


Begitulah, singkat kata, pada 22 Juni 1922, Kiai Chalim dapat bertemu dengan KH Wahab Chasbullah, berkat bantuan KH Amin dari Praban. Kiai Wahab pun langsung memberi kepercayaan kepada Kiai Chalim untuk mengajar di Nahdlatul Wathon di Kampung Kawatan VI Surabaya. 


Berita Terkait: Kisah KH Abdul Chalim, Pejuang yang Juga Pendiri NU (1): Berjuang dalam Diam Mendampingi Mbah Hasyim dan Mbah Wahab



Nahdlatul Wathon adalah organisasi yang didirikan KH Abdul Wahab dan beberapa ulama dengan tujuan pada peningkatan mutu pendidikan Islam, pembentukan kader dan pembinaan juru dakwah.


Di sinilah Kiai Chalim juga dipercaya sebagai sekretaris, yang menjadi inisiator beragam kegiatan dan pengatur administrasi organisasi tersebut. Beliau juga dipercaya membuat Nadhom alias syair-syair untuk diajarkan pada para peserta kegiatan Nahdlatul Wathon. 


Organisasi ini kemudian disusul terbentuknya Taswirul Afkar, perkumpulan yang bergerak dalam bidang sosial dan dakwah. Lagi-lagi Kiai Wahab menyerahkan kepercayaan sebagai sekretaris kepada Kiai Chalim, yang memang terlibat aktif dalam melahirkan perkumpulan itu. 


Demikian juga saat pendirian organisasi baru Syubbanul Wathon, akibat perpecahan kubu KH Mas Mansyur (modernis) dan kubu KH Abdul Wahab Hasbullah (tradisional) dalam Nahdlatul Wathon.


Pada tahun-tahun 1920-an itulah Kiai Abdul Chalim berhadapan langsung dengan ghirah (semangat) perkembangan pemikiran serta dialektika faham ahlu sunnah wal jamaah di tengah perjuangan keagamaan dan kebangsaan di Tanah Jawa. 


Beliau ikut aktif dalam perbincangan serius menyangkut pentingnya sebuah lembaga (institusi) yang menjamin pelaksanaan kefahaman ahlus sunnah wal jama’ah hingga kemudian lahirnya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Itulah setelah perubahan politik besar terjadi di Hijaz dengan berkuasanya Raja Abdul Aziz yang didukung kaum Wahabi, yang berkeinginan untuk melenyapkan tempat atau kepercayaan yang dianggap bid’ah dan musyrik. Termasuk Makam Nabi Muhammad SAW.


Dalam sejarah NU, berdirinya Komite Hijaz dan Jam’iyyah NU berkait erat dengan peran Kiai Abdul Chalim sebagai komunikator kunci antara para alim ulama terkemuka di seluruh Jawa dan Madura saat itu. 


Surat undangan yang dibuat dan dikirimkan Kiai Chalim  kepada para ulama dalam pembentukan Komite Hijaz dan NU mengobarkan semangat kebangsaan dan membuat para tokoh berdatangan hadir. Jumlahnya 65 ulama.


Seruan dan usulan NU lewat surat yang dibawa KH Abdul Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Ghonaim Al Misri selaku wakil Komite Hijaz untuk Raja Abdul Aziz bin Abdurahman Al Su’ud akhirnya disetujui, antara lain kaum muslim diberi kebebasan untuk bermadzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Pemerintah Kerajaan juga tetap menghormati tradisi keagamaan yang berlaku di sana.


Komitmen KH Chalim dan KH Wahab Chasbullah untuk memperjuangkan Aswaja dan Kemerdekaan RI juga terlukiskan dalam kisah ketika KH Chalim menyiapkan undangan kepada para ulama terkemuka se Jawa dan Madura. Dalam satu momen, KH Chalim terlibat dalam percakapan dengan KH Wahab, seperti tertulis dalam bukunya:


Pak Kiai apakah ngandung tujuan

Kita untuk menuntut kemerdekaan.

 

Jawab, tentu itu nomor satu

Ummat Islam menuju jalan itu.

 

Ummat Islam kita tidak leluasa

Sebelumnya negara kita merdeka.

 

Saya jawab, kini ini usahanya.

Beliau ambil kayu api menjawabnya.

 

Dinyalakan satu batang dengan bilang

Ini bisa menghancur bangunan terang.


Dalam kepengurusan pertama PBNU, Kiai Chalim dipercaya untuk memegang jabatan sebagai Wakil Katib atau Katib Tsani. Kiprah Kiai Chalim tetap tinggi pada tahun-tahun setelah lahirnya NU pada 1926. Hampir semua Kongres NU dihadiri, kecuali saat penjajahan Jepang ketika NU dibekukan.


Setelah Kemerdekaan RI, sekitar bulan Nopember 1945, saat militer Inggris mendatangkan 24.000 serdadunya untuk menduduki Surabaya, KH Hasyim Asya’ri sebagai Rais Akbar NU mengeluarkan “Resolusi Jihad” untuk menggelorakan semangat kaum muslim mempertahankan kemerdekaan. Hal itu terjadi pada 10 Nopember 1945. Dan  jam 11.00 siang di Markas Hizbullah di Jl Kepanjen pun diserang serdadu Inggris.


Sebagai anggota aktif Laskar Hizbullah, Kiai Chalim sangat berperan. Sudah beberapa waktu sebelumnya Kiai Chalim berangkat dari Leuwimunding, Majalengka, menuju Surabaya. Dalam perjalanan tersebut, Kiai Chalim memberitahu dan mengorganiasi para ulama NU untuk berangkat ke Surabaya, bahkan sebelum keluarnya “Resolusi Jihad” yang diumumkan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.


Para ulama dari berbagai wilayah Pantura Jawa itu pun mendampingi pasukan Hizbullah dan Sabilillah. Pekik takbir bergema di langit Surabaya dan sekitarnya. Perlawanan rakyat luar biasa hebat, kemudian juga menyebar ke berbagai kota di Jawa Tengah dan Jawa Barat.


Dalam pentas politik pun KH Abdul Chalim tak pernah ketinggalan sejak NU bergabung ke dalam Masyumi maupun ketika NU sendiri menjadi partai politik. Kiai Chalim juga motor utama pembentukan Persatuan Guru NU (Pergunu) pada 1958 dan pendirian Pertanu (Persatuan Petani NU, sekarang sudah tidak ada. Pen). Hingga pertengahan tahun 1972, Kiai Chalim masih menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Beliau wafat pada 11 April 1972. Catatan ini adalah sedikit upaya untuk mendudukkan KH Abdul Chalim Leuwimunding di atas  kursi yang layak di panggung sejarah. (*)


No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update