Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

SDM Unggul Menuju Masyarakat Madani dalam Perspektif Al-Quran (bagian 2)

Wednesday, January 15, 2020 | 10:38 WIB Last Updated 2020-01-15T03:38:21Z

Oleh Imam Shamsi Ali* 

PADA bagian lalu disampaikan beberapa kriteria manusia atau SDM unggul dalam pandangan Al-Quran. Salah satunya adalah bahwa SDM unggul itu harus berwawasan kesalehan dengan 5 tingkatannya. 

Akan tetapi kesalehan itu seharusnya dibawa ke tingkatan yang lebih tinggi, yang lebih dikenal dengan tingkatan “muslih”. Yaitu kemampuan mentransformasikan kesalehan pribadi  menjadi kesalehan kolektif melalui perubahan kepada alam sekitar. 

Komitmen “islaah” (perbaikan), lebih populer dengan istilah “amar nahi mungkar”,  inilah yang kemudian akan mengantar kepada terbentuknya masyarakat yang Islami. Sebuah bangunan masyarakat yang lebih dikenal dengan “masyarakat madani”. 

Saya tidak bermaksud membahas apa defenisi masyarakat madani itu. Walaupun kata ini sangat dikenal dalam bahasa asing dengan “Civil Society”. Civil dan Madani sesungguhnya tidak semakna. 

Walau demikian, kedua kata masyarakat madani ataupun civil society sama-sama mengandung makna tentang masyarakat yang memiliki karakter peradaban maju. 

Kata “madani” sendiri  bermakna sebuah tatanan yang berkarakter “tamaddun” atau peradaban. Madani yang seakar dengan kata “madinah” menunjukkan sebuah tatanan masyarakat kota yang tentunya lebih maju, berpendidikan, dan lebih beradab. 

Dalam Al-Quran sendiri ada beberapa kata yang dipakai untuk menggambarkan kata masyarakat. Dari sekian kata itu yang paling populer adalah kata “ummah” (ummat). 

Kata Umat memang populer menggambarkan pengikut Muhammad SAW secara kolektif. Semua yang mengimani dan mengikuti ajaran agama ini (Al-Quran dan as-Sunnah), dan mengikrarkan “laa ilaaha illallah-Muhammadun Rasulullah” adalah bagian dari Umat itu. 

Di antara ayat-ayat dalam Al-Quran yang menggambarkan makna itu adalah “Katakanlah sesungguhnya umat kamu ini adalah ummat yang satu”. 

Tapi ayat yang paling populer dan sering dikutip dalam menggambarkan kolektifitas Umat ini adalah Surah 2 ayat 143 Al-Quran. Allah berfirman: 

“Dan demikianlah kami jadikan kamu ‘ummatan wasathan’ agar kalian menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kalian”. 

Kata “ummatan wasathan” sengaja saya tidak terjemahkan. Sebab selama ini kita sering mendengarkan beberapa terjemahan dari kata ini secara tidak adil dan proporsional. Bahkan dengan terjemahan itu terasa ada penyempitan makna dari kata yang sesungguhnya. 

Sebagian orang menterjemahkan kata “wasathan” dengan moderasi. Kata ini sudah pasti tidak mewakili kedalaman dan keluasan kata  itu. 

Sebagian pula mengekspresikan dalam bahasa Inggris dengan kata “justly balance” (imbang berkeadilan). Terjemahan inipun jauh dari makna sesungguhnya. 

Lalu apa makna “ummatan wasathan”? 

Sejujurnya saya belum bisa menemukan terjemahan yang dapat mewakili kata itu. Olehnya saya hanya memberikan beberapa kriteria dari “ummatan wasathan” ini. Sekaligus barangkali konsep inilah yang secara minimal terwakili dalam terminologi “masyarakat madani” itu. 

Saya ingin menyampaikan 7 karakterisitk dasar dari ummatan wasathan atau masyarakat madani. Ke 7 karakteristik ini tersimpulkan dalam konferensi internasional yang diinisiasi oleh Prof. Din Syamsuddin selaku Special Envoy Presiden RI di Istana Bogor beberapa waktu lalu. 

Pertama, bahwa ummatan wasathan itu berkarakter “i’tidal”. Kata i’tidal berasal dari kata “adl” (keadilan). Tapi kata ini menggambarkan sebuah komitmen, tidak saja adil dalam hidup. Tapi juga memiliki komitmen yang tinggi dalam menegakkan  keadilan dalam segala segmen kehidupan dan kepada semua manusia.  

Keadilan itu universal. Tidak ada keadilan ekslusif. Tidak ada keadilan Islam, keadilan Kristen, Buddha atau Hindu. Adil ya adil. Karenanya keadilan harus ditegakkan walau terkadang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri, keluarga, dan kelompok sendiri. 

Rasulullah SAW bahkan mengatakan: “kalau sekiranya Fatimah, putri Muhammad, mencuri niscaya akan kupotong tangannya”. 

Sebuah ketauladanan dalam komitmen penegakan keadilan dalam masyarakat. Bahwa siapapun dan bagaimanapun posisinya dalam masyarakat, semuanya sejajar di hadapan hukum. 

Kedua,  bahwa ummatan wasathan itu berkarakter tawazun (keseimbangan). Keseimbangan dalam segala aspek kehidupan manusia. Imbang antara relasi vertikal dengan Pencipta dan relasi horizontal dengan sesama makhluk. Antara kehidupan pribadi (fardi) dan masyarakat (ijtima’i). Antara fisik dan ruh, dunia dan akhirat, dan seterusnya. 

Karakteristik ini menjadi krusial kemudian ketika manusia semakin pincang dalam hidupnya. Perhatikan dunia barat dengan kemajuan material yang dahsyat. Namun mereka menjerit karena kekosongan batin dan spiritualitas. 

Maka masyakarat madani atau ummatan wasathan memang ditunggu untuk menjadi masyarakat alternatif bagi dunia yang semakin usang ini. 

Ketiga, bahwa ummatan wasathan itu berkarakter as-samhah (toleransi) yang tinggi. Sebuah karakter keagamaan yang sangat mendasar. 

Toleransi itu adalah karakter agama dan masyarakatnya sekaligus. Al-Quran dan sirah Rasul penuh dengan acuan dan panduan dalam hal toleransi ini. Praktek toleransi Rasul terwariskan secara baik oleh para sahabat dan generasi selanjutnya. Itulah yang menjadikan gereja-gereja bahkan dari zaman Romawi masih bertahan di beberapa negara Timur Tengah (Suriah, Mesir, dll). 

Hanya saja toleransi harusnya dipahami secara benar dan proporsional. Toleransi bukan saling mengintervensi agama. Bukan juga barteran keyakinan. Tapi membangun komitmen keyakinan masing-masing sambil menjaga sensitivitàs serta menghormati keyakinan dan praktek agama orang lain. 

Toleransi dalam tatanan ummatan wasathan menjadi ciri khasnya. Maka dengan sendirinya sejatinya Umat ini tidak parlu lagi diragukan dalam tolerasi dan komitmen kerukunannya. 

Keempat, bahwa ummatan wasathan itu berkarakter shura atau mengedepankan nilai-nilai musyawarah. 

Musyawarah menjadi tabiat dasar Umat yang diilustrasikan dalam Al-Quran: “Dan dalam urusan mereka musyawarahkan”. 

Bahkan sesungguhnya Rasul diperintah oleh Allah: “dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan-urusan (keumatan)”. 

Dalam kepemimpinannya Rasulullah SAW mengedepankan musyawarah dengan para sahabatnya ketika hal tersebut bersentuhan dengan urusan publik (public affairs). 

Salah satunya misalnya ketika akan mempertahankan kota Madinah dari serangan luar. Mayoritas sahabat menghendaki agar dilakukan pertahanan dalam kota. Maka terjadilah sebuah perang yang dikenal dengan perang Khandaq.

Demikianlah ummatan wasathan (civil society) atau masyarakat madani akan selalu mengedepankan perilaku musyawarah dalam urusan bersama. Termasuk para pemimpinnya akan selalu mengedepankan musyawarah. Bukan kepemimpinan diktatator seperti yang kita saksikan di beberapa negara Islam, justeru yang mengaku lebih Islami.  (*)

(Bersambung)

Jakarta, 14 Januari 2020 

* Imam Shamsi Ali adalah Presiden  Nusantara Foundation/Pendiri Pesantren Nur Inka Nusantara Madani USA

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update