Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pesona -pesona Little Women, Akankah Kisah Lawas soal Perempuan Ini Raih Oscar 2020?

Saturday, February 8, 2020 | 09:48 WIB Last Updated 2020-02-08T03:38:10Z


SURABAYA (DutaJatim.com) - Film "Little Women", salah satu nominasi Best Picture Oscar 2020, telah melewati angka 100 juta dolar AS atau Rp 1,3 triliun untuk perolehan di box office domestik. 


Ini pesona pertama.

Tonggak sejarah ini terjadi menjelang perhelatan Academy Awards memperebutkan Piala Oscar pada Minggu (9/2/2020) besok.


Little Women yang menghabiskan biaya produksi hanya sebesar 40 juta dolar AS atau Rp 549 miliar, dirilis pada Desember 2019 lalu di beberapa negara. Namun film itu baru pada 7 Februari 2020 kemarin tayang perdana di bioskop Tanah Air. Bisa dibayangkan akan lebih banyak lagi duit yang masuk ke kantong produsernya di Amerika sana.

Film ini telah meraup lebih dari 64 juta dolar AS atau Rp 878 miliar hingga saat ini di luar negeri dengan jumlah global 165 juta dolar AS atau setara Rp 2,2 triliun. Padahal film ini hasil adaptasi terbaru dari novel klasik karya Louisa May Alcott yang berjudul sama. Artinya, betapa kuat kisahnya sehingga bisa terus menarik sutradara dan produser untuk mengangkatnya lagi ke dalam layar sinema modern. 

Ini pesona kedua.

Film  tentang kehidupan March bersaudara ini dibintangi Emma Watson, Eliza Scanlen, Laura Dern, Timothée Chalamet, Tracy Letts, Meryl Streep, Bob Odenkirk, James Norton, Louis Garrel, dan Chris Cooper.

Little Women yang disutradarai Greta Gerwig mendapatkan enam nominasi Oscar, termasuk film terbaik, serta untuk aktris terbaik (Saoirse Ronan), dan aktris pendukung terbaik (Florence Pugh).

Seperti ditulis  di laman tirto.id, film yang berada dalam naungan studio produksi Sony Pictures Entertainment ini merupakan adaptasi novel klasik tahun 1869 karya Louisa May Alcott.


Little Women bercerita tentang empat saudara perempuan dalam satu keluarga. Mereka adalah Jo (Ronan), Meg (Emma Watson), Amy (Florence Pugh) and Beth March (Eliza Scanlen) dengan Marmee (Laura Dern) sebagai ibu mereka. 


Ada pula sosok lain seperti tante March (Meryl Streep) dan tetangga mereka Laurie (Chalamet). Latar waktu Little Women diambil pada abad ke-19 atau setelah perang saudara di Amerika Serikat. 

Dalam trailer-nya, terlihat kehidupan empat saudara perempuan dalam bersosialisasi dengan lingkungan, mengejar impian serta hubungan dengan lawan jenis. 

"Para perempuan, mereka memiliki pemikiran dan mereka memiliki jiwa sebaik hati mereka," kata Jo dalam trailer. 

"Dan mereka memiliki ambisi dan mereka memiliki talenta sebaik kecantikannya. Dan aku sangat sakit saat orang-orang berkata cinta adalah hal yang hanya cocok untuk para perempuan."

Dilansir Huffpost, saat membicarakan tentang novel, Gerwig selaku sutradara menyatakan film ini seperti otobiografi. 

"Ketika Anda hidup melalui sebuah buku, itu hampir menjadi lanskap kehidupan batin Anda. ... Itu menjadi bagian dari Anda, dengan cara yang mendalam."  

Little Women menjadi ajang reuni sutradara Gerwig dengan Saoirse Ronan dan  Timothée Chalamet yang sebelumnya bekerja sama di film Lady Bird. Selain menjadi sutradara Little Women dan Lady Bird, sebelumnya Gerwig merupakan penulis naskah untuk film Hannah Takes the Stairs (2007), Nights and Weekends (2008), Frances Ha (2013), dan Mistress America (2015).

Dia juga berperan dalam beberapa film, di antaranya LOL (2006), Baghead (2008), The House of the Devil (2009), Side by Side (2012), Maggie's Plan (2016), dan 20th Century Women (2017).  Selain Lady Bird, beberapa film terakhir Saoirse Ronan di antaranya The Seagull (2018), On Chesil Beach (2018), dan Mary Queen of Scots (2018). 

Sementara Timothée Chalamet terakhir bermain di The King (2019) dan Dune (2020). Emma Watson sebagai salah satu pemain terakhir bermain di film Beauty and the Beast (2017) dan The Circle (2017).

Kisah Jujur tentang Perempuan


Dalam film ini,  masih di tirto.id, Irma Garnesia, menulis, Greta kembali menyampaikan perspektif yang lugas dan jujur tentang kehidupan perempuan. 
Lewat Little Women, Greta ingin menyampaikan beragam pandangan perempuan yang hidup di bawah atap yang sama. 

Ada Meg (Emma Watson) si kakak tertua bijaksana yang hobi teater. Kemudian ada Jo (Saoirse Ronan), si tomboy yang energetik dan pemberontak di antara saudara-saudara perempuannya. 

Menurut Tomris Laffly dalam kritiknya di Rogerebert.com, Jo adalah representasi karakter Alcott sendiri. Lalu ada Amy (Florence Pugh) saudara yang paling nyeni, dan Beth (Eliza Scanlen) si pianis pemalu yang sakit-sakitan.  


Keluarga Marches hidup di Concord, Massachusetts pada 1861. Waktu itu Amerika Serikat dilanda Perang Sipil. Ayah mereka ikut diperbantukan dalam perang dan seisi rumah pun harus hidup sederhana. 


Pada zaman itu, kayu bakar, dan lampu minyak sulit didapat. Tak heran mereka hanya hidup dengan lilin di malam hari. Meski hidup demikian sederhana, kehidupan anak-anak keluarga Marches saling mengisi satu sama lain. 

Mereka berbagi tugas di dapur, saling menyiapkan kebutuhan kakak perempuan yang akan pergi ke pesta dansa, mengisi waktu dengan merajut, dan membantu keluarga lain yang lebih miskin.


Sebagai karya yang ditulis pada awal gerakan perempuan abad ke-19, Meg adalah karakter yang menolak tradisi di mana perempuan miskin harus menikahi pria kaya untuk menyelamatkan keluarga dari jurang kemiskinan.

 Ia memilih untuk menikah karena cinta dan membangun keluarga dengan John Brooke, tutor bahasa Latin yang bokek. 

Tokoh Jo juga bisa disebut feminis, meski waktu itu boleh jadi ia tak sadar bahwa tindakan-tindakannya mencerminkan emansipasi perempuan. Misalnya ketika Jo kukuh menolak mengakhiri novelnya antara dua pilihan; perempuan harus menikah atau meninggal di ujung cerita. 


Meski karya seperti itu sangat menjual pada zaman itu. Karakter Jo yang keras kepala ini mengingatkan saya pada Christine McPherson, karakter yang juga diperankan Saoirse Ronan di Lady Bird, dan tentu saja ditulis dan diarahkan oleh Greta dan menjadi debutnya di bangku sutradara.

Sebagaimana Jo, Lady Bird juga digambarkan Greta sebagai karakter pemberontak. Ia tak sungkan mendebat, memarahi, dan bertengkar dengan ibunya. Karakter Jo memang tak seekstrem itu, namun kebandelannya ditunjukkan lewat usaha Jo membawa kabur Meg dari pernikahannya. 

Ia yakin bahwa perempuan tak selalu harus mengakhiri mimpinya di altar. Saoirse memang bandel, tapi jangan lupakan Florence Pugh yang berperan sebagai Amy. Lihat bagaimana apiknya Greta menyisipkan pesan-pesan feminisme lewat tokoh tersebut. 


“Ketika aku menikahi seorang pria, hartaku menjadi miliknya. Dan ketika kami punya anak, anak tersebut miliknya, dan menjadi propertinya. Jadi jangan katakan pernikahan bukan transaksi ekonomi.” 


Florence dengan datar dan pahit menyampaikan kenyataan itu kepada Laurie, pria yang dicintainya tapi bertepuk sebelah tangan. Kita semua tentu paham bagaimana Florence menampakkan wajah yang tegar namun pedih lewat film yang belum lama ini membesarkan namanya, Midsommar.


Bukan Yang Pertama

Memang bukan kali pertama novel karya Alcott ini diadaptasi jadi dalam bentuk film, seri televisi, opera, atau teater. 

Sudah ada tujuh film yang diaptasi dari novel Little Women. Pertama pada 1917 lewat film tanpa suara oleh Alexander Butler, yang disusul oleh Harley Knoles setahun kemudian masih dalam bentuk tanpa suara. 


Selanjutnya, adaptasi pertama dengan suara oleh George Cukor. Little Women sebagai film berwarna muncul pada 1949 dan diarahkan oleh Mervyn LeRoy.


Kemudian, ada adaptasi 1994 yang diperankan oleh Winona Ryder, Trini Alvarado, Samantha Mathis, Kirsten Dunst, dan Claire Danes. 


Adaptasi Armstrong berhasil mendapat tiga nominasi Academy Awards, yakni Aktris Terbaik, Rancangan Kostum terbaik, dan Musik Latar Terbaik.  

Sebelum adaptasi Greta, Little Women juga dirilis pada 2018 sebagai peringatan 150 tahun novel tersebut. Adaptasi ini diarahkan oleh Clare Niederpruem. 


Meski telah berkali-kali diadaptasi, bukan berarti adaptasi versi Greta jadi tidak menarik untuk disaksikan. Pada dasarnya, Little Women adalah cerita yang selalu menarik untuk dikisahkan.

Namun Greta tak berhenti disana, ia mengisahkan film ini secara non-linear; mengombinasikan kilas balik dan keadaan masa kini dalam corak warna-warna yang berbeda. Perpaduan ingatan dan nostalgia ini juga dibungkus rapi lewat cara bertutur Greta yang kalem dan apa adanya, seperti yang ia sampaikan di Lady Bird. 

Dan bila akhirnya besok Little Women benar-benar meraih Oscar, itulah puncak pesona perempuan dalam berkarya dalam sastra dan industri sinema.  (tid/kcm)

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update